Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Chindra Anindyaputri

Toxic Positivity, Bahayanya?

Eduaksi | Friday, 17 Dec 2021, 14:45 WIB

Kalian mungkin pernah curhat tentang masalah kepada orang lain, tapi pernah nggak sih, kalian merasakan curhat kepada seseorang, tapi balasan mereka rasanya nggak pas? Seperti menyepelekan atau menyinggung, padahal kita tahu apa yang mereka katakan itu niatnya baik. Respons seperti ini mungkin bikin kita malas curhat dengan orang ini lagi di masa depan karena enggan. Nah, balasan seperti ini disebut toxic positivity, dan banyak orang melakukannya tanpa sadar. Jadi agar kita tidak menyakiti orang yang curhat kepada kita, yuk kita pelajari seluk-beluk toxic positivity dan cara menghindarinya.

Apa Itu Toxic Positivity?

Toxic Positivity merupakan fenomena sosial di mana seseorang menolak perasaan negatif dan menuntut selalu bersikap positif, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Istilah ini asalnya dari pengertian bahwa orang-orang yang melakukannya berniat membantu dengan memberikan positivitas (positivity), tapi malah menjadi toxic dengan menyudutkan orang yang curhat dengan menginvalidasi perasaannya. Orang-orang ini jadi menuntut orang lain untuk menghindari perasaan-perasaan seperti sedih, marah, dan kecewa dengan menjaga outlook positif terhadap keadaan mereka. Memang positivitas itu baik, tapi harus kita ingat semua hal itu ada dosis baik-buruknya ya. Jangan terlalu positif sampai-sampai memendam perasaan negatif terus, karena lama-kelamaan bisa menyebabkan berbagai masalah kesehatan mental seperti stres, depresi, dan kecemasan berkepanjangan.

Toxic Positivity disebabkan oleh ketidaknyamanan terhadap perasaan negatif dan seringnya terjadi saat seseorang ingin menolong orang lain tapi tidak tahu sebaiknya mengatakan apa. Mungkin pelakunya ingin menguatkan lawan bicaranya saat dihadapkan dengan negativitas, atau bisa juga dia ingin menguatkan dirinya sendiri. Tapi walau bertujuan membantu, toxic positivity malah jadi menyakitkan karena terkesan mengesampingkan perasaan-perasaan negatif penerimanya, bukan menerimanya seperti seharusnya. Nah, perbuatan ini memberikan sinyal bahwa perasaan negatif itu sesuatu yang memalukan, sebaiknya disembunyikan saja.

Apa Saja Ciri-ciri Toxic Positivity?

Ada beberapa ciri seseorang terjebak dalam toxic positivity. Karena biasanya toxic positivity terjadi melalui ucapan, sebagian tanda ini bisa terlihat dari pola ucapan. Contoh ciri-ciri ini yaitu:

* Menyembunyikan perasaan nyata.

* Membiarkan, menghindari, atau menyepelekan masalah.

* Merasa bersalah kalau merasakan atau mengekspresikan perasaan negatif.

* Menyepelekan perasaan dan pengalaman orang lain dengan menuntut bersikap positif.

* Memandang rendah orang lain saat mereka mengekspresikan perasaan negatif.

* Sering membanding-bandingkan perasaan dan pengalaman diri sendiri dan orang lain.

* Menyalahkan orang yang tertimpa masalah.

Bagaimana Cara Menghindari Toxic Positivity?

Ada berbagai tips yang bisa kita coba untuk menghindari menjadi pelaku maupun korban toxic positivity, contohnya sebagai berikut:

1. Rasakan dan Kelola Emosi Negatif
Seperti koin, perasaan kita punya dua sisi. Emosi negatif yang kita rasakan bukan sesuatu yang harus disembunyikan atau disangkal, malah itu sesuatu yang normal, sama dengan emosi positif. Malah, seperti sudah disebut, menimbun emosi negatif lama-kelamaan akan berujung pada berbagai masalah. Memang solusinya mengatasi emosi negatif tuh dengan menghadapinya langsung ya, bukan menghindarinya. Oleh karena itu, kita sebaiknya mengungkapkan perasaan negatif kita kalau dirasa perlu. Berceritalah kepada orang yang dipercaya. Kalau tidak ada, bisa menggunakan buku harian.

2. Memahami Tanpa Menghakimi
Ada banyak alasan yang bisa menyebabkan seseorang merasa tidak enak, mulai dari stres dan tanggung jawab sampai gangguan mental tertentu. Oleh karena itu, sangat penting kita mencoba memahami perasaan lawan bicara kita, bukan menghakimi mereka. Kita juga sebaiknya memikirkan bagaimana cara yang tepat untuk membantu mereka melepaskan emosi tanpa menyinggung mereka. Usahakan sebisa mungkin agar tidak memberikan respons yang terkesan menuduh ya. Kalau tidak bisa memikirkan balasan jenis lain, lebih baik mengakui saja dengan jujur dan sopan bahwa kita tidak punya respons daripada menilai mereka.

3. Menegaskan Keperluan Obrolan
Mungkin kadang, saat kita curhat, lawan bicara kita membalas dengan cara yang buat kita tidak enak tapi bukan karena tidak ingin membantu, melainkan karena merekanya sudah membuat anggapan yang terkesan gegabah. Contohnya yaitu saat seseorang memberikan saran yang tidak kita minta. Cara untuk menghindari ini yaitu dengan menekankan apa yang kita inginkan dari obrolan kita. Biasanya orang yang berkeluh kesah hanya ingin didengarkan dan didukung, bukan dinasehati. Kalau demikian, tegaskanlah bahwa itu yang kita inginkan. Tindakan ini juga baik untuk lawan bicara kita karena membantu mereka untuk santai dan menjawab dengan lebih autentik.

4. Menghindari Membanding-bandingkan Keadaan
Setiap orang itu berbeda-beda. Ini bukan hanya benar untuk fisik, tapi juga mental. Setiap orang telah melalui suka-dukanya sendiri, punya hubungan-hubungannya sendiri, dan punya berbagai pengalamannya sendiri. Bisa saja sesuatu yang buat kita mudah merupakan hal yang sangat sulit untuk orang lain, begitu pula sebaliknya. Bukan hanya itu, kita tidak selalu tahu cerita penuh dibalik suatu keadaan. Jadi kita mungkin menganggap ringan sesuatu karena tidak tahu konteks penuhnya. Maka dari itu, kita sebaiknya tidak membanding-bandingkan masalah, baik milik kita sendiri ataupun milik orang lain. Lebih baik kita berusaha memahami dan menghibur diri agar kondisi kita membaik.

Nah, jadi seperti itulah toxic positivity dan bagaimana cara menghindarinya. Akhir kata, kita harus ingat bahwa hidup itu tidak seterusnya stabil. Kadang enak, kadang tidak, dan saat tidak enak, mungkin kita tidak merasa baik-baik saja, and that's okay. Tidak perlu merasa malu untuk mengungkapkan perasaan sedih atau marah. Perasaan negatif itu normal dan kita perlu menerimanya kalau ingin hidup kita maksimal, bukan menolaknya.

Sumber:
https://www.alodokter.com/mengenal-lebih-jauh-tentang-toxic-positivity
https://rightasrain.uwmedicine.org/mind/well-being/toxic-positivity
https://thepsychologygroup.com/toxic-positivity/

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image