Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Arif Minardi

Jual Mimpi Hapus Kemiskinan, Justru Bikin Perppu yang Memiskinkan

Politik | Thursday, 12 Jan 2023, 05:55 WIB
Ilustrasi tentang kemiskinan ( foto istimewa )

Presiden Joko Widodo punya mimpi agar Indonesia bisa menjadi negara maju dengan pendapatan Rp 320 juta per kapita per tahun atau Rp 27 juta per kapita per bulan.

Menanggapi hal itu Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira menilai target Presiden Jokowi seperti menjual mimpi. Sebab, target tersebut masih jauh dari pencapaian ekonomi dan realitas sosial yang ada saat ini.

Menghapus kemiskinan perlu disertai dengan konsepsi dan strategi yang autentik dan mesti memihak kepentingan kaum pekerja serta sesuai dengan realitas sosial saat ini. Menghapus kemiskinan mustahil jika politik upah murah dan eksploitasi tenaga buruh justru dilakukan lewat Perppu UU Cipta Kerja. Jika kita pelajari secara seksama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) justru kebijakan yang semakin memiskinkan rakyat, terutama kaum pekerja.

Perppu No.2/2022 justru mengkandaskan mimpi Presiden Jokowi. dimana Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai 7 triliun dolar AS pada tahun 2045. Mimpi mewujudkan penghasilan per kapita 27 juta per bulan mestinya disertai dengan analisa tahapan dari tahun ke tahun dengan berbagai kondisi sosial dan tingkat pertumbuhan ekonomi.

Perppu yang memiskinkan rakyat itu secara gamblang terlihat dari pasal dan ayat antara lain, seperti yang dielaborasi oleh Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) LBH Jakarta sebagai berikut :

• Pasar Tenaga Kerja Fleksibel

Pada penjelasan Perppu Cipta Kerja bagian Umum, disebutkan bahwa alasan dibutuhkannya penciptaan kerja salah satunya karena Penduduk yang bekerja sebanyak 135,61 juta orang, di mana sebanyak 81,33 juta orang (59,97%) bekerja pada kegiatan informal. Kita dapat melihat bahwa alasan tersebut merupakan pembenaran atas adanya praktik-praktik hubungan kerja non-standar (informalisasi) yang sekarang menjadi tren seiring dengan adanya disrupsi teknologi. Kondisi tersebut perlu diatasi dengan membuat kedudukan yang setara antara Pekerja/Buruh dengan pemberi kerja, serta pemenuhan hak-hak tanpa dikesampingkan karena sifat hubungan kerja tersebut.

Jika kita melihat pada Perppu Cipta Kerja ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) diatur dalam Peraturan Pemerintah yakni PP No. 35 Tahun 2021. Dalam Pasal 6 PP No. 35 Tahun 2021 diatur PKWT dilaksanakan paling lama 5 (lima) tahun, sehingga membuat kepastian Hak atas Pekerjaan semakin dijauhkan bagi para Pekerja/Buruh.

• Politik Upah Murah

Jika kita melihat pada Pasal 88C ayat (3) UU/Perppu Cipta Kerja dan Pasal 25 ayat (2) PP No. 36 Tahun 2021 skema kebijakan pengupahan yang dirumuskan merujuk pada kepentingan pelaku usaha, khususnya kondisi bisnis perusahaan dan juga pertumbuhan ekonomi di suatu daerah. Padahal, jika berbicara mengenai kebijakan pengupahan, mestinya merujuk pada kondisi objektif dan riil pekerja, di mana upah pekerja diproyeksikan agar pekerja dan keluarganya mendapatkan upah yang layak untuk penghidupannya, sehingga kehidupan lebih sejahtera.

Kondisi tersebut, menunjukkan UU/Perppu Cipta Kerja meletakkan kebijakan pengupahan sebagai sebuah ongkos produksi yang menjadi beban bagi perusahaan. Dengan dalih dan tuduhan tanpa dasar yang menyebutkan bahwa ongkos upah di Indonesia cenderung mahal dan membuat investor enggan berbisnis di Indonesia, sehingga dengan adanya Perppu Cipta Kerja sama saja legitimasi kebijakan politik upah murah di Indonesia.

• Perluasan Sistem Outsourcing

Perppu Cipta Kerja masih mengatur ketentuan alih daya (outsource) yang sama dalam UU Cipta Kerja juga masih mengatur mengenai istilah alih daya dalam Pasal 81 angka 18 dan 20 memperjelas legitimasi atas penerapan sistem outsourcing. Jika kita melihat UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa pekerjaan alih daya dibatasi hanya untuk pekerjaan di luar kegiatan utama atau yang tidak berhubungan dengan proses produksi.

Dalam Perppu Cipta Kerja tidak ada lagi penjelasan ketentuan yang mengatur batasan pekerjaan-pekerjaan apa saja yang dapat dialih daya. Sehingga, Perppu Cipta Kerja dapat memberi peluang bagi perusahaan alih daya untuk dapat memberikan pekerjaan kepada pekerja berbagai tugas hingga tugas yang ranahnya bersifat bukan penunjang.

Sistem ini justru dapat membuat membuat sistem alih daya menjadi tidak terkontrol, apalagi Pasal 64 Perppu Cipta Kerja yang semula dihapus dalam UU Cipta Kerja, sekarang diatur bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis dan ketentuan lebih lanjut akan dituangkan dalam sebuah Peraturan Pemerintah.

Ilustrasi realitas kemiskinan ( foto istimewa )

Jalan Keadilan Sosial

Pemimpin di negeri ini jangan asal bermimpi jika kurang memahami realitas jalan keadilan sosial. Perppu Cipta Kerja jelas berlawanan dengan arah jalan menuju keadilan sosial.

Para penguasa dan elite politik harusnya sadar bahwa keadilan sosial merupakan faktor yang sangat krusial karena bisa menempatkan Republik Indonesia sebagai negara gagal.

Memang, tidak ada jalan pintas menuju keadilan sosial.Namun jalan tersebut mestinya bisa dipetakan lebih konkret lagi di bidang perekonomian misalnya melalui revolusi fiskal dengan merombak APBN. Selain itu juga perlu kebijakan reforma agraria, redistribusi pendapatan, bahkan redistribusi kekayaan. Bukan lantas menerbitkan Perppu yang kian memiskinkan rakyat.

Mestinya mimpi pemimpin bangsa untuk menghapus kemiskinan dikonkritkan dengan Kebijakan-kebijakan perombakan APBN untuk menciptakan kesempatan yang lebih merata dalam struktur masyarakat dan untuk menciptakan persamaan outcome yang dapat menanggulangi ketidakmerataan.

Menurut Louis Kelso dalam konsep menuju keadilan ekonomi terdapat tiga prinsip esensial yang bersifat interdependen, yaitu partisipasi, distribusi, dan harmoni. Ketiganya membentuk konstruksi keadilan ekonomi dalam masyarakat. Jika satu di antaranya hilang, niscaya konstruksi keadilan sosial menjadi runtuh.

Diperlukan peran tegas negara sebagai pengendali, karena distorsi dalam sistem pasar yang bebas akan menciptakan ketidakadilan dalam dirinya sendiri. Penerbitkan Perppu Cipta Kerja justru menunjukkan peran negara sangat lembek dan manut dengan kehendak para kapitalis komprador. Seperti dikemukakan oleh Joseph Stieglitz, selalu ada faktor asymetrical information dalam mekanisme kerja pasar bebas. Yang menyebabkan kebebasan itu sendiri menjadi tidak adil dalam dirinya sendiri. Teori Stieglitz itu menstinya disikapi oleh rezim di Indoensia dengan membuat strategi untuk mengendalikan mekanisme kerja pasar bebas. (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image