Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image sucahyo adi swasono@PTS_team

NU Sudah Satu Abad?

Sejarah | Thursday, 09 Feb 2023, 13:56 WIB
Ilustrasi: warnanusa.com

"Setiap istilah (terminologi), kata, maupun kalimat, hendaklah dipahami menurut siapa yang bicara (dari mana asal muasalnya)", begitulah dalam suatu ungkapan atau adagium. Oleh karenanya, kali ini saya mencoba mengritisi tentang peringatan hari lahir NU (Nahdlatul Ulama) dengan tajuk "Satu Abad NU" beriringkan tema filososfis, "Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru".

Dari sudut pandang bahasa, "abad", adalah masa seratus tahun (lihat, KBBI - Kamus Besar Bahasa Indonesia), sehinggga 1 (satu) abad, berarti sama dengan seratus tahun. Nah, begitulah, sebagaimana dalam historinya bahwa Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi keagamaan Islam Indonesia, didirikan oleh Hasyim Asy'ari pada 31 Januari 1926, dalam situasi dan kondisi Indonesia masih dalam cengkeraman (jajahan) Belanda.

Sebagai organisasi keagamaan Islam Indonesia, seiring dengan berjalannya waktu, NU juga merupakan badan amal yang mengelola pondok pesantren, sekolah, perguruan tinggi, dan rumah sakit, serta mengorganisir masyarakat untuk membantu peningkatan kualitas hidup umat Islam.

Terkait dengan sudut pandang bahasa, maka NU yang lahir atau berdiri pada 31 Januari 1926, secara perhitungan matematis, maka pada 31 Januari 2023, usia NU sebagaimana tahun kelahiran atau tahun berdirinya dimaksud, realnya adalah 97 tahun.

Dengan kata lain, belum mencapai 100 tahun atau satu abad. Dengan demikian, dari mana tajuk satu abad Nahdlatul Ulama dalam memperingati kelahirannya ketika memasuki 2023 ini? Bertitik tolak dari mana istilah satu abad NU dimaksud? Apakah usia yang 97 tahun dimaksud, dibulatkan atau digenapkan menjadi 100 tahun (satu abad), sehingga memunculkan tajuk satu abad NU dalam peringatan kelahirannya (ulang tahunnya)?

Terus terang saja, sebenarnya saya ingin berbagi opini, cerita, serta harapan untuk mrngupas dalam topik "Refleksi 100 Tahun dan Tantangan ke Depan", terutama mengupas tentang apa saja tantangan yang dihadapi NU sebagai organisasi Islam terbesar ke depannya.

Namun menjadi tidak nyaman manakala mencermati istilah satu abad dalam tajuk peringatan hari jadi NU, yang realnya masih 97 tahun (1926 - 2023)? Sebab, sebagai jurnalis lepas yang masih berupaya menegakkan prinsip-prinsip jurnalistik dalam bingkai bebas merdeka, demokrasi bermartabat, objektif, dan berimbang, maka saya tak ingin menjadi "latah" atau hanya ikut-ikutan belaka demi mengejar poin ataupun popularitas belaka, sementara, esensi dari topik ataupun tema yang melatarbelakangi sebuah artikel opini masih patut untuk disoal agar memenuhi asas objektif dan berimbang sebagai sebuah artikel opini jurnalistik.

Apakah termionologi satu abad NU itu bertitik tolak dari akibat dikonversikannya kalender Masehi (Syamsiah) ke dalam kalender Hijriah, dimana 31 Januari 1926 bila dikonversikan ke dalam kalender Hijriah menjadi 16 Rajab 1344 H, dan 31 Januari 2023 sama dengan 9 Rajab 1444, sehingga legitimasi terhadap satu abad NU menjadi sah atau dibenarkan? Sebab, 1344 H menuju 1444 H memang adalah rentang waktu 100 tahun (satu abad) berdasarkan perhitungan kalender Hijriah.

Akan tetapi, fakta realita menunjukkan bahwa kalender Masehi berdasarkan peredaran Matahari (Syamsiyah), masih dijadikan sebagai pegangan secara universal oleh masyarakat Dunia internasional bila dibandingkan dengan kalender Hijriah yang diambil dari peristiwa hijrahnya Muhammmad SAW beserta para pendukungnya dari Makkah menuju Madinah (Yatsrib) pada 622 M sebagai 1 Hijriah.

Dan, kalender Hijriah dibangun berdasarkan rata-rata siklus sinodik Bulan kalender lunar (Qamariyah), sehingga selalu terjadi selisih dibandingkan dengan kalender Masehi yang mengacu pada revolusi Bumi mengelilingi Matahari, yakni antara 10 - 12 hari dalam satu tahun.

Sekian, dan terima kasih. Salam Seimbang Universal Indonesia_Nusantara ...

*****

Kota Malang, Februari di hari kesembilan, Dua Ribu Dua Puluh Tiga.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image