Model Pendidikan Non Formal
Eduaksi | 2023-02-17 07:28:09Muhammad Syafi’ie el-Bantanie
(Penulis, Praktisi, dan Konsultan Pendidikan Profesional)
Entah mulai kapan pendidikan mengalami simplikasi menjadi persekolahan? Jika kita melacak sejarah nusantara, maka kita harus jujur mengakui model persekolahan mulai diperkenalkan oleh penjajah Belanda ketika kebijakan politis etis dikeluarkan pada 1901.
Sebelumnya, di nusantara telah berjalan ragam model pendidikan sesuai kearifan lokal masing-masing. Di Aceh kita mengenal Dayah, di Siak kita menemukan Kuttab, di Minang kita mendapati Surau, dan di Jawa kita mafhum dengan pesantren. Demikian pula dengan daerah lainnya di nusantara.
Ragam model pendidikan tersebut mampu menjawab kebutuhan pendidikan masyarakat. Selain itu, telah terbukti melahirkan generasi unggul yang mampu memberikan kontribusi terbaik bagi masyarakat dan bangsa.
Ketika saat ini pendidikan mengalami simplikasi menjadi persekolahan, sejatinya tidak tepat dan ahistoris. Akibatnya, muncul anggapan anak yang tidak sekolah adalah anak yang tidak berpendidikan. Padahal, sekolah hanya salah satu model lembaga pendidikan.
Ketika pendidikan dimaknai sebagai persekolahan, maka akan menemukan banyak kendala. Pertama, pendidikan menjadi parsial karena tidak menyinggung pendidikan di rumah (informal) dan masyarakat (non formal). Maka, tujuan pendidikan menjadi lebih sulit tercapai karena tidak ada sinergi antar tri pusat pendidikan.
Kedua, bangsa ini akan sulit memberikan akses dan layanan pendidikan berkualitas bagi seluruh anak bangsa. Lanskap wilayah Indonesia yang luas terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Pulau Rote sampai Talaud meniscayakan pendidikan tidak bisa satu model. Model pendidikan persekolahan jelas tidak akan bisa memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anak di daerah 3 T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
Jika kita berjalan menuju Pulau Meranti di pedalaman Riau, maka akan mendapati anak-anak suku Akit yang telah berusia remaja, namun belum sekolah. Mereka belum bisa membaca dengan lancar. Apakah mereka mesti kita paksa untuk masuk sekolah? Ataukah memberikan alternatif model pendidikan?
Kita lanjutkan perjalanan ke Labuan Bajo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Bagi anak-anak Bajo laut adalah kearifan lokal. Ketika musim melaut tiba, mereka akan ikut dengan ayahnya untuk melaut dengan limit waktu sampai hitungan bulan. Bagaimana mungkin model pendidikan persekolahan formal mampu menjawab tantangan kebutuhan pendidikan anak-anak Bajo dengan aktivitas melautnya?
Apakah kita beranggapan anak-anak Bajo tidak berpendidikan? Bukankah keilmuan dan keterampilan mereka dalam melaut adalah sebuah pendidikan. Bahkan, bisa jadi keilmuan mereka tentang laut lebih mumpuni daripada sarjana kelautan yang belum pernah melaut.
Ketiga, model pendidikan persekolahan meniscayakan sarana fisik bangunan sekolah. Membangun bangunan-bangunan sekolah di daerah 3 T tidaklah murah dan mudah. Seberapa mampu anggaran pendidikan daerah dan pusat memenuhinya? Tidakkah lebih efisien menginisiasi model pendidikan alternatif selain persekolahan?
Oleh karena itu, perlu berbagai alternatif model pendidikan non formal untuk menjawab berbagai tantangan di atas. Model pendidikan non formal memiliki beberapa kelebihan; pertama, tidak terikat dengan standard sarana dan prasarana.
Sarana dan prasarana belajar harusnya sangat fleksibel. Bisa menyesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah. Tidak harus berupa bangunan fisik ruang-ruang kelas. Apalagi dengan minimal ukuran 6 x 8 meter sebagaimana dalam persyaratan akreditasi sekolah.
Kedua, memiliki kemandirian dalam mendisain kurikulum. Tidak terikat dengan kurikulum nasional yang terkadang terlalu padat dan kurang memperhatikan disparitas intake siswa di Jawa dan non Jawa. Pada model pendidikan non formal, kurikulum bisa didisain sesuai kearifan lokal dan kebutuhan riil masyarakat di daerah tersebut. Karenanya, mudah untuk didiseminasi dan direplikasi diberbagai tempat dengan penyesuaian.
Ketiga, karena tidak terikat dengan standard sarana dan prasarana, model pendidikan non formal bisa sangat terjangkau, bahkan gratis, dan mudah direplikasi. Unsur terpenting dalam pendidikan bukanlah sarana dan prasarana, melainkan guru, kurikulum, dan murid, serta dukungan masyarakat.
Oleh karena itu, pemerintah semestinya membuka mata atas realitas ragam model pendidikan yang hidup di tengah masyarakat. Kemudian, menjalin sinergi dan kolaborasi dengan ragam model pendidikan tersebut untuk memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak bangsa.
Dengan demikian, pemerintah tidak perlu menghabiskan anggaran pendidikan untuk membangun gedung-gedung sekolah di daerah-daerah 3 T. Anggaran pendidikan tersebut bisa dioptimalkan untuk kebutuhan pendidikan yang lebih strategis, semisal pemerataan dan peningkatan kualitas guru, dibanding membangun bangunan fisik.
Sementara itu, dukungan yang perlu diberikan pemerintah adalah legalitas ijazah yang dikeluarkan oleh model pendidikan non formal tersebut. Tidak perlu lagi terulang pengalaman Pesantren Gontor yang telah berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka, namun ijazahnya baru diakui pada tahun 90-an. Karenanya, lulusan Pesantren Gontor ketika itu tidak bisa melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Negeri Umum karena ijazahnya belum diakui.
Memadukan pendidikan formal persekolahan dengan beragam model pendidikan non formal yang berkembang di masyarakat, akan semakin memberikan akses dan layanan pendidikan yang lebih luas bagi seluruh anak bangsa. Karena, yang kita butuhkan adalah pendidikan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.