Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Arif Minardi

Saatnya Revolusi Latihan Kerja

Eduaksi | Thursday, 26 Jan 2023, 10:41 WIB

Pada era liberalisasi ketenagakerjaan sekarang ini perlu merobak secara total dan meyuntik anggaran besar-besaran untuk membangun Wahana Latihan Kerja (WLK) yang sebelumnya biasa disebut Balai Latihan Kerja (BLK ). Untuk mempersiapkan keahlian dan ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar.

Perlu membangun WLK agar mampu menjadi ruang atau wahana kreativitas untuk memperbaiki proses kreatif dan daya inovasi masyarakat. Yang pada gilirannya nanti proses kreatif tersebut bisa melahirkan profesi dan jenis usaha baru. Wahana kreativitas itu tidak hanya infrastruktur gedung, tetapi dilengkapi dengan sejumlah Supermentor atau instruktur yang andal. Yang mampu menyelenggarakan berbagai kegiatan workshop produk kreatif secara langsung maupun lewat perangkat teknologi informasi dan komunikasi. Workshop tersebut memiliki nilai yang lebih strategis jika terkait dengan produk lokal yang tengah menuju proses standardisasi global. Metode dan materi latihan kerja sebaiknya dibuat banyak ragam terutama yang terkait dengan keragaman produk dan budaya.

Segmen lapangan kerja memerlukan standar kerja dengan cara pelatihan. Sudah saatnya pemerintah pusat dan daerah menata kembali fasilitas WLK untuk meningkatkan kompetensi bidang industri kreatif. Dengan pertumbuhan angkatan kerja yang cukup tinggi, sudah mendesak pembangunan WLK di daerah-daerah yang sesuai dengan segmen angkatan kerja.

Eksistensi WLK perlu didukung dengan undang-undang agar bisa efektif operasipnalnya dan skema pembiayaan bisa dicukupi. Belajar dari kegagalan BLK, selama ini para pengajar atau instruktur BLK kurang mendapatkan pengayaan atau peningkatan wawasan, pelatihan tambahan melalui seminar atau studi banding, sesuai bidangnya masing-masing. Akibatnya keahlian mereka yang diberikan kepada peserta kursus menjadi kadaluarsa.

Dengan adanya UU WLK muatan yang diberikan mampu memenuhi tren kebutuhan pasar tenaga kerja lokal hingga diluar negeri. Berbagai portofolio kompetensi pasar tenaga kerja di luar negeri hendaknya juga menjadi muatan utama di WLK.

Melihat postur ketenagakerjaan Indonesia sangatlah menyedihkan, setiap tahun angkatan kerja bertambah 2,9 juta orang. Postur tersebut 60,25 persen di antaranya adalah tenaga kerja berpendidikan rendah setingkat SD dan SMP. Ironisnya, lulusan perguruan tinggi sebagian besar juga mengalami mismatch dan underqualified worker, sehingga kualitas kompetensi menjadi di bawah standar yang dibutuhkan dunia industri.

Postur Sumber Daya Manusia (SDM) nasional tergambar dalam data ketenagakerjaan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), dimana jumlah angkatan kerja mencapai 127,67 juta orang. Dari jumlah angkatan kerja tersebut sebesar 47,37 % masih didominasi oleh lulusan SD dan SD ke bawah, berpendidikan SMTP sebesar 18,57 % dan SMTA beserta SMK sebesar 25,09 %. Sedangkan lulusan diploma ke atas (DI, DII, DIII dan Universitas) hanya berjumlah 8,96 %. Komposisi jumlah angkatan kerja diatas tentunya tantangan berat untuk bisa bersaing secara global.

Dengan kondisi postur SDM diatas perlu revolusi ketenagakerjaan yang terbagi atas 4 Segmen. Segmen pertama menekankan program penjaringan dan penggemblengan oleh para Supermentor bagi lulusan PT yang berbakat dan memiliki prestasi akademis yang bagus untuk diberi kesempatan dan dipacu agar menjadi tenaga ahli atau ilmuwan kelas dunia. Jumlah lulusan PT berbakat setiap tahun meningkat dan tidak sebanding dengan daya tampung atau kapasitas lapangan kerja terbaik di Tanah Air.

Segmen Kedua, adalah program vokasional berbasis link and match dengan bantuan Supermentor oleh Guru Produktif, termasuk dari anggota Serikat Pekerja yang memiliki pengalaman dan prestasi kerja yang gemilang. Penekanan program adalah mengembangkan sistem apprenticeship seluas-luasnya.

Segmen Ketiga, adalah program pendidikan informal untuk segmen masyarakat berpendidikan rendah, lulusan SD atau tidak tamat SD serta lulusan SMP. Yang dipusatkan di Pasar Tradisional atau sentra penghasilan komoditas atau kerajinan. Pendidikan informal juga bisa mereduksi masalah sosial khususnya di pedesaan. Tahap pertama untuk program ini adalah membenahi organisasi pendidikan nonformal yang ada. Perlu merombak yang ada, baik di tingkat desa atau kecamatan yang biasa disebut Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM ) dan di tingkat Kabupaten/Kota yang disebut Sanggar Kegiatan Belajar (SKB). Organisasi ini harus dimodernisasi prasarananya serta kurikulumnya disesuaikan dengan kemajuan zaman.

Segmen Keempat adalah kantong-kantong buruh migran. Perlu meningkatkan kompetensi dan transformasi profesi buruh mingran. Perbankan nasional perlu membuat skema atau program khusus terkait dengan buruh migran Indonesia. (AM)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image