PHK Massal Raksasa Teknologi, Bagaimana Dampaknya di Sini?
Info Terkini | 2023-01-23 11:14:18Raksasa teknologi dunia pada awal 2023 melakukan PHK besar-besaran. Hal ini tentunya menjadi preseden buruk. Pemutusan hubungan kerja alias PHK massal terbesar diumumkan oleh beberapa perusahaan teknologi dalam 60 hari terakhir.
Banyak analis menyebut tahun 2023 bakal menjadi Annus Horribilis. Bisa diartikan sebagai tahun yang buruk dan penuh kegetiran. PHK massal di perusahaan raksasa teknologi terutama menimpa karyawan sektor teknologi informasi. Pemutusan hubungan kerja yang belum pernah terjadi sebelumnya kini terjadi di perusahaan terbesar. Angka-angka di Big Tech mencapai puluhan ribu.
Amazon, salah satu pemberi kerja terbesar di AS, mulai melakukan PHK yang berdampak pada 10.000 karyawan pada akhir tahun 2022. PHK tersebut dimulai dengan tim yang bekerja di rumah pintar Alexa perusahaan dan segmen game cloud Luna. Pada Januari 2023, jumlah ini membengkak menjadi 18.000 pekerja yang tersebar di berbagai divisi. CEO Amazon Andy Jassy mengatakan bahwa dia memutuskan untuk melakukan PHK ambahan setelah bertemu dengan para pemimpin di perusahaan untuk membahas cara mengurangi biaya di tengah ekonomi yang memburuk.
PHK massal juga dilakukan perusahaan teknologi raksasa Google yang memangkas 12.000 pekerjaan, kata CEO Sundar Pichai dalam memo staf. Kehilangan pekerjaan akan memengaruhi tim di seluruh perusahaan termasuk perekrutan dan fungsi perusahaan, serta beberapa tim teknik dan produk.
Setelah melakukan pembahasan yang alot akhirnya induk Facebook Meta akhirnya memberhentikan 11.000 karyawan, atau sekitar 13 persen dari tenaga kerjanya. PHK itu akibat dari stagnasi pengguna. Akibatnya saham perusahaan kehilangan lebih dari 70 persen nilainya sepanjang tahun.
PHK massal di perusahaan raksasa teknlogi dunia apakah berampak di sini.Ironisnya pemerintah dan sebagian pengusaha justru menakut nakuti serta melebh-lebihkan dampak buruk PHK massal di raksasa teknologi itu. Semestinya pemerintah memberikan gambaran yang lebih komprehensif serta mencari solusi terkait dengan dampak disrupsi teknologi.
Termasuk solusi terkait dengan transformasi keterampilan para pekerja. Teori disruptive innovation pertama kali diciptakan oleh Guru Besar di Harvard Business School, Profesor Clayton M. Christensen. Tertuang dalam bukunya The Innovator’s Dilemma yang terbit tahun 1997. Teori Disruptive Innovation menjelaskan fenomena dimana sebuah inovasi mengubah pasar atau sektor yang ada.
Inovasi disruptif adalah keniscayaan yang sulit dihindari tapi terbuka kemungkinan diatasi, bahkan dikalahkan dengan human spirit. Bagi kaum pekerja, langkah untuk menghadapi disrupsi yang boleh dibilang sering “mengubur” dan “membunuh” produk, usaha atau profesi pihak lain, yang pertama kali adalah merubah cara berpikir dan meneguhkan mental agility.
Kalau perlu organisasi pekerja mendisrupsi dirinya sendiri agar terbebas dari belenggu rutinitas. Mendisrupsi diri sendiri agar tidak miskin imajinasi, mampu meningkatkan kompetensi dan daya inovasi serta memiliki ruang kreativitas yang memadai.
Gelombang disrupsi harus diantisipasi dan dijadikan momentum untuk menata kompetensi dan meningkatkan skill bagi segenap anggota serikat pekerja. Juga bisa dijadikan momentum untuk merancang sistem remunerasi berbasis jenjang karir yang ideal. Menghadapi era tersebut bagi organisasi buruh merupakan perjuangan yang tidak ringan.
Kompetensi semakin kompleks, sistem kerja dan beban pekerjaan akan berubah, sistem pengupahan semakin bersifat individual yang cenderung mengedepankan prinsip outsourcing. Para buruh senior atau buruh lansia yang sudah tidak berdaya lagi mengikuti transformasi, harus dicarikan solusi yang manusiawi.
Di negara maju, organisasi serikat pekerja dan buruh mulai merumuskan kembali kebijakan dan program jaminan sosial bagi pekerja tua yang tidak mampu lagi beradaptasi dengan zaman. Yakni melalui skema pemberian tunjangan hari tua yang lebih baik dari yang sudah ada.
Keniscayaan bahwa dirupsi teknologi bisa menjadi ancaman pengangguran massal di Indonesia masa depan. Karena struktur ketenagakerjaan hingga saat ini masih didominasi oleh pekerja dengan latar belakang lulusan SD dan SMP.Menurut data kasar Kemenaker, Indonesia saat ini memiliki 56 juta tenaga terampil. Namun jumlah ini juga masih diragukan validitasnya, karena belum adanya pendalaman dan pengembangan portofolio kompetensi di setiap daerah.
Hingga kini pendidikan dan pengembangan karir dan kompetensi pekerja banyak yang stagnan. Sistem training dan diklat bagi pekerja belum sesuai dengan kemajuan zaman. Kondisi BLK yang ada juga masih memprihatinkan. Masih kekurangan instruktur berkualitas dan kurangnya workshop yang sesuai dengan jenis teknologi yang mendukung Industri 4.0. (AM)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.