Liberalisasi Sektor Pendidikan
Pendidikan dan Literasi | 2023-01-26 15:21:27Liberalisasi sektor pendidikan
Liberalisasi telah menjadi sebuah isu global di seluruh dunia. Dunia telah semakin memperhitungkan wacana komersialisasi di segala bidang Pasar. Beragam kebijakan terus dikembangkan sebagai upaya untuk menciptakan Pasar Bebas. Menurut Friedrick Hayek dalam bukunya Jalan Menuju Perbudakan ,Liberalisasi Ekonomi menciptakan sebuah iklim kompetisi yang mendorong terciptanya konfigurasi ekonomi tanpa diintervensi negara yang bersifat koersif. Liberalisasi ekonomi melibatkan segala sektor tak terkecuali Pendidikan. Pendidikan yang merupakan isu kesejahteraan bersama dinilai perlu diliberalisasi sebagai upaya menciptakan kompetisi yang membangun sistem pendidikan yang baik. Menurut Programme for International Student Assessment (PISA), pada Selasa (3/12/2019) di Paris, menempatkan Indonesia di peringkat ke-72 dari 77 negara. Data ini menjadikan Indonesia bercokol di peringkat enam terbawah, masih jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darussalam. Survei PISA merupakan rujukan dalam menilai kualitas pendidikan di dunia, yang menilai kemampuan membaca, matematika dan sains.
Di Indonesia, pemerintahan Joko Widodo pada dua periode menciptakan serangkaian produk hukum sebagai upaya liberalisasi pasar. Dalam sektor ketenagakerjaan dan Investasi, pemerintah mengeluarkan Omnimbus Law sebagai upaya menderegulasi peraturan hukum yang menurutnya menghambat Investasi. Hal yang menjadi perhatian hangat ialah dalam Omnimbus Law terdapat pembahasan sektor Pendidikan. PP no 5 tahun 2021 tentang penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis resiko pada pasal 134 membahas bagaimana sektor pendidikan menjadi sebuah bidang usaha.
Namun penolakan terkait omnibus law sangatlah masif karena di nilai tidak mengakomodir kepentingan masyarakat sehingga mahkama konstitusi mengeluarkan putusan bahwa omnibus law merupakan produk hukum inkonstitusional bersyarat, dan pemerintah berkewajiban untuk memperbaiki dalam jangka waktu 2 tahun. Bukannya memperbaiki tetapi mengeluarkan perpu dengan kedok indonesia dalam keadaan darurat, sedangkan dalam muatan materi perpu merupakan duplikat dari muatan materi omnibus law. Yang artinya bahwa pemerintah dengan segala caranya meloloskan suatu produk hukum yang dimana membuka ruang investasi di indonesia terkususnya dalam sektor pendidikan.
Selain Omnimbus Law, pemerintahan Joko Widodo melalui Kemendikbud (Kini disebut Kemendikbud-Ristek) menciptakan program Kampus Merdeka Merdeka Belajar yang memudahkan perubahan PTN – BLU menjadi PTN-BH melalui Permendikbud 88 thn 2014 tentang perubahan perguruan tinggi negeri menjadi perguruan tinggi negeri badan hukum. Permendikbud tersebut kembali direvisi melalui permendikbud 4 thn 2020.
Berbicara mengenai PTN-BH. Perlu di pahami mekanisme PTN-BH merupakan sebuah badan hukum yang berdiri secara OTONOM. Artinya, PTN-BH berdiri sebagai pendidikan tinggi yang tidak dibawahi oleh negara. Hal ini merujuk dengan PP No 26 tahun 2015 tentang bentuk dan mekanisme pendanan perguruan tinggi berbadan hukum yang dijelaskan bawa PTN-BH memiliki mekanisme pendanaan dari 2 hal : a. APBN, b. selain APBN (pasal 2). Keterangan pada pasal 2 huruf b termuat pada pasal 11 ayat 1 yaitu bersumber dari ; a. Masyarakat, b. Biaya pendidikan, c. Pengelolaan dana pribadi , d. Usaha PTN-BH , e. Kerjasama tridharma Perguruan Tinggi (PT) , f. Pengelolaan kekayaan PTN-BH , g. APBD , h. Pinjaman. Pada pasal 11 ayat 3 juga, menekankan bahwa segala pendanaan selain APBN dikelola secara otonom dan bukan merupakan penerimaan negara bukan pajak. Sehingga dapat dipahami, bahwa PTN-BH merupakan badan usaha yang berdiri secara otonom.
Adapun hak otonomi yang dimiliki PTN-BH terdapat pada PP No 4 tahun 2014 tentang penyelenggaran pendidikan tinggi dan pengelolaan perguruan tinggi pada Pasal 25. Hak otonomi tersebut dibagi menjadi dua bagian: akademik dan non akademik. Dalam bidang akademik meliputi bidang pendidikan dan penelitian. Sedangkan dalam non akademik meliputi organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan, sarana dan prasarana. Hal yang menjadi titik pijak letak liberalisasi sektor pendidikan terdapat pada keuangan huruf b yang berbunyi “Tarif setiap jenis layanan pendidikan”. Artinya PTN-BH memiliki hak otonomi untuk mengatur tarif layanan pendidikan yang berupa UKT, pengadaan uang pangkal, dan segalah hal yang menyangkut layanan pendidikan. Selain pada huruf b, liberalisasi sektor pendidikan juga terlihat pada huruf e yang berbunyi “Membuat perjanjian dengan pihak ketiga dalam lingkup tridharma perguruan tinggi”. Jika mengacu pada pihak ketiga dapat di mengerti sebagai sektor bisnis dan ketenagakerjaan. Dampak yang dihasilkan adalah Perguruan tinggi akan berubah fungsi yang sebelumnya lembaga pencerdasan umat manusia berubah menjadi tempat mencetak tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan industri.
PTN-BH juga memiliki bentuk sistem organisasi yang berdiri otonom dan memiliki kelebihan daripada PTN sehingga mendukung proses komersialisasi di sektor pendidikan. Mengenai bentuk sistem organisasi PTN-BH terdapat pada pasal 30 yang berupa Majelis Wali Amanat (MWA) , Pemimpin perguruan tinggi,dan senat akademik. MWA sebagai fungsi penetapan,pertimbangan pelaksanaan kebijakan umum dan pengawasan non akademik. Pemimpin perguruan tinggi selaku pelaksana unsur akademik yang menjalankan fungsi Pengelolaan Perguruan Tinggi dan bertanggung jawab kepada majelis wali amanat. Dan senat akademik yang menjalankan fungsi penetapan kebijakan, pemberian pertimbangan, dan pengawasan di bidang akademik.
Selain melalui PP no 26 tahun 2015 dan PP 4 tahun 2014, pemerintah melalui Kemendukibud menerbitkan Permendikbud 88 thn 2014 tentang perubahan perguruan tinggi negeri menjadi perguruan tinggi negeri badan hukum dan permendikbud 4 tahun 2020 yang merupakan revisi pada permendikbud 88 tahun 2014 sebagai landasan hukum Kampus Merdeka dalam sektor kemudahan perubahan PTN menjadi PTN-BH. Dampak dari kebijakan ini berpengaruh terhadap masyarakat miskin. Misalnya melalui regulasi ini masyarakat sangat sulit menjangkau pendidikan, karena pendidikan sudah dijadikan bisnis, pendidikan makin mahal, dan lain – lain. Padahal dalam pasal 31 ayat 1 dan 2 UUD 1945 mengatur tentang kewajiban dan hak warga negara indonesia dalam pendidikan, pasal 31 ayat (1) : setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Pasal 31 ayat (2) : setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Sudah jelas – jelas dalam pasal 31 ayat (2) mengatakan bahwa pemerintah wijib membiayai warga negaranya. Namun sekarang apa yang terjadi, sebaliknya pendidikan di jadikan sebagai ladang bisnis untuk menciptakan tenaga kerja bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini adalah salah satu kebijakan yang sanagat tidak pro terhadap masyarakat miskin yang di mana sangat membutuhkan pendidikan. Karena pendidikan adalah salah satu kebutuhan yang paling asasi bagi manusia agar mampu mengisi perannya yang dibutuhkan oleh lingkungan, bahkan negaranya agar kehidupan yang dimiliki lebih baik.
Menurut UU NO 20 tahun 2003 pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagaman, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Dari sini kita tau bahwa pendidikan sangat penting dalam kehidupan manusia seperti apa yang sudah dijelskan diatas.
Namun lagi – lagi pemerintah menjadikan pendidikan itu sebagai ladang bisnis yang hanya mementingkan kebutuhannya di sektor pengeksploitasi tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan perindustian. Tanpa memikirkan masyarakat miskin yang sangat membutuhkan pendidikan.
Oleh : Hosea Marlodik Rumbiak (Anggota Eksekutif Komisariat LMND Universitas Bung Karno)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.