Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sam Edy Yuswanto

Karena Tertawa Itu Sehat

Edukasi | Monday, 13 Feb 2023, 12:40 WIB
ilustrasi: dokumen pribadi

“Tertawa itu sehat.” Ungkapan ini tentu telah sering kita dengar. Ungkapan yang bila diresapi memang sangat benar adanya. Ya, saya sangat sepakat bila tertawa itu menyehatkan dan dapat membuat seseorang yang semula merasa galau dan sedih merasa terhibur karenanya.

Mungkin sebagian orang akan melontarkan pertanyaan seperti ini: “Bagaimana agar kita bisa tertawa di saat sedang sedih atau berduka?” Salah satu cara yang bisa mengundang tawa atau senyum adalah ketika kita membaca kisah-kisah jenaka atau bernuansa humor. Apalagi humor yang menyelipkah hikmah di dalamnya.

Kisah bernuansa humor, selain menjadi sarana yang menghibur, juga dapat dijadikan sebagai media pembelajaran yang menarik di berbagai lembaga pendidikan termasuk pondok pesantren. Oleh karenanya, penting bagi kita, termasuk para pendidik, untuk membekali dirinya dengan membaca buku-buku bernuansa humor yang mengandung hikmah.

Buku berjudul “Ketawa Ambyar ala Santri” terbitan Araska (2023) karya Muhammad Muhibbuddin ini misalnya, dapat dijadikan sebagai salah satu referensi yang akan menambah wawasan kita tentang kisah-kisah humor yang memiliki nilai-nilai yang bagus direnungi. Kisah humor tersebut bisa diselipkan ketika seorang pendidik tengah mengajar murid-muridnya.

Salah satu kisah humor yang menarik disimak dalam buku ini berjudul “Perbedaan Pilkada dan Pil KB Versi Kiai Hasyim Muzadi”. Dikisahkan, di beberapa ceramah, Kiai Hasyim Muzadi sering melakukan sindiran terhadap perilaku para politisi melalui humor atau joke. Dunia politik memang penuh dengan hal-hal lucu dan sering kali memang memuakkan. Ini kalau kita melihat dunia politik dari para politisi yang sering kali bertindak keji dan kotor.

Di setiap kali menjelang pilkada atau pemilu, fenomena-fenomena lucu akan berseliweran di depan mata. Banyak badut politik yang berakting sebagus mungkin dalam bermain “sirkus”. Ada yang berakting seperti ustaz; ada yang sok merakyat, tiba-tiba makan di angkringan, blusukan ke pasar, ke perkampungan kumuh, dan seterusnya; ada yang tiba-tiba rajin ke forum-forum pengajian, padahal sebelumnya tidak pernah. Banyak dari badut politik tersebut yang tiba-tiba sok dekat dengan rakyat, padahal ketika berkuasa disapa rakyat saja merasa terganggu.

Di setiap musim pilkada atau pemilu, badut-badut tersebut tiba-tiba berbusa-busa menebar janji; ingin bangun ini, ingin bangun itu; ingin membuat ini, membuat itu; ingin memperjuangan ini, memperjuangkan itu dan seterusnya. Tapi setelah terpilih, sepi tidak ada apa-apa. Rakyat hanya dijadikan sebagai objek omong kosong mereka. Masyarakat kecil hanya disuguhi fatamorgana dan harapan-harapan palsu. Oleh karena itu, ada perbandingan antara pilkada dan pil KB.

“Hadirin tahu, apa bedanya pilkada dan pil KB?” tanya Kiai Hasyim kepada para jamaah di hadapannya. Jamaah diam. Agak bingung. Lalu menunggu Kiai Hasyim menjawab pertanyaannya sendiri. “Pilkada itu kalau jadi pasti lupa. Sedangkan pil KB kalau lupa pasti jadi,” begitu guraunya disambut tawa hadirin.

Kisah humor berikutnya yang menarik disimak dalam buku ini berjudul “Tidak Ada Agama di Dalam Departemen Agama”. Menurut saya, kisah ini sekaligus menjadi kritik yang sangat bagus dan membangun untuk Departemen Agama di negeri ini, agar jangan melakukan korupsi. Begini kisah singkatnya:

Seperti yang dikisahkan oleh Menteri Agama dalam acara “Mata Najwa”, saat itu Lukman Hakim Saifuddin menceritakan bahwa hal pertama yang langsung diingat setelah dilantik menteri adalah pernyataan Gus Dur. Di dalam acara tersebut, Lukman Hakim menyatakan bahwa dirinya masih sangat teringat dengan kritik Gus Dur terhadap Departemen Agama melalui nada humor.

“Di Depag tersebut, ada semuanya, mulai dari proyek hingga transaksi apa pun layaknya pasar,” kata Gus Dur yang ditirukan oleh Lukman. “Hanya satu yang tidak ada,” lanjut Gus Dur, ditirukan oleh Lukman. “Agama itu sendiri,” jawab Gus Dur.

Kritik Gus Dur itu benar-benar sarat renungan bagi kita. Artinya, Islam yang ada di Departeman Agama hanya sebatas simbolisme, atribut, dan formalitas saja, tetapi substansi dan makna agama yang sesungguhnya sama sekali kosong. Sebab, bagaimana bisa, departeman yang katanya mengurusi agama, justru berkali-kali terkenal sebagai lembaga paling korup, di mana kemudian agama di dalamnya?

Humor-humor segar lainnya yang memiliki nilai edukasi dapat dibaca langsung dalam buku “Ketawa Ambyar ala Santri” dengan tebal 208 halaman ini. Selamat membaca semoga bermanfaat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image