Membuka 2023 dengan Buku The Icy Planet
Agama | 2023-01-13 08:11:45Buku pertama yang kurekomendasikan di tahun 2023 dari buku yang ter bit awal 2023 perihal planet es sebagai kulkas rakszasa bumi mencegah pemanasan global. Buku bahasa inggris ini layak menjadi buku pertama untuk mengawali kepedulian kita di bumi sebagai penghuni yang berakal. Terima kasih pada penulisnya, Colin P Summerhayes yang membuat kita akan lebih peduli dan berperan.
Perubahan iklim kini tengah menjadi isu global. Berbagai bahaya pun menanti akibatnya. Survei menyebutkan satu dari lima orang Indonesia tidak percaya bahwa perilaku manusia merupakan penyebab masalah perubahan iklim. Temuan ini cukup ramai didiskusikan di Indonesia.
Survei yang dilakukan sebuah komunitas global yakni YouGov, menyebutkan bahwa 18 persen orang Indonesia meyakini bahwa perilaku manusia bukanlah penyebab perubahan iklim saat ini. Sementara 6 persen lainnya percaya bahwa iklim di dunia tidaklah berubah. Survei tersebut dilaksanakan YouGov dalam kurun 28 Februari hingga 26 Maret silam.
Indonesia sendiri menempati peringkat pertama sebagai Negara yang membantah terjadinya perubahan iklim terkait alsan tersebut dari 23 negara yang dilakukan survey. 25 persen orang Indonesia percaya manusia menjadi aktor utama terjadinya perubahan iklim, 29 peren menyatakan factor lain yang mnjadi penyebab, dan 21 persen sisanya menjawab tidak tahu.
Ada beberapa hal mengapa kita perlu memercayai sains dan agama secara bersamaan. Buku ini memang bukan agama, tetapi agama dapat membantu memberikan manfaat sains bagi kehidupan di bumi dan pasca planet bumi. Pertama, agama khususnya islam yang saya percaya mewajibkan saya percaya pada sains yang mana bersumber pada kapasitas akal yang mana akal sendiri adalah anugerah Tuhan yang menjadikan manusia menjadi inventor dan inovator. Akal menempatkan manusia menjadi antropsen memungkinkan bekerja baik untuk merahmati bumi atau mempetakai bumi.
Nabi Muhammad (saw) juga mendemonstrasikan kebaikan, perhatian, dan prinsip umum yang baik dalam memperlakukan hewan, yang menjadi tolok ukur bagi umat Islam. Dia melarang membunuh hewan untuk olahraga, mengatakan kepada orang-orang untuk tidak membebani unta dan keledai mereka, memerintahkan agar menyembelih hewan untuk makanan dilakukan dengan kebaikan dan pertimbangan untuk perasaan hewan dan menghormati Allah yang memberinya kehidupan, dia bahkan membiarkan untanya untuk memilih. tempat ia membangun masjid pertamanya di kota Madinah.
Catatan Ibrahim Ozdemir seorang environmentalist and professor of philosophy at Uskudar University, Turkey dalam aljazeerah ia menuliskan, banyak negara mayoritas Muslim menanggung beban perubahan iklim, tetapi kesadaran budaya mereka dan aksi iklim seringkali sangat terbatas. Menurutnya, sSebuah gerakan “lingkungan Islam” berdasarkan tradisi Islam – bukan impor lingkungan hidup “penyelamat kulit putih” berdasarkan kampanye politik dunia pertama – dapat mengatasi keduanya.
Secara saintifik kita mengapresiasi buku. Bagi kebanyakan orang, bagian es planet bumi tetap tidak terlihat dan tidak terpikirkan sebagian kecil memikirkannya secara serius termasuk penulis buku sains. Ilmu pengetahuan hari ini memberikan banyak pelajaran. Sebagai contoh, pencairan eslah yang akan menaikkan permukaan laut dan menghangatkan iklim lebih lanjut dengan mengurangi permukaan putih yang memantulkan kembali energi matahari ke angkasa. Akibatnya, tempat-tempat es kita bertindak sebagai lemari es dunia, membantu menjaga iklim kita tetap sejuk. Planet Es menjabarkan peran karbon dioksida sebagai tombol kontrol iklim kita selama 1000 juta tahun terakhir, lalu mengeksplorasi apa yang terjadi pada es dan salju di Antartika, Arktik, dan pegunungan tinggi.
Dari ayat ke aksi nyata
Kedua, ayat-ayat kauniyah membantu kita memperkuat pengetahuan dan kepedulian. Banyak ilmuwan yang teorinya bersumber data empirik walau kadang tidak dibaca secara baik oleh kelompok agama. Bahkan banyak yang anti sains dengan percaya hanya kepada takdir sebagai jalan keluar. Colin P. Summerhayes membawa pembaca ke tempat-tempat es di dunia untuk melihat apa yang terjadi pada es, salju, dan lapisan esnya. Dia menceritakan kisah-kisah dari kunjungannya sendiri ke lanskap beku ini, menyinari beberapa keajaiban yang dia temui dalam perjalanannya.
Banyak negara Muslim berkontribusi terhadap masalah ini. Indonesia, negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, adalah penghasil emisi gas rumah kaca terbesar kelima di dunia, dan tidak berbuat banyak untuk mengekang emisi. Bangladesh dan Pakistan adalah dua negara paling tercemar di dunia, tetapi tidak mengambil tindakan serius untuk mengatasi polusi. Kelambanan di dunia Muslim tetap ada meskipun ada deklarasi oleh negara-negara Muslim pada tahun 2015 untuk berperan aktif dalam memerangi perubahan iklim.
Mungkin kita akan berpikir bahwa mereka yang paling terpengaruh oleh perubahan iklim adalah kelompok yang paling gigih mencegahnya. Sayang Ini tidak selalu begitu faktanya. Banyak negara Muslim enggan memaksakan konsep lingkungan Barat, atau tunduk pada tekanan dari negara-negara yang telah mengalami industrialisasi tanpa harus mengatasi polusi atau mengekang emisi. Menurut Kolonialisme lingkungan bukanlah jawabannya.
Penulis buku the icy planetery ini juga menyatukan potongan-potongan cerita iklim dari berbagai disiplin ilmu, dan dari masa lalu dan masa kini, untuk menggambarkan bagaimana sistem iklim bumi bekerja. Memanfaatkan catatan geologis perubahan iklim bersama dengan teknologi baru dalam pengecoran es, Summerhayes membuat catatan sejarah iklim bumi yang mendetail dan meyakinkan dan meneliti bagaimana hal itu dapat digunakan sebagai jendela menuju masa depan kita.
Jelas, kita perlu berbicara dalam bahasa orang-orang yang perilakunya ingin kita ubah, terutama jika bahasa tersebut secara alami menolak kebijakan yang tidak berkelanjutan.
Beberapa pemimpin pemikir Muslim menyadari hal ini dan sangat ingin mengembangkan gerakan lingkungan “rumahan” untuk muncul sebagai pemimpin pemikir dengan hak mereka sendiri. Misalnya, Forum Dhaka bulan ini menjalankan panel tentang masalah lingkungan pasca-COVID-19 dengan mayoritas pembicara berasal dari dunia Muslim. NATO sudah tak zamannya lagi. Aksi nyata dari komitmen keyakinan itu yang perlu dinyatakan bersama.
Negara-negara Muslim memiliki keunggulan dalam perlombaan pencegahan krisis iklim yang kian nyata mempengaruhi kehidupan dan penghidupan. Mereka memiliki kerangka dan sistem kepercayaan yang mengamanatkan perlindungan bumi dan sumber daya alamnya. Seperti yang dikatakan Seyyed Hossein Nasr, seorang pendukung terkemuka gerakan agama dan lingkungan hidup, desakralisasi bumi oleh pengetahuan dan kapitalisme Barat telah menghasilkan ideologi bahwa manusia memiliki kekuasaan atas bumi, bukan pengelolaannya, yang merupakan pandangan Islam.
Umat Islam di Indonesia khususnya harus menjadi penjaga bumi dengan lebih militan lagi, demi lingkungan mereka dan demi Tuhan tempat ketauhidan bergantung.
Tulisan ini banyak mengambil narasi dari terjemahan https://www.aljazeera.com/opinions/2020/8/12/what-does-islam-say-about-climate-change-and-climate-action
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.