Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dr. Adjat Wiratma, M.Pd

Kampus Negeri yang tidak Lagi Terjangkau

Edukasi | Friday, 13 Jan 2023, 22:29 WIB

Viral cerita seorang mahasiswa yang kini meninggal dunia semasa hidupnya berjuang sebagai mahasiswa untuk bisa kuliah dengan beban UKT yang bagi dirinya dan keluarga tidak murah. Beritanya bekalangan dengan mudah kita dapat baca di media, "Viral Perjuangan Mahasiswa Cari Biaya Kuliah Hingga Akhir Hayat." Sang Rektor Universitas Negeri itu juga sudah menyampaikan tanggapannya atas berita yang beredar.

Sudah lama berlangsung, Kampus Negeri kini tidak lagi seperti dulu saat orang tua bahkan yang kini sudah jadi Profesor di kampus itu kuliah. Kini sudah seperti swasta, bahkan lebih dari itu. Tidak hanya harus "pintar" tapi juga harus "kaya" / "berpunya." Pintar tapi miskin dari kampung ya berat, apalagi kalau sudah miskin gak pintar, tidak ada tempat di Kampus yang harusnya disiapkan negara untuk Rakyat itu.

Betul dalam kebijakan Rektor akan memberikan keringanan, tapi dalam praktek itu sulit, jika bisa diringankan kenapa tidak di gratiskan saja, selesai urusan. Kenapa begitu sulit hati untuk menggeratiskan pendidikan, bahkan kini membuka jalur mandiri dimana-mana, kampus bisa buka usaha cari dana, lalu dimana keadilan pendidikan itu ?

Miris jika membayangkan bagaimana pendidikan tinggi kedepan dengan harga yang selangit, kampus negeri yang semua pegawainya dibayar negara, semua fasilitasnya didanai uang negara, masih merasa kurang dan sulit berkembang jika tidak cari uang dari rakyat, termasuk dari yang miskin lagi yang diminta.Sayangnya kesadaran akan hal ini sangat kurang dibandingkan Mahasiswa demo urusan naiknya harga BBM, atau pengesahan UU. Bukan itu tidak penting, tapi saya ingin ada gerakan nasional dimana semua mahasiswa bisa-lah bersatu menuntut pendidikan gratis sampai lulus S3 ! kenapa gak mungkin ? sangat mungkin.

Dokumentasi Akademi Indonesia

Negara tidak boleh berbisnis dengan rakyat, apalagi soal pendidikan yang telah menjadi hak dasar amanat UUD 1945.Jangan ada lagi cerita-cerita seperti yang kita dengar hari ini. Kita negara yang ingin maju dengan pembangunan pendidikan. Jika dulu banyak anak desa yang jadi dokter, anak kampung jadi insiyur, sekarang 95 persen kedokteran anak orang berpunya, dan fakultas-fakultas lain juga hampir demikian.Akan sulit kita mewujdukan keadilan pendidikan jika bisnis pendidikan yang dikedepankan. Dana besar pendidikan itu lalu untuk apa ? hanya habis untuk bayar dosennya, profesornya, lalu mahasiswa tetap dipungut biaya.

Kita sepakati kembali, Kampus negeri untuk anak-anak "pintar, berbakat, berprestasi" dan nol rupiah untuk siapapun mereka, mau dari desa, dari kota, anak DPR atau anak Petani sekalipun. Negara harus bisa membiayai semua itu, hentikan praktek kampus-kampus negeri mungut biaya bahkan hingga jutaan rupiah besarnya. Katanya subsisdi silang, implementasi gotong royong. Untuk pendidikan gak cocok itu diterapkan antar mahasiswa, kalaupun butuh biaya tambahan, kampus kembangkan perannya untuk riset dan sumber pakar selaga urusan, sehingga dapat banyak uang. Bukan untuk perorangan tapi untuk institusi, itu namanya saling bantu, dosen-dosen sudah dibayar negara, ahli-ahli sudah dibayar negara, dapat proyek balik ke kampus buat bayarin mahasiswa untuk lahirnya dosen-dosen baru, ahli-ahli baru.

Saya yakin tidak sedikit yang tidak setuju dengan pandangan saya, termasuk para ahli pendidikan atau mereka yang sudah mpunya di bidang pengelolaan lembaga pendidikan. Saya merasakan dan menemukan itu dalam diskusi-diskusi dan hubungan relasi termasuk dengan para guru besar, juga pejabat-pejabat kampus. Tapi ini tentang keadilan dan pemenuhan hak yang diamanatkan konstitusi.

Sudah terlalu lama bisnis pendidikan ini dianggap sebuah tuntutan jaman. harus dihentikan dan dikembalikan ke marwah dasar. Untuk apa negara ini membuat sekolah negeri, membuat kampus negeri, untuk apa ? kalau bukan untuk rakyat (baik si kaya mampun miskin sama).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image