Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image MUHAMMAD ABDUL AZIZ

Paradigma Keumatan NU

Agama | Saturday, 11 Feb 2023, 22:58 WIB

Pada penyelenggaraan Peringatan 1 Abad Nahdlatul Ulama di Sidoarjo yang usai beberapa hari lalu, KH Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum PBNU, menyampaikan pernyataan menarik. Sebagaimana dilansir oleh Sindonews.com, berikut pernyataan tersebut:

“Terimakasih sebesar-besarnya lagi teruntuk saudara tua kami Muhammadiyah. Selain memberi hidangan nikmat dan tempat istirahat nyaman bagi jamaah satu abad NU, juga mengirimkan tenaga kesehatan dari seluruh pelosok Jawa Timur.”

Membaca pesan ini, Penulis langsung teringat dengan satu pesan dari Prof. Dr. Kamal Hassan, mantan rektor International Islamic University Malaysia (IIUM). Dalam sebuah seminar, beliau menekankan kepada para mahasiswanya agar menanamkan dalam diri mereka apa yang ia sebut sebagai ummatized paradigm alias paradigma keumatan.

Urgensi Paradigma Keumatan

Michael Feener, seorang Indonesianis asal Amerika, menulis sebuah buku berjudul Muslim Legal Thought in Modern Indonesia. Indonesia diposisikannya sebagai tempat paling kosmopolitan di muka bumi. Demikian karena ia melihat Indonesia mampu menjadi titik temu (intellectual hub) bagi sekian jenis aliran, organisasi, dan institusi sosial-keagamaan yang berbeda. Ia mencontohkan posisi UIN (Universitas Islam Negeri) yang mampu mempertemukan keragaman literatur keagamaan, baik dari Timur maupun Barat.

Di samping menjadi kelebihan, jika tidak dikelola dengan baik, maka titik temu yang diharapkan tersebut justru akan menjadi titik tempur. Hal ini sesungguhnya bukan lagi sebuah pertanda, tapi sudah menjadi riak realita di tengah-tengah masyarakat. Contoh sederhana dapat diambil dari kolom Komentar di tayangan beberapa kajian keagamaan di Youtube. Antar umat Islam, dari yang bernafaskan NU, Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), hingga salafi, sedemikian mudah mencaci satu sama lain disebabkan perbedaan pandangan keagamaan.

Tentu saja artikel ini ditulis tidak ditujukan untuk melebur berbagai perbedaan pandangan tersebut. Sebab, di samping memang setiap pendukungnya tidak akan mau, juga karena keberadaan perbedaan pandangan tersebut sudah menjadi fitrah manusia itu sendiri. Karena itu, yang perlu diusahakan adalah bukan menghilangkan perbedaan, tapi lebih pada mengarusutamakan persamaan.

Pengarusutamaan persamaan inilah yang Penulis maksud sebagai paradigma keumatan. Bagi seorang Muslim, terutama dalam posisinya sebagai public figure, spirit ini harus menjadi salah satu kualifikasi utama yang harus disematkan dalam dirinya. Tesis dasar dari paradigma keumatan adalah melihat umat sebagai satu kesatuan betapa pun di dalamnya terdapat beragam perbedaan.

Ia harus menyadari bahwa umat yang berada di bawah pengaruhnya pasti akan mengalami perbedaan pandangan. Di samping itu, ia juga harus mengetahui betapa banyak aspek yang bisa menjadi titik kesepakatan di antara mereka, yaitu dalam hal-hal yang kemaslahatannya bersifat universal (ummahat al-maqasid). Seorang pemimpin organisasi keagamaan hendaknya tidak hanya memposisikan dirinya sebagai pembela umat organisasinya belaka. Namun, lebih jauh ia harus menempatkan diri sebagai pemimpin umat dalam skala yang lebih besar. Spirit inilah yang hari ini kita temukan bagian dari gaya kepemimpinan Gus Yahya.

Paradigma Keumatan dan Moderasi Beragama

Pada 4 September 2022, Gus Yahya mengunjungi Prof Dr Haedar Nashir di Kantor PP Muhammadiyah. Meski kunjungan tersebut berkaitan dengan penyelenggaraan Forum R20, tidak dapat dipungkiri bahwa keakraban kedua tokoh yang terpancar dari foto kunjungan tersebut banyak menyejukkan hati masyarakat luas. Inisiatif Gus Yahya merepresentasikan ketulusan, kerendah hatian, dan, tidak kalah pentingnya, kesadaran akan pentingnya sikap moderasi dalam beragama.

Meski salah satu maknanya adalah mengurangi, moderasi diterima luas dengan makna sikap pertengahan. Pengurangan itu sendiri sesungguhnya adalah pengurangan sikap ekstrim, baik ke kanan (ifrath) maupun ke kiri (tafrith) sehingga dengan spirit moderasi tersebut seorang Muslim mampu berdiri di posisi pertengahan (wasatiyyah) tersebut. Dari sini, moderasi beragama tidak lantas berarti mereduksi otentisitas ajaran agama. Tidak juga berarti menerima segala bentuk ajaran dan pemahaman. Tapi lebih pada menjadikan pemahaman dan praktik keberagamaan masyarakat berada di posisi pertengahan.

Dalam konteks kunjungan Gus Yahya di atas, tersimpul darinya sikap moderat; bahwa NU tidak hanya fokus pada urusan internal organisasi, tapi juga mampu bergandengan tangan dengan organisasi yang selama ini dipersepsikan berseberangan dengannya demi kemaslahatan umat.

Spirit moderasi ini kembali beliau gaungkan dalam ucapan terima kasih sebagaimana disebutkan di atas. Ia secara terbuka berterima kasih kepada Muhammadiyah atas bantuan yang diberikan dalam pelaksanaan Peringatan 1 Abad NU. Muhammadiyah juga disebutnya sebagai saudara, yang tentu saja, sebagai sesama saudara, akan membantu satu sama lain. Sederhana memang. Sebab, ia hanyalah ucapan terima kasih dan pujian. Namun, ketika diucapkan oleh seorang tokoh, ia mempunyai dampak positif yang begitu signifikan terutama bagi masyarakat bawah.

Moderasi adalah spirit utama ajaran Islam yang kemudian melahirkan paradigma keumatan. Seseorang tidak akan mampu bersikap sempurna, menjangkau, dan melihat semua sisi di sekelilingnya dengan proporsional kecuali ia berdiri di tengah. Memasuki abad ke-2 ini, paradigma keumatan Gus Yahya memberikan secercah harapan. Betapa pun barangkat dari organisasi tertentu, namun ketika sudah diangkat menjadi pemimpin, seorang Muslim harus mendudukkan kemaslahatan umat berdiri di puncak dalam skala prioritas kepentingannya.

Penulis adalah mahasiswa doktoral di Universitas PTIQ – Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI), Jakarta.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image