Warga Frustasi Akibat Lenyapnya Ruang Publik
Gaya Hidup | 2023-02-08 04:03:08Ruang publik yang saya maksud dalam tulisan ini adalah tempat terbuka dan gratis bagi seseorang atau kelompok untuk beraktifitas seperti olahraga, bermain, berkumpul hingga hajatan dan pengajian. Bentuk tempatnya berupa tanah lapang di tengah perkampungan warga yang statusnya tanah negara atau milik pribadi yang dibiarkan saja tak terurus.
Sebagai generasi kelahiran tahun 80an di Kota Depok (dulunya kota administratif) yang bermukim di kampung kecil bernama Rawadenok, saya masih merasakan berangkat sekolah dasar negeri dengan berjalan kaki melewati area persawahan dan rawa. Angkutan umum masih sangat jarang. Saya ingat sekali jika ingin ke pusat kota harus berjalan kaki sepanjang kurang lebih 1,5 kilometer menuju gang Asem depan Pesantren Al-Hamidiyah agar bisa naik angkot D03 jurusan Parung-Sawangan-Depok. Waktu itu belum ada DMall, ITC dan Margo City, saya cukup bahagia ke Ramanda dan Ramayana sebagai pusat perbelanjaan modern saat itu.
Masa kecil saya nikmati dengan riang gembira. Banyak ruang terbuka untuk anak-anak bermain bebas tanpa khawatir diusir atau ditabrak kendaraan bermotor. Lapangan sepak bola dan voli tersedia bagi orang tua, kawula muda dan anak-anak. Beberapa orang kaya Jakarta punya tanah di kampung Rawadenok dan membiarkan asetnya sebagai fasilitas publik warga. Biasanya mereka menitipkan asetnya kepada tokoh kampung untuk digarap atau dibiarkan jadi ruang terbuka hijau.
Setelah Depok berkembang pesat menjadi kota penyangga ibukota, kampung Rawadenok ikut menjadi sangat padat. Tanah lapang yang sebelumnya ruang publik warga berubah menjadi bangunan rumah. Saya ingat ada satu lapangan sepak bola dan dua lapangan voli yang beralih fungsi menjadi perumahan. Tak ada lagi tanah kosong yang dapat digunakan untuk anak-anak bermain petak umpet, gundu dan layangan. Kehidupan menjadi sangat sempit dengan hiruk pikuk kesibukan manusia. Ungkapan populernya "kentut aja terdengar tetangga” karena satu rumah dengan lainnya tak lagi ada jarak.
Deskripsi keadaan kampung Rawadenok mungkin dapat mewakili kondisi yang sama di banyak lokasi di kota Depok. Wilayah kecil yang menampung jutaan kaum urban yang mengais rezeki bukan hanya di dalam, tetapi setiap hari bersafar ke Jakarta dengan kemacetannya. Saya tidak pernah menyalahkan keadaan Depok yang macet, padat dan semrawut karena faktanya "ada gula ada semut.” Urbanisasi tak terbendung karena banyak pengais rezeki ibukota yang tinggal di Depok. Itu belum ditambah warga asli yang bertambah banyak karena memiliki keturunan. Jumlah penduduk bertambah tetapi luas tanah tetap.
Bahkan saya menduga beberapa tahun kemudian, acara resepsi perkawinan tak layak dilaksanakan di rumah warga karena mengganggu sarana umum seperti jalan. Betapa stresnya pengendara mobil dan motor yang harus putar balik atau mencari jalan alternatif akibat jalan dipakai hajatan. Belum lagi polusi suara karena umumnya warga Depok suka menyediakan orkes dangdut hingga tengah malam sebagai hiburan. Nampaknya perlu diatur pesta nikah di gedung atau lapangan khusus agar tidak menutup jalan yang digunakan banyak orang.
Perlu disadari, pembangunan ruang publik sebagai sarana rekreasi warga secara gratis menjadi luput dari perhatian pemerintah sebelumnya. Alhamdulillah, beberapa tahun terakhir pemerintah kota membangun alun-alun dan banyak taman kelurahan, meskipun jumlahnya relatif tak sebanding dengan populasi manusianya. Saya pun tak aneh, pengunjung alun-alun membludak pasca Covid 19 karena warga butuh rekreasi gratis di ruang terbuka hijau. Jangan buru-buru menyalahkan kelompok remaja yang menjadikan underpass Dewi Sartika sebagai ajang rekreasi karena bisa jadi mereka tak punya cukup uang untuk duduk manis di kafe atau mal.
Setelah tinggal hampir dua tahun di Eropa, saya menikmati ruang publik gratis bagi warga. Setiap area pemukiman tersedia taman bermain anak dan tanah lapang. Lebih lagi alun-alun kota tertata rapi indah dengan pepohonan hijau dan danau. Setiap orang dapat menggunakan fasilitas umum tersebut untuk rekreasi individu atau keluarga. Saya sering melihat anak-anak bergembira di taman bermain, bersepeda atau sekedar jalan santai. Begitu pula kawula muda dan orang tua.
Saya berharap warga Depok berhenti mengeluh apalagi menyalahkan pihak lain atas hilangnya ruang publik sebagai sarana rekreasi gratis. Mari lestarikan yang tersedia saat ini seperti danau, alun-alun, taman dan sebagainya. Stop membuang sampah sembarangan dan jangan merusak fasilitas umum. Semoga pemerintah terus meningkatkan kuantitas dan kualitas ruang publik gratis agar warga tidak frustasi dengan kehidupan yang semakin berat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.