Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Akhmad Faozi Sundoyo

Suluk Peradaban dari Titik Nol: Refleksi Seabad NU

Agama | Saturday, 11 Feb 2023, 21:49 WIB

Mengejutkan, namun membahagiakan. Tidak terbayangkan sebelumnya, jika pada resepsi puncak satu abad Nahdlatul Ulama (NU) di Sidoarjo, bakal menampilkan instrumentasi selawat Asyghil sebegitu memukau. Addie MS., menggubah gema selawat yang biasanya cukup diiringi rebana sebrayat, menjadi rambatan gema universal.

Hal ini, setidaknya, menunjukkan bahwa NU sangat apresiatif terhadap segala kemungkinan keselarasan, kepaduan ragam unsur dan anasir—apapun itu. Dan rambatan gema selawat di perhelatan itu, akhirnya benar-benar bisa dinikmati, diresap rungu oleh semua kuping manusia. Bukan hanya nahdliyyin saja, atau umat Muhammad saja.

Satu Dulu Baru Dua

Rumus penjumplahan, “satu tambah satu sama dengan dua”, dekat dengan—atau menjadi bagian penting—gerak kesalehan warga NU. Artinya, untuk menjangkau suatu pencapaian besar, sebuah maha karya, yang tentu membutuhkan kelindan tekad, kreativitas dan kerja sama banyak pihak, pada mulanya adalah langkah sederhana yang remeh dan biasa, tetapi beristimrar (dijalani terus).

NU yang sekarang telah berusia seabad, memulai langkahnya dari gerak paling sunyi: mesu budi pribadi. Yakni sebentuk tirakat, menempa diri pribadi secara intensif. Setelah laku tempa diri—dalam makna lain bisa disebut suluk—pungkas dan purna, baru keluar ikut menata masyarakat. NU, pada mulanya, berserikat untuk menjaga dan mengembangkan kesalehan diri dari kepungan berhala “melulu sibuk pada urusan dunia”, dengan tetap menjaga sesrawungan, serta tanggung jawab sosial lain.

Seiring sulitnya menjaga kesalehan tanpa wadah organisasi (jam’iyyah), NU bertahbis sebagai organisasi (31 Januari 1926). Itu pun melalui likuan perenungan dan lobi ruhani yang tak lempang. Lobi ruhani ini—misal, isyarat dari Kiai Kholil Bangkalan kepada Kiai Hasyim Asy’ari berupa tongkat dan tasbih yang perlu pembahasan khusus di lain kesempatan—merupakan tradisi yang dikukuhi NU sampai sekarang. Melalui tradisi, NU mencoba menyambungkan diri dengan keluhuran para bijak bestari di masa silam. Tidak hanya dengan ngulama (kiai) saja, namun lebih jauh, semua yang bersambung galur dengan keberadaan sekarang—para leluhur.

Bersunyi Sebelum Beraksi

Nahdliyyin memiliki tradisi menjauhi kemasyhuran sebagaimana kelelawar menjauhi cahaya terang. Keterkenalan membawa ancaman tidak ringan pada penghayatan kesalehan. Kendati tradisi ini nampak makin menipis, namun kisah viralnya seorang kiai sepuh yang datang ke dalam Gelora Delta Sidoarjo untuk mangayubagja seabad NU—ia malah tak kenal Gus Yahya, ketua (tanfidziyah) PBNU—adalah kabar baik yang menunjukkan NU masih baik-baik saja. Kiai sepuh, yang belakangan diketahui bernama KH Masduqi Abdurrahman, saya pikir, adalah sendi sari dari tradisi kesalehan NU. Menurut berbagai telusur, keseharian kiai ini dihabiskan (hampir) hanya untuk mendaras dan menjaga Alquran belaka (liputan6.com, 09/02/2023 dan beragam sumber).

Kisah semacam Kiai Masduqi Abdurrahman, di hari ini terasa mengejutkan publik luas, namun sebenarnya ya begini inilah NU. Sejak dari hulu sejarah, NU memang disokong dan dipayungi oleh para kiai khumul yang menghindari menampilkan diri secara langsung. Namun, dalam sunyi, mereka bersungguh-sungguh mengulurkan sokongan ruhani secara nyata dan terus menerus kepada NU khususnya, dan masyarakat luas.

Jika harus bicara peradaban, baik nasional maupun global, NU akan membicarakannya dengan polanya sendiri yang khas, yakni memperadabkan ‘diri pribadi’ dahulu sebelum menyoal peradaban yang lebih luas. Sikap semacam ini menjadi serupa “galih” pada pohon peradaban. Artinya, tidak peduli seberapa besar dan merimbun wujud peradaban, NU ‘ada di sisi dalam’ sebagai urat sendinya. Para ngulama NU, mengorbitkan kesalehannya pada mesu budi pribadi, bukan demi dirinya, tetapi demi tata kemasyarakatan, supaya tidak mengalami kebangkrutan spiritual.

Refleksi

Sudah bukan tabu, bila masyarakat modern hari-hari ini banyak yang mengalami kekosongan eksistensial pada diri pribadi. Mereka, dalam hal ini sangat bisa kita sendiri, begitu tersedot oleh hajat “menampilkan” daripada “memaknai” diri. Beragam model tampilan menjadi populer dan digemari. Hal ini sudah sangat umum, tidak terkecuali kaum beragama atau nahdliyyin sendiri. Masjid ditampilkan menjulang dan megah, misalnya. Namun, di sisi dalamnya tembok dan lantainya bersedu-sedu karena jarang dikunjungi umat. Atau kalau pun dikunjungi, itu hanya sejum’at sekali, atau sehari raya dua kali, atau sepanjang shaf tarawih di bulan Ramadhan. Contoh lain tak kurang, bahkan meruah.

Sampai pada usia lebih dari seabad, jika ditimbang-timbang, NU telah hadir membawa prinsip kemoderatan serta kesalehan tradisional yang khas. Namun, kendati kukuh pada tradisi dan kesalehan silam, sekarang ini kita menyaksikan derap eksistensi nahdliyyin menyebar ke hampir segala lini kehidupan modern. Hal ini menunjukkan bahwa NU tidak gagap terhadap dinamika kebudayaan dan peradaban yang lebih banyak disepuh oleh pandangan hidup modern (Eropa). NU ikut menyertai derap peradaban dengan suluk sunyi para ngulamanya, alih-alih para wali.

Akhirnya, jangan sampai, “sementara kearifan lokal terus disanjung sebagai tradisi yang perlu dirawat dan diwariskan, rujukan material-spiritualnya justru hancur berantakan. Rupanya bukan tradisi itu sendiri yang ingin dibela, melainkan citra tentang tradisi yang lebih mudah untuk dikemas dalam pertunjukan” (Karlina Supelli, 2013). Dan, walaupun masih perlu dikaji secara hati-hati, ironi tersebut relevan di beberapa titik kesosialan NU.

Wallahu ‘a’lam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image