Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Karta Raharja Ucu

Seperti Langit Pagi yang Disapa Gerimis, Hati Laki-Laki Juga Bisa Menangis (Cerpen)

Sastra | 2021-12-14 22:54:28

Jumat, awal bulan akhir musim semi, tahun ketika Perang Teluk berkecamuk, lahir bayi perempuan berpipi lesung. Sang Ayah yang rambutnya mulai longsor di usia akhir kepala tiga, gembira serta bersukaria. Kebahagiaan pria berkumis tebal itu paripurna saat melihat putrinya lahir sehat, cantik nan jelita.

Dua puluh tiga tahun bayi perempuan itu tumbuh sempurna. Ayahnya menjaganya tanpa cela. Perempuan berpipi lesung itu tumbuh menjadi seorang wanita berparas ayu, cerdik, cekatan, meski terkadang manja.

Akhir musim semi dua puluh tiga tahun kemudian, bertepatan dengan bulan perempuan itu lahir, dia ditakdirkan berjumpa seorang pria yang beberapa kali mampir di alam ruhnya. Gambarannya sama persis; wajah, postur, suara, hingga caranya berjalan. Mengagumkan.

"Kak, apa yang kamu sukai?" tanya sang perempuan berpipi lesung suatu waktu.

"Aku suka gerimis. Selain itu aku juga suka kamu," jawab pria bermata besar sembari mengeluarkan sekerat cincin emas.

Pipi bakpao berlesung perempuan itu longsor, ada cap merah di sana. Mereka pun berjanji menjalin ikatan abadi. Pria bermata besar itu kemudian mendatangi ayah perempuan berpipi lesung tanpa nanti-nanti.

"Nak," kata ayah perempuan yang kepalanya kini perlu dilakukan reboisasi ketika berbicara empat mata dengan pria bermata besar di dalam ruang tamu rumah bersofa merah. "Pesan Bapak, tolong jaga putri Bapak. Jangan pernah sakiti dia. Jangan pernah sekali pun patahkan hatinya."

Pria bermata besar menyanggupi permintaan sang ayah. Ia mengangguk sembari berjanji di dalam hati. Lamarannya diterima. Akad dan resepsi ditentui.

Namun, dua bulan sebelum pernikahan, perempuan berpipi lesung itu terpikat pria lain, pria dari masa lalunya. Lamaran dibatalkan, pernikahan gagal. Ada hati yang dipatahkan.

Seperti langit pagi yang disapa gerimis, hati laki-laki juga bisa menangis. Gerimis di langit pagi akhir musim semi itu kini serupa hati pria bermata besar.

Pria bermata besar itu tahu, meski dia menyukai gerimis, dia akhirnya akan berteduh juga. Karena dia tahu, yang disukai pun terkadang bisa menyakiti.

"Pak, kata si pria bermata besar di hadapan calon mertuanya saat hendak berpamitan. "Maaf saya tak bisa menepati janji menjaga putri Bapak. Karena Bapak tahu, putri Bapak yang justru mematahkan hati saya."

Sang ayah tak berucap kata, hanya hatinya berbicara, "Putriku memilih pergi bersama pria yang pernah dicintainya. Tapi putriku kehilangan pria yang tulus mencintainya."

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image