Ancaman Pada Sistem Demokrasi
Politik | 2023-02-20 21:57:24Demokrasi menjadi sistem politik banyak digunakan hampir semua negara di dunia. Meminjam tesis dari Samuel P Huntington (1995) telah terjadi gelombang ketiga demokratisasi, hal ini dibuktikan semakin bertambahnya negara menganut sistem demokrasi, serta berjatuhannya sistem politik otoriter-totaliter sejak tahun 1990-an.
Gelombang ketiga demokratisasi ini sukses menggulung rival ideologinya, yaitu sosialisme-komunisme. Demokrasi akhirnya menjadi simbol kemenangan kapitalisme merujuk pendapat Francis Fukuyama (2004). Kemenangan demokrasi dirayakan gegap gempita seolah lonceng kematian ideologi otoritarian menemukan takdir tragisnya mati dan ditinggalkan. Tetapi demokrasi bukan sistem politik steril dari anomali, terdapat dua ancaman besar bagi eksistensi demokrasi, yaitu populisme dan fasisme. Keunikannya justru keduanya lahir dari rahim demokrasi itu sendiri.
Gerakan Populisme
Perkembangan kontemporer menunjukan adanya kebangkitan populisme di panggung politik global. Populisme merupakan ideologi politik yang menolak konsensus demokrasi, menebarkan etnosentrisme serta anti elit, dalam mencapai tujuan politiknya kelompok ini tidak segan-segan menebarkan retorika pembelahan ditengah masyarakat, menciptakan dikotomi antara kelompok terpinggirkan dengan elit berkuasa.
Kemunculan populisme di dahului oleh kekecewaan rakyat terhadap demokrasi, bahwa retorika kesetaraan politik tidak terbukti, justru sebaliknya demokrasi dikuasai kaum oligarki. Terdapat dua pendapat para ahli politik mengenai maraknya populisme. Pendapat pertama menjelaskan populisme sebagai pengingat kepada pemerintah, bahwa ketertutupan akses politik harus dicarikan solusinya. Pendapat kedua populisme sebagai patalogi (penyakit) karena memanfaatkan kekecewaan publik atas praktik demokrasi demi kepentingan politik elektoral dengan menebar kebencian kepada pihak di luar kelompoknya.
Politik Fasisme
Fasisme berasal dari bahasa latin dari kata fasces atau fascio, artinya sebongkah kayu diikatkan pada gagang kampak bermata dua. Pada tahun 1890-an kata fascia digunakan di Italia untuk menyebut kaum pergerakan revolusioner, kemudian ketika Mussolini berkuasa menggunakan istilah fascismo, menyebut pasukan paramiliter yang dibentuknya, dari sinilah kemudian istilah fasisme menjadi pemaknaan jamak sebagai ideologi politik (Heywood, 2016).
Bagi sebagian publik dunia mungkin fasisme sebagai ideologi politik dianggap telah mati, keyakinan dibangun dari fakta sejarah atas kekalahan Jerman, Jepang, dan Italia pada perang dunia kedua. Ketiga negara tersebut menjadikan fasisme sebagai ideologi politik, kekalahan mereka oleh sekutu dinilai pertanda keruntuhan fasisme dipanggung politik dunia.
Padahal dalam kamus politik, ideologi sesungguhnya tidak mengenal kematian permanen, sebagai pemikiran ia mampu bertahan, bahkan melampaui umur sang pengagas ideologi itu sendiri, karena pemikiran tertulis hakikatnya bersifat abadi tidak akan terhapus waktu, terlebih sifat dari teks ideologi setiap saat bisa diakses generasi penerusnya, bahkan ditafsirkan ulang secara kontekstual.
Fasisme muncul di negara sudah mencapai demokrasi dan menerapkan kapitalisme, bagi fasisme terdapat kesalahan dari kedua sistem ini, dengan menerapkan kebebasan serta menyerahkan ekonomi pada mekanisme pasar terbuka, akhirnya memunculkan ketakutan dan ketidakpastian.
Ketidakpastian siapa memenangkan persaingan dalam kompetisi ekonomi, kemudian ketakutan tidak mendapatkan jaminan privilege sebagai warga negara ketika bersaing dengan para imigran, serta ketidakjelasan adanya proteksi dari kesenjangan dan kemiskinan akibat dari sistem kapitalisme.
Fasisme juga mengkritik praksis demokrasi, sistem politik yang mengklaim kedaulatan ditangan rakyat, justru kenyataanya melahirkan sentralisme kekuasaan terpusat pada segelintir orang atau oligarki. Jalannya demokrasi bagi fasisme diklaim telah gagal memberikan harapan tegaknya keadilan, persamaan, dan keterbukaan bagi masyarakat luas.
Retorika kaum fasisme memang menebarkan kebencian terhadap kebebasan yang menjadi fondasi utama dari demokrasi dan kapitalisme, bahwa kebebasan tidak memberikan jaminan serta perlindungan dari negara. Demokrasi dan kapitalisme tidak menjadikan negara berwatak proteksionis, tetapi semata-mata bertugas menjadi penjaga malam, mengutamakan kebebasan individu, rakyat dibiarkan bebas bersaing dalam pasar terbuka, dan negara tidak boleh ikut campur tangan.
Tetapi ketika kaum fasis berkuasa mereka akan memutar arah jam berlawanan, sistem demokrasi secara sistematis mereka hancurkan, kesetaraan tidak diberikan penguasa kepada rakyatnya, mereka menciptakan segregasi sosial secara dikotomis, dan melakukan pembungkaman terhadap kritik dari kaum oposisi.
Kemenangan Partai Nazi di tahun 1932 membuktikan partai berhaluan fasisme pernah mendapat dukungan kuat di negara Jerman, meskipun sejarah mencatat kemenangan partai Adolf Hitler ini tidak mendapatkan suara mayoritas mutlak. Tetapi perolehan suara yang signifikan membuktikan kuatnya dukungan rakyat Jerman atas narasi ideologi Nazi. Kemenangan Partai Nazi disalah satu negara demokrasi di barat menjadi sebuah ironi, kekuatan anti demokrasi yang mempropagandakan ketidaksetaraan dengan menebar kebencian dan teror kepada kelompok tertentu, justru dimenangkan melalui mekanisme yang demokrastis lewat pemilu. Melalui pesta demokrasi akhirnya mengantarkan seorang Adolf Hitler menjadi orang berkuasa di Jerman sejak 1933 sampai 1945 dengan gelar Führer und Reichskanzler.
Memperkuat Civil Society
Anomali demokrasi berupa populisme dan fasisme harus dihindari, karena kalau dibiarkan akan menjadi monster “leviathan” menakutkan akan memporak-porandakan bangunan demokrasi dibangun dan diperjuangkan. Terdapat beberapa cara untuk mempertahankan demokrasi agar sejalan sesuai harapan, satu diantaranya mempekuat komponen civil society dengan membangun kelompok-kelompok masyarakat sipil memiliki jati diri terbuka, toleran, kritis, dan mandiri.
Memperkuat civil society praksis anomali berdemokrasi bisa kita minimalisir kemunculannya, agar sistem demokrasi memberikan kebaikan dan kesejahteraan bagi publik, setiap penguasa harus mampu memberikan jaminan kesetaraan, memutus kesenjangan, tegaknya keadilan, dan kesejahteraan akan menjadi kunci untuk mempersempit ruang berkembangnya populisme dan fasisme, juga aktifis kemanusiaan harus terus mengkampanyekan pentingnya persatuan dan persaudaraan warga dunia. Sesungguhnya ditengah-tengah perbedaan etnis dan ras sejatinya tersimpan kesamaan untuk merindukan hadirnya perdamaian dan keharmonisan hidup sesama umat manusia.
Penulis Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA), Ketua Bidang Hikmah Dan Antar Lembaga Pemuda Muhammadiyah Karawang.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.