Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hidayatulloh

Pembakaran Kitab Suci Apakah Efek Islamophobia di Eropa?

Politik | Saturday, 04 Feb 2023, 19:49 WIB

Islam, meskipun bukan agama dengan jumlah penganut terbesar di dunia, selalu menjadi pusat perhatian dunia. Pembakaran kitab suci Al Quran di ruang publik oleh seorang politisi menimbulkan pertanyaan, apakah begitu bencinya si pelaku dengan Islam atau ia ingin menunjukkan ekspresi kebebasan berpendapat? Lebih menarik lagi pemerintah setempat melindungi pelaku dengan penjagaan keamanan yang ketat. Peristiwa itu jadi seperti sinetron yang diskenariokan dengan penuh persiapan.

Kadang saya terus berpikir, beberapa politisi Eropa yang diduga mendukung atau mengkampanyekan Islamophobia membenci Islam sebagai agama atau sakit hati dengan perilaku pemeluknya yang mereka lihat dan temui di sekitar kehidupan mereka.

Saya berusaha memahami suasana batin sebagian besar penduduk Eropa yang meyakini sekularisme adalah simbol peradaban Barat dan jalan menuju kejayaan. Pokoknya agama jangan ikut campur dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Sebagian mereka nampaknya agak risih dengan Islam sebagai ajaran agama yang banyak aturan tak sesuai budaya mereka. Tak boleh mengonsumsi khamr dan babi, kumpul kebo diharamkan, LGBT terlaknat, kewajiban shalat lima waktu, perempuan dewasa pakai jilbab, dan seterusnya.

Saya mendapatkan cerita nyata dari seorang muslimah Indonesia yang ditegur oleh warga lokal karena memakai jilbab di musim panas. Ia seakan-akan dicecar pertanyaan menyudutkan seperti "kamu tidak kegerahan pakai tutup kepala?” "memangnya harus menutupi kepala di tengah cuaca terik seperti ini?” Ada pula kawan pria yang bercerita bahwa dia dijauhi oleh teman sekamarnya yang berasal dari Eropa karena shalat setiap hari dan tidak mau minum khamr. Dia dianggap sebagai mahasiswa yang kurang gaul dan tidak mengikuti budaya lokal.

Kembali ke persoalan Islamophobia. Konflik sosial budaya antara penduduk Eropa dengan komunitas muslim yang mayoritas imigran seringkali terjadi karena perbedaan cara pandang kehidupan yang sangat tajam. Seringkali Islamophobia tidak serta merta kebencian terhadap Islam sebagai agama, tetapi ada "bumbu” sosial politik dan ekonomi yang menyertainya. Apalagi ada oknum pejabat dan tokoh politik yang suka menggunakan politik identitas dengan menyerang umat Islam atas kepentingan kelompok partai tertentu.

Menurut saya, drama pembakaran Al Quran depan kedutaan besar Turkiye di Swedia adalah salah alamat jika tujuannya menyerang kebijakan pemerintah Turkiye terkait keanggotaan NATO. Pelaku hanya ingin mendapatkan atensi besar dengan cara menyakiti dan memprovokasi umat Islam. Andaikan pelaku membakar bendera Turkiye atau foto presiden Recep Tayib Erdogan, niscaya tak akan jadi berita besar.

Respon jutaan umat Islam dengan kemarahan dan kecaman terhadap pelaku maupun pemerintah Swedia adalah wajar sebagai ungkapan kebebasan berpendapat. Penghinaan kepada raja atau bendera Swedia adalah kejahatan dalam hukum Swedia, maka perbuatan yang sama terhadap kitab suci seharusnya dilarang. Begitulah manusia suka egois dengan argumentasi hak asasi akhirnya menyakiti orang lain.

Saya pribadi berharap kejadian ini membuka mata publik Eropa agar lebih mengenal Islam dengan lebih baik. Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi alam semesta dan terbukti telah melahirkan peradaban unggul di Benua Biru pada masa lalu.

Terakhir saya tak ikutan memboikot produk-produk asal Swedia seperti IKEA, H&M, dan seterusnya. Itu bukan sebab saya tak marah dengan sikap pemerintah yang mengizinkan pembakaran kitab suci, tetapi sebelum ada peristiwa ini pun, saya tak pernah belanja barang semacam itu. Maklum, saya aparatur sipil negara dengan gaji minimalis lebih suka belanja produk lokal yang murah meriah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image