Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hasan Munadi

Rihlah klik!

Eduaksi | 2023-02-11 22:49:41

Kebutuhan dasar manusia baru-baru ini mengalami perubahan, ditandai dengan kebutuhan aksesibilitas media massa elektronik sebagai hak-hak yang harus dipenuhi, antara lain memberikan aktualitas diri, keberhasilan, pengakuan, belief, serta hasrat untuk memenuhi syarat manusia berkarakter. Di dalam Social Psychology, (2003), A. Baron dan Donn Byrne menyebut pengaruh sosial selalu menjadi pusat perhatian karena ia sangat dinamis, bahkan selalu menghasilkan bentuk ekstrem dari pengaruh sosial.

Pesantren yang selama ini diklaim sebagai broker system culture, berdasarkan nilai-nilai luhur kultural serta pengendalian sosial yang dinamis senantiasa berupaya memberikan jawaban atas tantangan perubahan sosial masyarakat tidak terkecuali isu-isu era modern seperti sekarang ini, karena pesantren sendiri memiliki multikultural dan intelektualitas yang khas (Zamachsari Dhofier, 1983).

Sebagaimana referensi para santri yang hidup ditengah-tengah disrupsi peradaban sejauh ini, Rihlah yang merupakan konsep metode pendidikan Ibnu Khaldun memiliki fleksibilitas paling potensial di dalam ruang aktualisasi diri para santri yang tafaqquh fi mashalihi jami’al khalqi terhadap relevansi modernitas (Thawil Akhyar Dasoeki, 1993).

Rihlah, dengan menawarkan efesiensi pemahaman terhadap suatu permasalahan serta rasionalitas pengembangan bagi khalayak masyarakat merupakan gaya aktualisasi khas santri yang diilhami dari platform metode pendidikan Ibnu Khaldun, ditambah adaptasi yang terbuka lebar terhadap prospektif masa depan. Aduhai!

Kilik! dan Pentingnya Rihlah

Segala aspek kehidupan meliputi ekonomi, politik, budaya, sosial, agama, seni, dan sebagainya dapat berlangsung dan terselenggara hanya dalam layar genggam (handphone). Dan Klik! Ragam fenomena maupun isu-isu lokal, nasional, bahkan internasional dapat dijangkau oleh semua orang. Sepertinya kita telah memasuki alam hedonic treadmill yang bias serta membingungkan, karena semuanya tiba-tiba menjadi popular posts dengan sekali Klik!.

Budaya populer, interaksi masyarakat di dalam kehidupan sehari-hari yang dekat dengan media massa elektronik ternyata mempengaruhi sikap, perilaku, kebiasaan, dan pandangan hidup masyarakat dalam bersosial. Memang, sebagaimana Tim Delaney dan Madigan; The Sociology of Sports: An Introduction, (2009) menyebutkan bahwa budaya populer menarik bagi orang-orang karena memberikan peluang bagi kebahagiaan individu dan ikatan komunal. Akan tetapi tidak dirasa adil jika masyarakat seperti dewasa ini hanya terpengaruh oleh dampak industrialisasi yang berorientasi pada popularitas semata, seharusnya era teknologi informasi memberikan peningkatan kepada masyarakat dalam pemahaman yang lebih maju serta kedewasaan sosial.

Jika masyarakat kita sepakat menyeluruh dan secara bertahap menjadikan media massa elektronik sebagai perangkat yang mendukung pengembangan produktivitas, maka atas era teknologi informasi ini kebiasaan maupun perilaku masyarakat akan menghasilkan orientasi pada positif solidaritas sosial jangka panjang, Mundigkeit (Sindhunata, 2019).

Seorang teolog modern, Dietrich Bonhoeffer (1999) menunjukkan kebaruan fenomena antropologi dengan memahami Mundigkeit atau kedewasaan manusia sebagai otonomi yang meliputi kekuatan dan kemampuan semua aktivitas manusia yang lahir dari “ego” yang sadar. Maka Bonhoeffer menyebut, bahwa pada era modern ini tidak hanya manusia, namun juga peradaban manusia serta kemanusiaan sendiri sedang menjadi dewasa. Budaya populer sendiri memiliki indikasi prospektif dalam cita-cita maupun proses ini terhadap upaya positif solidaritas sosial jangka panjang, dengan menghilangkan individualisme dari pengaruh popularitas serta membentuk aksesibilitas yang bersifat progresif. Sekilas terlihat indah, namun masih sulit bukan?

Rihlah merupakan ungkapan bahasa Arab yang berarti “Perjalanan”. Di dalam Pemikiran-Pemikiran Emas Para Tokoh Pendidikan Islam: Dari Klasik hingga Modern, (2018), Arifin Yanuar menjelaskan konsep Rihlah yang menjadi metode pendidikan Ibnu Khaldun sesuai dengan kisah edukatif Musa yang berguru kepada Nabi Khidir (QS. Al Kahfi; 60-82). Musa menjadikan pengalaman sebagai bahan refleksi pengetahuan dari berbagai demonstrasi dan perjalanannya bersama Nabi Khidir, sumber pembelajaran baru. Dimana refleksi kebaruan pengetahuan, sikap keterbukaan yang memunculkan gagasan-gagasan mutakhir, serta pandangan yang menuntut maslahat sosial jangka panjang dimunculkan oleh sebuah kesadaran dari pengalaman manusia.

Ibnu Khaldun (2001: 765) telah menganjurkan metode perjalanan (Rihlah) dalam penyelenggaraan pendidikan, karena dengan cara ini manusia akan mudah mendapatkan sumber-sumber pengetahuan yang sesuai dengan karakteristik dan daya eksplorasi masing-masing. Pengetahuan yang berdasarkan observasi langsung, memberikan pengaruh besar dalam pemahaman melalui kepekaan inderawi manusia.

Maka, kita tidak perlu jauh-jauh pergi kepada Dietrich Bonhoeffer untuk menanyakan bagaimana cara manusia menuju cita-cita dan Mundigkeit pada prosesnya di tengah disrupsi peradaban dewasa ini. Atau meminta petuah dari A. Baron dan Donn Byrne tentang suatu pandangan yang menentukan arah langkah sosial kita nantinya. Kiranya permasalahan modern ini sudah diusut lugas oleh seorang filsuf muslim sekaligus ahli historiografi yang berjuluk Bapak Sosiologi Islam, Ibnu Khaldun dengan konsep Rihlah -nya.

Santri dan Rihlah Kekinian

Tidak menutup kemungkinan bagi santri menciptakan budaya populer melalui media massa elektronik, sebagai produk dan bentuk ekspresi serta identitas yang dijumpai dan diterima oleh masyarakat luas.

Pertama, upaya positif solidaritas sosial jangka panjang yang kita semua elu-elukan sedari tadi membutuhkan kesadaran bersama yang bersifat mengikat di dalam inovasi atau kreasi kegiatan yang produktif. Kemampuan demikian dimiliki oleh para santri, karena mereka adalah masyarakat yang memiliki keterbukaan partisipasi (equalitarian participant) serta keterikatan yang bijaksana (entanglement of the wisdom). Aksesibilitas yang menjadi kunci dari upaya ini, dapat kita lihat jika para santri secara dominasi atau pencapaian telah membuktikan kegiatan produktif mereka dengan ragam sarana dan prasarana untuk popularisasi. Berangkat dari dua modal dasar di atas ditambah pelaksanaan suksesi goals achieved yang mendobrak zona nyaman kita, maka boleh dibilang kita telah Rihlah dari kemandekan sebelumnya.

Kedua, kebahagiaan seperti apa yang bisa kita temukan dalam sosial modern? Inilah pertanyaan yang sukar ditemukan jawabannya. Kebutuhan dasar yang berubah menjadi utopia sejalan pertumbuhan manusia. Namun dengan konsep Rihlah yang bukan hanya metode pendidikan, tetapi dikembangkan lebih signifikan lagi menjadi konsep pendewasaan bermedia sosial, maka kebahagiaan yang dimaksud tidak berpacu pada hasil akhir tetapi pada prosesnya yang sarat dengan capaian-capaian kemanusiaan serta peradaban manusia. Nurcholish Madjid (1992) memberikan gambaran terhadap semangat ideal yang diusung Nabi Muhammad ketika membawakan Islam, bahwa peradaban mendapatkan kontrol tergantung semangat kontinuitas manusia untuk menggali pengetahuan melalui alam semesta sebagai reaktualisasi nilai-nilai kultural dan spiritual dalam proses transformasi masyarakat.

Tidak perlu dibilang dua kali bagi santri untuk menerapkannya, karena keterbukaan partisipasi memberikan mobilitas yang lebih luas untuk terus menggali kesadaran “ego” di dalam bermedia sosial, dengan keterikatan yang bijaksana sebagai perilaku dewasa manusia modern atas kegiatan produktivitas yang dihasilkan melalui/dari bermedia sosial. Maka, Rihlah menawarkan upaya pengetahuan melalui/dari bermedia sosial yang mempelopori kesadaran masyarakat luas (Kuntowijoyo, 1985). Demikian dari dua hal di atas, sudahkah kita siap Klik! Untuk memulai Rihlah?

Di dalam analisis resepsi kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun, malah menegaskan Rihlah sebagai hajatun basyariyah (kebutuhan manusia) karena setiap manusia membutuhkan refreshment baik terhadap tubuh ataupun jiwa, dengan syarat menghasilkan kebaikan (ilmu) dunia maupun akhirat, di sinilah letak nilai daripada Rihlah tersendiri. Sedangkan di dalam Ar-Rihlatu fi Islami, (Abdul Hakam Ash-Sha’idi, 1988) Islam membagi perjalanan (Rihlah) dalam lima kelompok: 1) Rihlah untuk mencari keselamatan, seperti hijrah; 2) Rihlah untuk tujuan keagamaan, seperti ibadah haji, berziarah, dam mencari ilmu; 3) Rihlah untuk kemaslahatan duniawi, seperti mencari nafkah, dan kebutuhan; 4) Rihlah karena urusan kemasyarakatan, seperti menengahi pertikaian, dan mempertahankan keadilan dan; 5) Rihlah untuk kesenangan semata, seperti healing versi kalian. .

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image