Bagaimana Menyikapi Anak Balita yang Susah Makan?
Curhat | 2023-02-01 13:48:02Pernahkah Anda melihat anak balita tidak mau atau "susah" makan--sering disebut "gerakan tutup mulut" (GTM)? Tentu saja Anda, terutama sebagai orangtua, pernah melihat, bahkan mengalaminya. Apa yang Anda rasakan ketika mengetahui anak melakukan GTM? Stres, khawatir, kesal, atau bersikap santai? Lalu, bagaimana Anda menyikapi anak yang tidak mau makan? Apakah Anda mengetahui penyebab anak, khususnya balita, tidak mau makan sehingga mereka melakukan GTM?
Saya merupakan seorang ibu yang memiliki seorang anak berusia 3,5 tahun. Ya, anak saya terbilang berusia balita dan dapat dikategorikan sebagai anak yang "susah" makan sehingga GTM menjadi perilakunya yang lumrah saya alami selama dua tahunan. Dapat dikatakan anak saya termasuk pemilih makanan. Dia tidak suka makan sayur, lauk-pauk, buah, bahkan nasi. Asupan utama anak saya hanya SUSU formula setelah dia berhenti mengonsumsi ASI.
Anak saya, hingga sekarang, hanya menyukai satu buah, yakni pisang. Itu pun harus pisang ambon lumut atau barangan. Selain kedua jenis pisang tersebut, anak saya menolak memakannya. Adapun untuk lauk, anak saya hanya mau makan ikan gurame goreng dan chicken roll pada salah satu restoran cepat saji. Anak saya sama sekali tidak menyukai sayur hingga saat ini, baik sayur itu berkuah maupun kering/tumis. Bila ditawarkan, dia langsung menolak untuk memakannya, bahkan menghindarinya.
Tidak hanya itu, selama dua tahunan saya harus menghadapi kenyataan bahwa anak menolak untuk makan nasi. Jika melihat nasi, dia seperti melihat sesuatu yang "menakutkan" atau "menyebalkan". Selalu saja dia berkata, "Tidak mau!!!" Tentu saja sikapnya itu membuat saya memutar otak menemukan cara membujuk yang ampuh agar dia mau makan nasi. Namun, nyatanya sulit membujuk anak supaya makan nasi. Dia tetap pada pendiriannya, menolak makan nasi.
Menyikapi anak yang susah makan
Tentu saja penolakan yang dilakukan anak saya dalam mengonsumsi makanan yang disajikan membuat saya bingung sekaligus khawatir, bahkan sempat stres juga. Satu hal dalam pikiran saya, "Jika anak susah makan, bagaimana dia memperoleh asupan dengan gizi yang cukup untuk tubuhnya?"
Sebagai orangtua yang berada dalam kondisi menghadapi anak yang susah makan, saya tak segan meminta saran dari ibu saya karena beliau lebih berpengalaman. "Ada kalanya anak seperti itu, susah makan dan pilih-pilih makanan. Wajar kalau tiap anak berada pada 'tahap' itu. Semua ada masanya. Tak selamanya mereka akan seperti itu," begitu kata ibu saya. Perkataan ibu saya cukup membuat saya lebih tenang. Satu sikap yang perlu ditanamkan ialah sabar.
Iya, saya berusaha sabar ketika menghadapi anak yang menolak aneka makanan yang saya sediakan untuknya, terutama nasi. Agar anak tetap berasupan karbohidrat, saya pun berinisiatif untuk mengganti nasi dengan menawarkan roti dan/atau kentang goreng. Alhamdulillah, anak saya mau memakannya. Bahkan, dia sangat antusias dengan roti--walaupun hanya merek tertentu yang dia sukai--terutama roti robek dan bakar.
Adapun untuk asupan protein, vitamin, dan mineral, saya mencoba mengamati makanan "pilihan" yang disukai anak saya. Misal, untuk lauk-pauk, selain menyukai gurame goreng dan chicken roll, ternyata anak saya suka dengan sosis, baik sosis ayam maupun sapi (meskipun hanya merek tertentu yang diminatinya), tempe-tahu goreng, serta pempek (asalkan berbahan baku asli tenggiri). Saya mengikuti "ritme" makanan kesukaan anak. Bagi saya, terpenting anak makan sesuai dengan makanan "pilihannya" daripada sama sekali tidak dan hanya mengonsumsi susu saja.
Meski demikian, seiring dengan berjalannya waktu, alhamdulillah, sekarang anak saya sudah mau makan nasi, asalkan nasi itu tanpa lauk dan sayur alias hanya nasi saja. Bahkan, nasi yang dimakannya harus yang baru matang. Jika demikian, dia bisa makan nasi hingga dua porsi mangkuk atau piring kecil.
Memang benar kata ibu saya, terkait dengan perilaku GTM anak, semua ada masanya. Kita memang harus bersabar menghadapinya, sekaligus mengamati dan memahami "ritme" makanan pilihannya. Toh, tidak selamanya anak, khususnya balita, susah makan sampai melakukan GTM. Kelak, perlahan tapi pasti, perilakunya akan berubah.
Selain itu, ketika anak menolak untuk makan karena (menganggap) makanan yang disajikan itu tidak disukainya, alangkah baiknya sikap kita sebagai orangtua ialah tidak memaksanya dan tetap (berusaha) tenang. Memaksa anak yang susah makan untuk mengonsumsi makanan yang disediakan hanya akan menekan dirinya dan tentunya ini tidak baik untuk perkembangan psikisnya.
Tak dimungkiri saat anak menolak untuk mengonsumsi makanan yang disajikan, bahkan menyebabkannya susah makan dan/atau melakukan GTM, membuat kita khawatir, stres, dan mungkin saja kesal. Hal ini dapat dimaklumi. Namun, kita pun harus mampu mengalahkan segala bentuk emosi tersebut. Janganlah kita lampiaskan kepada anak.
Belajar dari pengalaman
Memiliki anak yang pernah berada pada fase susah makan, bahkan termasuk pemilih makanan, menyadarkan saya bahwa mengurus, merawat, dan mendidik anak tidaklah mudah. Kita perlu mengelola dengan baik segala bentuk emosi ketika menghadapi perilaku anak yang membuat kita berpikir, "Kok, dia begini, sih? Kenapa gak mau makan? Kenapa harus pilih-pilih makanan?". Adapun kuncinya ialah sabar.
Sebagai orangtua, kita yang (harus) mampu memahami apa yang diinginkan-tidak, disukai-tidak anak kita, terutama mereka yang masih berusia balita. Ikuti "ritme" keinginan dan kesukaannya. Anak balita berada pada tahap pertumbuhan dan perkembangan sehingga dia sedang belajar untuk memahami apa yang diinginkannya dan disukainya, terlebih dalam pengenalan rasa makanan.
Orangtua, terutama seorang ibu, tentu ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya, misalnya dengan menyediakan makanan yang baik dan bergizi dengan nutrisi yang bermanfat bagi tubuhnya. Namun, tidak semua anak "bersedia" mengonsumsi makanan yang telah disediakan. Ada kalanya anak menolak itu. Ini sesuatu yang lumrah. Kita harus tenang sekaligus sabar menghadapinya. Dengan ketenangan dan kesabaran, insyaallah kita bisa melewati masa-masa anak susah makan.
Di samping itu, menjadi orangtua (menuntut) kita untuk tidak berhenti belajar. Belajar apa? Belajar pengelolaan emosi, belajar lebih sabar dan tenang dalam menghadapi perilaku anak, serta belajar untuk lebih memahami hal yang dibutuhkan, diinginkan, dan disukai oleh anak, khususnya yang masih berusia balita.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.