Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Wahyu Eko Pujianto

Sumbangsih Pesantren di Era Vuca: Selamat Datang Abad Kedua NU

Agama | Thursday, 09 Feb 2023, 13:53 WIB

Pesantren identik dengan santri, dan santri yang merupakan embrio pemuda NU. Dalam tradisi pesantren, selain diajarkan mengkaji ilmu agama, para santri diajarkan pula mengamalkan serta bertanggung jawab atas apa yang telah dipelajari. Pesantren juga mengajarkan nilai-nilai kesederhanaan, kemandirian, semangat kerja sama, solidaritas, dan keikhlasan. Kesederhanaan merupakan representasi sikap pengunduran diri atas ragam ikatan maupun hirarki masyarakat setempat, sekaligus pencarian makna kehidupan yang pada komunitas sosial. Pesantren memiliki nafas keagamaan, kehadiran kiai, eksistensi masjid, referensi keilmuan dengan garis (sanad) yang jelas, dan fasilitas tempat mondok. Semuanya dibingkai dengan cara-cara keikhlasan, kesantunan, dan penciptaan ruang-ruang akhlak yang luar biasa. Pesantren sebagai pendidikan berbasis masyarakat merupakan tuntutan masyarakat itu sendiri yang dilindungi oleh undang-undang sistem pendidikan nasional. Masyarakat dan pendidikan memiliki hubungan timbal balik, fungsional simbiotik dan equal. Di satu sisi, masyarakat memengaruhi pendidikan, dan di sisi lain pendidikan memengaruhi masyarakat. Dari kenyataan ini, masyarakat menganggap pesantren sebagai ‘lembaga ideal’ yang dipandang akan melahirkan alumni yang siap pakai serta mampu memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat. Oleh karena itulah embrio pemuda yang lahir dari pesantren memiliki tanggung jawab secara vertikal maupun horisontal dalam melahirkan serta membesarkan bangsa dan negara sesuai tuntutan global.

Perkembangan dinamika global saat ini sangatlah massif, terutama pada era covid-19 yang memaksa dan mengharuskan masyarakat memiliki kebiasaan baru serta membawa era baru. Volatility, Uncertainity, Complexity, dan Ambiguity(VUCA) menggambarkan situasi global saat ini. Situasi yang berubah dengan cepat, ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas adalah realitas yang ada dan akan terus berlanjut. Suka tidak suka mau tidak mau, semua masyarakat perlu memaksakan diri untuk beradaptasi dengan situasi yang sangat tidak menyenangkan dan tidak nyaman. Kondisi dinamis yang tidak menentu tersebut menuntut semua komponen bangsa untuk dapat segera menyesuaikan atau beradaptasi dengan kondisi yang ada (Lepeley, 2021). Oleh karena itu untuk menghadapi VUCA ini, masyarakat pesantren juga dituntut untuk memiliki pikiran yang terbuka, luas, dan tidak statis untuk beradaptasi dengan ketidakpastian yang ada.

Era VUCA harus diadaptasi oleh Pesantren. Data yang dicatat kementerian agama Republik Indonesia menunjukkan bahwa jumlah pesantren di seluruh Indonesia adalah 26.975 pesantren dengan jumlah santri 2.584.749 santri, dengan rincian jumlah santri yang mukim sebanyak 1.412.428 santri dan yang tidak mukim sebanyak 1.172.321 santri. Dari jumlah keseluruhan pesantren tersebut, sejumlah 23.372 merupakan pondok pesantren berbasis NU, yang dituntut untuk adaptif pada setiap perubahan dan dinamika sosial, politik, keuangan, pendidikan dan teknologi. Label yang menjadi ciri khas pesantren adalah metode pembelajaran "sorogan" dimana seorang santri face to face belajar secara langsung di hadapan gurunya. Selain itu terdapat pula metode wetonan bandongan (halaqah/kuliah), kemudian bahsul masail yang bentuknya berisi diskusi membahas masalah di masyarakat berdasarkan metodologi dalam kitab kuning. Ada pula metode yang khas seperti hafalan, demonstrasi, mudzakarah, serta ijazah (pertukaran ilmu dengan ikrar khusus), dan lain sebagainya (Ramadhani, 2022). Fakta tersebut memberikan gambaran bahwa sejauh ini, pesantren masih jauh dari pelukan teknologi yang notabennya merupakan tools utama dalam menghadapi era VUCA. Dunia berubah secara dramatis sebagai akibat dari teknologi yang semakin canggih saat ini (Baran & Woznyj, 2020). Di era VUCA, kecanggihan harus dimanfaatkan sepenuhnya agar tuntutan global dapat dikuasai dan dikendalikan secara memadai. Setidaknya, para santri perlu mencontih salah satu anggota Nahdlatul Ulama (NU) yang banyak menciptakan aplikasi berbasis teknologi, Ainun Najib. Seperti pada 2015, ketika platform LaporPresiden.org yang dibuat dapat bermanfaat sebagai wadah bagi laporan-laporan masyarakat yang disampaikan langsung kepada presiden. Sampai saat ini Ainun Najib merupakan praktisi teknologi yang kini tengah bekerja di perusahaan Grab Singapura, dengan jabatan sebagai Head of Analytics, Platform & Regional Business. Bahkan dalam kanal YouTube Sekretarian Presiden RI, Presiden Jokowi menyebutkan bahwa Ainun Najib merupakan pemuda yang potensial untuk memajukan tekonologi dan sistem informasi di Indonesia (Hardiansyah, 2022). Dengan pemahaman tersebut, saat ini harus di munculkan pesantren yang mempunyai ciri khas baru, yakni yang bersesuaian dengan nilai-nilai modernitas global.

Sumbangsi Pesantren

Pesantren merupakan salah satu kekuatan sejarah yang ikut menjadi latar belakang gerakan-gerakan Islam di Indonesia. Pada awal abad XX sampai berakhirnya pemerintah kolonial Belanda (1900-1942) pesantren menunjukkan kemampuan mempertahankan keberadaan dirinya di bawah tekanan dan pengawasan pemerintah kolonial. Di bawah pimpinan oleh KH. Hasyim Asy’ari, dimana NU tampil sebagai pionir dan perintis kemerdekaan semenjak masa jauh sebelum Indonesia merdeka dan merekapun ikut menjadi bagian pendiri dari negara Republik Indonesia ini (Farih, 2016).

Selannjutnya, perubahan sosial yang terjadi di masyarakat, khususnya pendidikan model Barat, tidak mempengaruhi perkembangan pesantren. Dalam konteks ini pesantren sebagai lembaga pendidikan dapat melakukan adaptasi dengan tuntutan masyarakat. Secara akademis perkembangan pesantren juga sangat menarik untuk dikaji, karena pesantren merupakan pusat studi dan penyebaran ilmu pengetahuan keagamaan.

Pendidikan di pesantren, menekankan kepada terjalinnya hubungan antara manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia serta ajaran tentang hubungan antara dunia dengan akhirat yang didasarkan pada al-Qur’an dan sunah sebagai sumber acuannya (Rahman, 2005). Sedangkan ditinjau dari peran kelembagaannya merupakan sub sistem dari pendidikan nasional dan secara historis telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi kemajuan peradaban Islam di Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan yang indigenous (khas Indonesia), pesantren memiliki akar sosio-historis yang cukup kuat, sehingga membuatnya mampu menduduki posisi yang relatif sentral dalam dunia keilmuan masyarakat Indonesia, sekaligus bertahan dan menyesuaikan diri dengan gelombang perubahan zaman. Demikian besar peranan pondok pesantren dalam membangun sejarah kebangsaan Indonesia. Banyak tokoh nasional dan bahkan internasional yang lahir dari lingkungan pondok pesantren, seperti K.H. Hasyim Asyari, Wahid Hasyim dan Natsir. Hal ini membuktikan bahwa pondok pesantren mempunyai kekuatan dan kemampuan strategis untuk menghasilkan manusia berkualitas, memiliki pengetahuan luas, berpikiran maju dan berwawasan kebangsaan yang kuat

Sejak dahulu pesantren tidak hanya berfungsi dalam proses pendidikan, melainkan juga dakwah dan pemberdayaan masyarakat. Itulah mengapa Kementerian Agama memberikan apresiasi tiga fungsi utama tersebut melalui berbagai kebijakan dengan mengusung tagline "Menjaga Tradisi, Mengawal Inovasi". Dukungan Kementerian Agama ini selaras dengan kaidah al-muhaafazhatu 'ala al-qadiim ash-shaalih, wa al-akhdzu bi al-jadiid al-ashlah. Pada satu sisi, kita ingin menjaga tradisi, identitas kultural, nilai-nilai yang baik di pesantren, di sisi lain pesantren juga sebagai wahana pengembangan ilmu pengetahuan, sains, teknologi, dan nilai-nilai modernitas.

Pembaharuan penting yang terjadi di pesantren menurut Dhafier terjadi pada tahun 1910, pesantren Denanyar di Jombang, telah membuka murid-murid untuk wanita. Dan tahun 1920-an pesantren Tebuireng Jombang dan pesantren Singosari di Malang, mulai mengajarkan pelajaran umum, seperti; bahasa Indonesia, berhitung, ilmu bumi, dan sejarah, disini tampaknya sudah mulai adanya sistem klasikal di pesantren. Selanjutnya di awal abad 20 misalnya, Gontor mempelopori berdirinya pesantren yang menekankan aspek kaderisasi pendidikan Islamdan menejemen terbuka (open menegement). Di pesantren ini santri dibekali dengan dasar-dasar ilmu agama dan berbagai ketrampilan hidup sehingga kelak ia bisa berwirausaha dan membina masyarakat. Metode pengajaran pun dimodernisasi sedemikian rupa. Dibukanya sistem madrasah di pesantren sejak abad 20-an, merupakan salah satu ciri menghilangnya santri kelana dan diterapkannya sistem klasikal merubah pandangan santri terhadap ketergantungan kepada ijazah formal sebagai hasil belajarnya. Meskipun pada saat itu pesantren telah mengalami perubahan, tetapi jumlahnya masih sangat terbatas dibandingkan dengan sekolah umum.

Menurut Dhafier ada dua alasan mengapa pesantren lambang mengadakan perubahan, pertama kyai masih mempertahankan dasar-dasar tujuan pendidikan pesantren, yaitu untuk menyebarkan dan mempertahankan Islam. Kedua, belum memiliki tenaga ahli sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Sampai akhir abad 20, sistem pendidikan pesantren terus mengalami perkembangan. Pesantren tidak lagi hanya mengajarkan ilmu agama tetapi juga mengajarkan ilmu-ilmu umum. Selain itu juga muncul pesantren-pesantren yang mengkhususkan ilmu-ilmu tertentu, seperti khusus untuk tahfidz al-Qur'an, iptek, ketrampilan atau kaderisasi gerakan-gerakan Islam. Perkembangan model pendidikan di pesantren ini juga didukung dengan perkembangan elemen-elemennya. Jika pesantren awal cukup dengan masjid dan asrama, pesantren modern memiliki kelas-kelas, dan bahkan sarana dan prasarana yang cukup canggih. Dengan tidak meninggalkan tradisi, pada abad 21 ini, pesantren terus mengadakan pembaharuan-pembaharuan baik di bidang kelembagaan maupun menejemennya, hal ini seiring dengan perkembangan dan tuntutan zaman.Oleh karena itu, di era sekarang ini banyak ditemukan model-model pesantren di Indonesia yang nyaris berbeda design bangunannya dengan pesantren-pesantren klasik.

Pesantren di Era VUCA

Pesantren harus beradaptasi dengan dunia teknologi informasi sebagai akibat dari revolusi digital yang memaksa mereka untuk mendobrak pola-pola baru dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika instruktur pemula di lingkungan VUCA menolak menghadapi tantangan untuk mendapatkan keterampilan dengan kecepatan yang sesuai dengan bakat dan kualitas SDM, mereka akan tertinggal jauh (Saksa, 2021). Berpijak dari riset tersebut, maka perlu bagi pesantren untuk melakukan penyesuaian terhadap sistem informasi secara cepat dan menyeluruh. Munculnya teknologi digital memberikan peluang yang sangat baik bagi dunia pendidikan seperti pesantren untuk menggunakan sumber daya yang dimilikinya guna menghasilkan generasi yang unggul di berbagai sektor.

Hal ini sesuai dengan penuturan Nur Syam yang dikutip oleh Saeful Anam (2016) menyatakan bahwa “pada saat ini sedang gencar berlangsung transformasi pesantren. Pesantren tidak hanya untuk tempat belajar agama, tetapi juga untuk pendidikan umum dan kewirausahaan (entrepreneurship). Dengan adanya transformasi tersebut, alumni pesantren (output) nantinya tidak hanya menjadi guru agama ataupun guru mengaji saja, melainkan mereka dapat menduduki posisi strategis di berbagai bidang kemasyarakatan termasuk politik, ekonomi ataupun kepemerintahanan. Menurut Ghofirin dan Karimah (2017) jiwa enterpreneur ditunjukkan melalui sifat dan watak berwirausaha dalam mewujudkan gagasan inovatif menjadi kreatif yang ditanamkan di pondok pesantren kepada para santri. Santri dikenal mempunyai karakter mandiri, sederhana, tidak mudah menyerah serta berani mengambil resiko. Karakter santri demikianlah yang menjadi modal berjiwa enterpreneurship.

Nadzir (2015) menyatakan pondok pesantren dapat berperan sebagai lembaga perantara yang diharapkan dapat menjadi dinamisator dan katalisator pemberdayaan sumberdaya manusia, penggerak pembangunan di segala bidang, termasuk di bidang ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Noviyanti (2017) di lingkungan pondok modern Gontor telah banyak mengembangkan industri ekonomi kreatif diantaranya adalah dalam sektor video, film dan fotografi, kuliner, fesyen, musik, kerajinan, penerbitan dan percetakan, seni rupa dan seni pertunjukan. Dalam hal ini, pesantren yang identik dengan ruh pendidikan Islam, kini telah berkembang mengikuti arus kontemporer dalam memberdayakan santri-santrinya hingga muncul istilah santripreneurship.

Jiwa enterpreneurship yang telah dimiliki oleh santri perlu dikembangkan sehingga santri mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang muncul dalam berwirausaha. Untuk mngembangkan jiwa enterpreneurship santri perlu dilakukan pendampingan oleh pemerintah. Untuk merespon kondisi tersebut, Pemrov Jatim membuat kebijakan program OPOP (One Pesantren One Product). Program ini mengawinkan potensi santri dengan potensi kewirausahaan. Bukan hanya santrinya yang akan mendapatkan multiplier effect, melainkan juga pondok pesantren dan lingkungan sekitarnya.

Berkaitan dengan masifnya perkembangan digital pada era VUCA maka sejak tahun 2022, Pemprov Jatim telah menargetkan 1000 santri untuk mengikuti pelatihan digital enterpreneur. sejauh ini pelatihan 1.000 santri digipreneur sudah berjalan di dua kabupaten di Jawa Timur, yakni Banyuwangi dan Mojokerto dengan masing-masing jumlah santri yang dilatih 100 peserta. Dalam program ini para santri akan dibekali bimbingan teknis sebagai bekal agar mereka memiliki keberanian, percaya diri, dan cakap untuk mendirikan sebuah usaha rintisan atau start up kewirausahaan. Tak hanya itu, para santri juga akan mendapatkan materi fundamental entrepreneur, fundamental digital marketing dan media, serta fundamental desain komunikasi visual. OPOP Digipreneur pada akhirnya diharapkan mampu mewujudkan santri berindustri yang tepat guna, kreatif, inovatif dan mampu beradaptasi pada kondisi tantangan global.

Menyongsong Abad Ke Dua Nahdlatul Ulama

Apalagi dilihat secara historis, keberadaan pesantren NU memiliki pengalaman yang luar biasa dalam membina dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya. Harus diakui, selama satu abad perjalanan NU sudah banyak hal dilakukan, terutama kemampuan NU dalam mengukuhkan diri sebagai gerakan keagamaan yang mengusung gagasan moderasi beragama. Sebagai organisasi yang berpijak pada doktrin Ahlussunnah wal Jamaah, NU mampu memformulasikan pemikiran yang mampu membentengi dirinya dari gempuran ideologi transnasional yang mengatasnamakan Islam.

Hal ini yang menyebabkan NU mempunyai kekhasan dan kekhususan tersendiri, yaitu organisasi dan gerakan keagamaan yang lahir, tumbuh, dan berkembang dalam konteks kebudayaan Nusantara. Moderasi beragama ala NU mempunyai basis kultural yang kuat. Walaupun demikian, Ada tiga hal penting yang harus dipikirkan ulang sehubungan dengan moderasi beragama di dalam sistem pendidikan pesantren di lingkungan NU yakni (1) bagaimana kita belajar (how people learn); (2) apa yang kita pelajari (what people learn); (3) kapan dan di mana kita belajar (where and when people learn).

Capaian NU selama satu abad dalam menjaga dan membangun Indonesia tak terbantahkan. Puluhan ribu pesantren, rumah sakit, koperasi, UMKM, dan tempat ibadah menjadikan NU sebagai ormas yang konsisten memberdayakan umat. Sebab itu, khitah NU sebagai gerakan masyarakat sipil harus terus dipertahankan. NU harus memainkan politik kemaslahatan, bukan politik kekuasaan. Menyongsong abad kedua, NU harus melipatgandakan amal-amalnya untuk mewarnai dunia. Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa saat ini kita berada dalam ruang globalisasi, di mana setiap ideologi, gagasan, serta gerakan dapat saling memengaruhi, take and give (Resnick, 2002). Entah kita yang akan memberikan pengaruh atau justru kita yang dipengaruhi pihak-pihak lain dengan derasnya informasi melalui laman digital.

Sebagaimana pemikiran Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari yang mengutip ungkapan Imam Ali bin Abi Thalib, ”kebenaran yang tidak terorganisasi dengan baik akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisasi dengan baik”. Dengan demikian NU harus merumuskan gagasan dan gerakannya yang bersesuaian dengan ajaran Al Quran dan Sunnah secara masif tanpa harus terjerembab dan terprovokasi oleh cuitan kaum ektremis.

SUMBER BACAAN

Baran, B. E., & Woznyj, H. M. (2020). Managing VUCA: The human dynamics of agility. In Organizational Dynamics. ncbi.nlm.nih.gov. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7439966/

Dhofier, Zamakhsyari. 1990. Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai. Jakarta: LP3ES.

Farih, Amin. 2016. Nahdlatul Ulama (NU) Dan Kontribusinya Dalam Memperjuangkan Kemerdekaan Dan Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 24 No. 2, November 2016, 251-284

Hardiansyah, Zulfikar. 2022. Diakses melalui https://tekno.kompas.com/read/2022/02/02/15150077/mengenal-ainun-najib-arek-nu-praktisi-teknologi-di-singapura?page=all. Pada 8 Februari 2023

Lepeley, M. T. (2021). Management in the Global VUCA Environment. Soft Skills for Human Centered Management andBussines. https://books.google.com/books?hl=en&lr=&id=KcIZEAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PT27&dq=%22vuca%22+or+%22business%22+or+%22knowledge+management%22&ots=7_d4bmEdnt&sig=EPpJUO75KpH3XmsYvlzN2BduCDs

Nadzir, Mohammad, 2015, Membangun Pemberdayaan Ekonomi di Pesantren, Economica Volume 6/Edisi 1/Mei 2015

Noviyanti, Ririn. 2017, Peran Ekonomi Kreatif terhadap Pengembangan Jiwa Enterpreneurship di Lingkungan Pesantren: (Studi Kasus di Pondok Moddern Darussalam Gontor Putri 1), Jurnal Penulisan Ilmia Intaj (2017): 77-99

Ramadhani, Muhammad Ali. 2023. Diakses melalui https://ditpdpontren.kemenag.go.id/artikel/pesantren--dulu--kini--dan-mendatang pada 8 Februari 2023

Resnick, M. 2002. Rethinking Learning in the Digital Age. Dalam Porter, M. E., Sachs, J. D., dan McArthur, J. W. The Global Information Technology Report 2001-2002: Readiness for the Networked World.

Saksa, N. (2021). The role of entrepreneurial leadership in business performance: a study on innovation in the VUCA world. lutpub.lut.fi. https://lutpub.lut.fi/handle/10024/163657

WAHYU EKO PUJIANTO

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image