Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Kanaya Laluna Syawalani

Fear Of Missing Out : Solusi dalam Perspektif Hukum dan Sosial

Eduaksi | 2024-10-06 09:12:10

Maraknya media sosial yang menjadi wadah untuk berekspresi dengan bebas membuat banyak orang tertarik untuk menggunakannya. Hal ini selaras dengan data statistic dari We Are Social 2023 yang menunjukkan bahwa lebih dari 50% populasi di dunia merupakan pengguna media sosial.

Tentunya, data tersebut berdampak pada arus informasi yang ada di media sosial. Arus informasi di media sosial berlangsung sangat cepat membuat pengguna harus sering membuka media sosial tersebut untuk terus mengetahui hal terbaru agar tetap relevan di kalangan teman sebaya, dari situlah rasa FOMO muncul.

FOMO atau singkatan dari Fear Of Missing Out adalah perasaan takut tertinggal akan suatu hal yang marak terjadi saat ini. Perasaan takut tertinggal atau FOMO ini biasanya dirasakan ketika kita merasa tidak mengetahui atau merasakan suatu hal yang sedang dibicarakan atau diakui oleh kebanyakan orang.

FOMO bisa muncul jika kita memiliki rasa ingin diakui oleh masyarakat atau seperti ‘masuk’ kedalam standar yang dibuat oleh masyarakat itu sendiri. Hal ini tidak terpisahkan dari kehidupan modern, terutama di kalangan mahasiswa dan anak muda yang cenderung lebih aktif di media sosial.

Dalam artikel ini, posisi penulis diambil dari perspektif seorang mahasiswa hukum Universitas Airlangga yang dapat memberikan sudut pandang kritis tentang bagaimana FOMO bisa berdampak baik atau buruk tergantung konteksnya, serta memberikan pemahaman terkait pengaruh FOMO dalam kehidupan, interaksi, dan regulasi sosial.

Bagaimana dampak positif dari FOMO?

Perasaan takut tertinggal pada dasarnya merupakan hal yang baik atau buruknya bergantung pada bagaimana seseorang mengolah perasaan itu. Standar yang dilihat di media sosial menjadi tolak ukur baik atau buruknya rasa takut tertinggal.

FOMO bisa dikatakan bermanfaat apabila seseorang itu memiliki perasaan takut tertinggal dalam hal pengembangan kualitas diri, yang menyebabkan munculnya sifat kompetitif yang diperlukan. Sebagai contoh, di TikTok banyak konten kreator yang mengunggah video-video terkait self development, kiat belajar, mengikuti lomba dan lain sebagainya yang tanpa disadari menginsipirasi serta menciptakan standar bahwa seseorang yang berprestasi dan berkualitas itu harus seperti itu.

Hal ini menyebabkan banyak anak muda yang FOMO untuk mencapai atau masuk ke dalam standar berprestasi dan berkualitas tersebut. Walaupun pada dasarnya hidup menyesuaikan standar orang-orang itu tidak benar, tetapi jika bisa bermanfaat untuk diri kita kedepannya maka mengapa tidak kita coba olah perasaan FOMO tersebut.

Bagaimana dampak negatif dari FOMO?

Walapun perasaan takut tertinggal itu bisa dialihkan ke hal yang baik, perasaan itu tetap akan berbahaya apabila kadarnya berlebihan. Perasaan rasa takut tertinggal yang berlebihan bisa menyebabkan kecemasan tingkat tinggi.

Hal ini karena perasaan itu terus menerus ‘memaksa’ kita untuk hidup sesuai standar orang lain yang menyebabkan pertanyaan-pertanyaan seperti “apakah aku sudah cukup baik?” atau “standar hidup apa lagi yang akan orang – orang buat?” akan terulang.

FOMO dalam konteks ingin mempunyai barang yang sama atau pengalaman berlibur yang sama dengan orang lain akan mengakibatkan timbulnya sifat konsumsi berlebihan dan hedonism. Kebanyakan orang ingin membeli suatu barang hanya karena mengikuti trend dan takut ketinggalan jika tidak membeli tanpa melihat apakah barang itu memiliki fungsi yang penting atau tidak.

Beberapa orang juga ‘memaksakan’ untuk membeli barang-barang mahal hanya karena ingin diakui sebagai orang yang kaya. Tidak hanya itu, banyak juga konten kreator yang mengunggah gaya hidup yang terlihat ‘sempurna’ di media sosial yang menyebabkan banyak orang menginginkan kesuksesan instan karena FOMO mempunyai hidup yang sama dengan konten creator tersebut.

Hal itu tentu menipu, karena kesuksesan itu adalah sebuah proses panjang, bukan sesuatu yang didapat hanya karena FOMO dengan suatu trend.

FOMO dalam prespektif hukum dan sosial

FOMO sudah menjadi isu sosial yang marak terjadi, terutama di kalangan mahasiswa, sehingga seharusnya hal ini diregulasi di dalam hukum yang berlaku. Transparasi algoritma bisa menjadi salah satu solusi hukum yang efektif untuk meregulasi FOMO.

Regulasi transparansi algoritma adalah aturan yang mewajibkan platform untuk lebih transparan tentang cara algoritma bekerja dan memberi tahu pengguna mengapa mereka melihat konten tertentu, hal ini bisa mengurangi tekanan psikologis yang dialami pengguna. Dalam perspektif sosial, Mahasiswa dapat menjadi agent of change untuk mengarahkan FOMO ke arah yang lebih baik dan produktif.

Sosialisasi dan edukasi dengan konten media sosial tentang bahaya FOMO serta cara untuk menanggulangi dan mengubah FOMO kea rah yang lebih baik dapat menciptakan kesadaran sosial terkait fenomena ini.

FOMO bisa berdampak baik atau buruk tergantung dari bagaimana kita mengarahkan hal tersebut. FOMO bisa menjadi baik jika perasaan itu muncul Ketika kita melihat seseorang yang berprestasi, sukses, dan melakukan hal-hal positif yang terkait dengan pengembangan diri.

Sebaliknya, FOMO bisa menjadi buruk jika perasaan itu muncul ketika kita melihat seseorang yang tingkat ekonominya jauh diatas kita dan kita memaksakan diri untuk membeli barang-barang mereka ataupun mengikuti gaya hidup mereka dan masih banyak lagi. Hukum bisa berperan dengan memberikan regulasi mengenai algoritma platform media sosial tersebut. Dalam perspektif sosial, mahasiswa bisa memberikan konten edukasi atau sosialisasi tentang bahaya FOMO dan cara mengatasinya menjadi hal yang lebih baik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image