Kasus Pidana yang Sering Terjadi di Sosial Media
Info Terkini | 2023-01-15 15:08:43Pada akhir akhir ini lebih tepatnya beberapa hari yang lalu marak terjadinya kasus tindak pidana yang berhubungan dengan sosial media. Tindak pidana tersebut contohnya yang sering terjadi yaitu kasus penghinaan dan pencemaran nama baik yang dilakukan seseorang (pelaku) untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan lain untuk bahan bercandaan atau lelucon dan hal tersebut dapat merugikan korban karena nama baiknya sudah tercemar. Hal tersebut terjadi disebabkan semakin bebasnya masyarakat dalam mengekspresikan pendapat melalui sosial media.
Peraturan tentang pencemaran nama baik sudah diatur dalam ketentuan ketentuan pasal pasal KUHP sebagai berikut :
1. Pasal 310 ayat (1) KUHP, yang berbunyi : (1) Supaya dapat dihukum menurut pasal ini, maka penghinaan itu harus dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu” dengan maksud agar tuduhan itu tersiar dan agar diketahui oleh orang banyak. Dan barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan suatu perbuatan dengan nyata agar akan tersiarnya tuduhan itu dihukum karna menista, dengan hukuman penjara selama lama nya sembilan bulan atau denda sebanyak banyaknya Rp 4.500,-.
(2) Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan dipertunjukan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara selama – lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak – banyaknya Rp. 4.500,-.
2. Pasal 315 KUHP, yang berbunyi : “Penghinaan seperti ini dilakukan di tempat umum yang berupa kata kata makian yang sifatnya menghina. Dan Tiap – tiap penghinaan dengan sengaja yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atu perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Dan setelah adanya internet semua sudah diatur dalam ketentuan Undang undnag ITE yaitu : Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang berbunyi “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik” pasal 45 UU ITE, yang berbunyi : (1) setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
Bahwa pencemaran nama baik, yang secara langsung maupun melalui media sosial atau internet adalah sama merupakan delik aduan, yaitu delik yang hanya diproses oleh pihak kepolisian jika ada pengaduan dari korban. Tanpa adanya pengaduan, maka kepolisian tidak dapat melakukan penyidikan kasus tersebut.
Sedangkan berdasarkan ketentuan pasal 74 KUHP, hanya bisa diadukan kepada penyidik dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak peristiwa tersebut terjadi, artinya setelah lewat jangka waktu 6 (enam) bulan, kasus pencemaran nama baik secara langsung maupun melalui media sosial internet tidak lagi bisa dilakukan penyidikan. Oleh karena itu bagi yang merasa namanya dicemarkan nama baiknya secara langsung maupun melalui media sosial internet harus mengadukan dalam jangka waktu tersebut.
Keberlakuan dan tafsir atas pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam pasal 310 dan pasal 311 KUHP. Demikian salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara No. 50/ PUU-VI/2008 atas judicial review pasal 27 ayat (3) UU ITE terhadap UU 1945. Mahkamah konstitusi menyimpulkan bahwa nama baik dan kehormatan seseorang patut dilindungi oleh hukum yang berlaku, sehingga pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak melanggar nilai nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip – prinsip negara hukum. Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah konstitusional.
Selain itu ada juga kasus pidana yang sering terjadi selanjutnya adalah kasus penipuan online. Dalam kasus ini penipuan oline, kerugian tidak hanya dirasakan oleh konsumen saja tetapi juga dirasakan oleh pelaku usaha. Berikut beberapa bentuk penipuan online dalam bidang jual beli yang sering terjadi adalah :
1. Barang atau produk yang diterima tidak sesuai dengan barang yang dipesan
2. Barang atau produk adalah barang tiruan
3. Identitas pelaku usaha atau konsumen fiktif
4. Penipuan harga diskon terhadap barang atau produk yang ditawarkan, yakni barang atau produk yang diterima bekas, tidak layak pakai, bahkan tidak dikirimkan.
Adapun UU ITE yang berbunyi Pasal 28 ayat (1) UU ITE yaitu setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik dipidana penjara paling lama 6 tahun dan atau denda paling banyak Rp 1 miliyar.
Untuk menentukan apakah seseorang melanggar pasal 28 ayat (1) UU ITE atau tidak terdapat implementasi yang harus dipahami
A. Delik pidana dalam pasal 28 (1) UU ITE bukan merupakan delik pemidanaan terhadap perbuatan menyebarkan berita bohong (hoaks) secara umum, melainkan perbuatan menyebarkan berita bohong dalam konteks transaksi elektronik seperti transaksi perdagangan online
B. Berita layanan informasi bohong dikirim melalui layanan aplikasi pesan,penyiaran daring, media sosial dan layanan transaksi lain
C. Bentuk transaksi elektronik bisa berupa perikatan antara pelaku usaha atau penjual dengan konsumen atau pembeli
D. Pasal 28 ayat (1) UU ITE tidak dapat dikenakan kepada pihak yang melakukan wanprestasi atau force majeur.
Kesimpulan, pasal penipuan online dan pasal tentang jual beli online memang belum diatur secara eksplisit dalam KUHP lama dan RKUHP maupun UU ITE akan tetapi pelaku penipuan online dapat dijerat dengan Pasal 28 ayat (1) UU ITE dan Pasal 45A ayat (1) UU 19/20016.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.