Kesetaraan Gender, Apakah Perlu?
Edukasi | 2023-02-15 19:41:55Gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat social budaya dengan pendefinisian yang bersal dari ciri-ciri fisik. Menurut HT. Wilson (1998) gender merupakan suatu dasar untuk menentukan perbedaan anatara laki-laki dan perempuan pada kebudayaan serta kehidupan kolektif yang nantinya mereka menjadi laki-laki dan perempuan.
Gender sering diidentikkan dengan perbedaan jenis kelamin laki-laki dengan perempuan. Padahal jika dilihat dari pengertian gender menurut para ahli, gender itu merupakan hubungan social atau juga perbedaan perilaku antara perempuan dengan laki-laki. Gender ini dapat berubah dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu, bahkan dari kelas ke kelas. Sedangkan untuk perbedaan jenis kelamin yang mana jenis kelamin ini merupakan perbedaan biologis dan sudah dibawa sejak lahir (kodrati) antara laki-laki dan perempuan dapat di definisikan sebagai sex.
Masih banyak individu, kelompok, maupun industri yang mempermasalahkan gender. Berikut merupakan bentuk dari ketidakadilan gender; beban ganda, marjinalisasi perempuan, subordinasi, stereotype, dan kekerasan.
1. Beban ganda, maksud beban ganda disini yaitu perempuan dianggap sebagai makhluk lemah, tidak produktif, tidak memiliki posisi penting. Nyatanya beban perempuan itu sangatlah berat yang mana ia harus mengurus segala isi rumah tangga, karena adanya istilah turun temurun bahwa semua pekerjaan rumah tangga itu pekerjaan perempuan, mulai dari bangun pagi, menyiapkan makan untuk keluarga, membangunkan anak dan suami, membereskan rumah, mengasuh anak, dan masih banyak lagi lainnya. Rata-rata masih banyaknya individu atau kelompok yang tidak menghargai hal tersebut.
2. Marjinalisasi perempuan, marjinalisais perempuan merupakan suatu peminggiran perempuan di sector ekonomi yang mana makin memiskinkan perempuan juga banyak perempuan yang hilang pekerjaanya. Perempuan bahkan dijadikan sebagai potensial buruh yang bisa dibayar murah dan jinak.
3. Subordinasi merupakan sebuah budaya patriarki atau budaya dimana kekuasaan itu harus idmiliki oleh seorang laki-laki. Perempuan selalu dianggap warga kelas dua yang mana akhirnya perempuan sering tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Disisi lain juga maish sedikitnya jumlah perempuan yang memiliki posisi strategis untuk berada dalam suatu pemerintahan.
4. Stereotype merupakan suatu pelabelan negative kepada perempuan, yang mana perempuan sering dianggap lemah emosional, perasa dan lainnya. Contoh dari stereotype ini yaitu cat calling atau pelecehan seksual yang dilakukan di ruang publik dengan memberikan kata-kata tidak senonoh kepada korban, di zaman sekarang pun masih banyak individu maupun kelompok yang melakukan cat calling. Mengapa cat calling bisa terjadi? Hal tersebut karena didasari dengan stigma bahwa perempuan itu lemah sehingga mereka sebagai pelaku dapat seenaknya merendahkan perempuan.
5. Kekerasan atau violence, perempuan berpotensi menjadi korban kekerasan,baik di dalam rumah tangga, tempat kerja, ataupun di lingkungan social. Bentuk kekerasan yang bisa terjadi yaitu kekerasan social ekonomi, kekerasan seksual, kekerasaan psikis, bahkan kekerasan fisik.
Perbedaan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan secara kultur juga nilai social menyebabkan adanya pola relasi kuasa, yang manaperempuan sering berada di bawah kekuasaan. Pola relasi kuasa dapat dilihat sebagi berikut:
1. Ranah domestic yaitu ranah yang berada di lingkup rumah tangga seperti suami terhadap istri dan anak, anak laki-laki terhadap anak perempuan, mertua suami terhadap menantu, majikan kepada ART dan lainnya.
2. Ranah pendidikan yaitu ranah di tingkat pendidikan seperti guru terhadap murid, murid laki-laki terhadap muriud perempuan dan lainnya
3. Ranah pekerjaan yaitu ranah yang berada di lingkup pekerjaan seperti atasan terhadap bawahan, staff laki-laki terhadap staff perempuan dan lainnya. Tantangan wanita di ranah pekerjaan yaitu adanya seksisme atau diskriminasi berdasarkan gender seseorang, yang mana seksisme ini bisa dilalkukan oleh rekan kerja maupun atasan.
4. Ranah social arau ranah di masyarakat seperti tokoh masyarakat terhadap warga biasa, warga kaya terhadap warga miskin dan lainnya.
Mengapa ketidakadilan gender ini masih terus berjalan sampai sekarang? Banyak hal yang mendasari ketidakadilan gender ini untuk terus ada yaitu: nilai dalam aturan keluarga, pola asuh, nilai social, pendidikan, kebijakan dan aturan yang dipengaruhi oleh budaya patriarki.
Berikut landasan yang menjelaskan tentang gender.
· UU No. 7 tahun 1984 tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
· UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
· UU No. 40 tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi Ras dan Etnis.
· Inpres No. 9 /2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.
Saat ini sudah ada bentuk untuk keadilan gender atau kesetaraan gender yaitu pengarusutamaan gender atau gender mainstreaming yang mana pengarusutamaan gender ini merupakan pembangunan yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender, melalui pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan laki-laki dan perempuan kedalam perencanaan, pelaksanaan, pemantaun dan evaluasi dari seluruh kebijakan, program, proyek dan kegiatan di berbagai bidang kehidupan termasuk dalam pembangunan.
Gender mainstreaming ini sangatlah penting karena ketidaksetaraan dalam akses ke sumber daya dan perluang pembangunan menghambat efisiensi ekonomi dan keberlanjutan.
Langkah nyata kita untuk mencapai kesetaraan gender yaitu dengan adanya edukasi terkait kesetaraan gender, membangun klesadaran pada diri kita sebagai wanita bahwa kita memiliki kesetaraan gender dengan laki-laki, dan membangun sinergitas antara perempuan dan laki-laki.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.