Novasi dan Subrogasi dalam Konsep Pengalihan Utang
Ekonomi Syariah | 2023-01-10 14:41:23LATAR BELAKANG
Implementasi ekonomi syariah ke dalam dunia bisnis saat ini merupakan hal yang sudah tidak asing lagi, seiring dengan arah kebijakan pemerintah yang telah melakukan merger bank-bank syariah.
Salah satu mekanisme dalam hukum ekonomi syariah yang mempunyai padanan dengan praktik ekonomi konvensional adalah konsep hawalah. Hawalah secara sederhana dapat diartikan dengan pengalihan hutang (debt transfer), terdapat beberapa lembaga yang mempunyai ketersinggungan antara konsepsi hawalah ini salah satunya yaitu novasi dan subrogasi walaupun secara keseluruhan mempunyai konsepsi umum yang berbeda, namun tedapat beberapa bagian praktis yang hampir mirip.
NOVASI
Novasi adalah Pembaharuan Utang yang dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dimana Pihak Kreditur dan Debitur bersepakat untuk menghapuskan perikatan lama dan menggantinya dengan perikatan baru.
Pasal 1413 KUHPerdata menguraikan terdapat 3 (tiga) jenis novasi, sebagai berikut:
1) Apabila seorang debitur membuat perikatan utang baru bagi kreditur untuk menggantikan perikatan yang lama yang dihapuskan karenanya. Hal inilah yang disebut novasi objektif;
2) Apabila seorang debitur baru ditunjuk untuk menggantikan seorang debitur lama yang dibebaskan dari perikatannya. Hal ini disebut novasi subjektif pasif;
3) Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, ditunjuk seorang kreditur baru, untuk menggantikan kreditur lama terhadap siapa si debitur dibebaskan dari perikatannya. Hal ini disebut novasi subjektif aktif.
Secara rinci KUHPerdata menguraikan ketentuan mengenai novasi dari Pasal 1413 sampai dengan Pasal 1424.
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia telah mengakomodir praktik Novasi dalam bisnis syariah dengan mengafirmasi Fatwa Nomor 103/DSN-MUI/X/2016 tentang Novasi subjektif berdasarkan prinsip syariah. Bagian ketiga fatwa DSN tersebut mengenai ketentuan akad menegaskan impelementasi hawalah dalam novasi sebagai berikut :
1. Novasi subjektif aktif yang berupa penggantian da'in berlaku ketentuan hawalat al- haqq; dan
2. Novasi subjektif pasif yang berupa penggantian madin berlaku ketentuan hawalat al- dain.
Untuk mengimplementasikan Novasi dalam bingkai ekonomi syariah, DSN MUI dalam fatwa Nomor 103 telah memberikan beberapa ketentuan khusus diantaranya sebagai berikut :
1. Kehendak untuk rnengadakan novasi subjektif harus dinyatakan secara tegas dan jelas oleh para pihak dalam akta perjaniian;
2. Dalam akta perjanjian novasi subyektif pasif harus dinyatakan secara tegas mengenai pernbebasan madin lama dari utangnya;
3. Dalam akta perjanjian novasi subjektif aktif harus dinyatakan secara tegas mengenai pembebasan da'in lama dari piutangnya;
4. Dalam novasi subjektif pasif (penggantian madin) dengan obyek pembiayaan murabahah, pengalihan utang oleh madin lama kepada madin baru dilakukan atas dasar itikad baik para pihak;
5. Mekanisme novasi subjektif pasif (penggantian madin) dapat dilakukan dengan menggunakan akad hawalah bil uirah dengan berpedoman pada fatwa DSN-MUI Nomor 58/DSN-MUL1V12007 tentang Hawalah bil Ujrah;
6. Novasi subjektif hanya boleh dilakukan atas utang-piutang yang sah berdasarkan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
7. Ketentuan mengenai jaminan dan pengikatannya diatur sesuai dengan kesepakatan
SUBROGASI
Subrogasi adalah Penggantian hak–hak oleh pihak ketiga yang membayar kepada Kreditur. Subrogasi menghendaki terjadinya pergantian Kreditur lama kepada Kreditur baru. Sebagai contoh, Debitur A melakukan perjanjian utang piutang dengan Kreditur B. dikarenakan Kreditur B sangat membutuhkan dana dari pinjaman uang yang dilakukan oleh Debitur A, maka terdapat 2 (dua) kemungkinan agar dana pinjaman Kreditur B tersebut kembali, yaitu pertama, Kreditur B mencari Kreditur C (sebagai kreditur baru) untuk menggantikan posisinya sebagai kreditur. Artinya, Kreditur B mengalihkan piutangnya dengan cara meminta kepada Kreditur C untuk melunasi hutang dari Debitur A, sehingga nantinya yang memiliki hubungan utang piutang adalah Debitur A dan Kreditur C
Dalam web page kamus besar.com subrogasi (subrogation) diartikan dengan pengalihan kreditur kepada pihak lain yang telah melakukan pembayaran atas utang debitur sehingga pihak lain tersebut menggantikan kedudukan sebagai kreditur; dengan demikian, segala hak dan kewajiban debitur beralih kepadanya
Subrogasi diatur dalam Pasal 1400 KUHPerdata. Disebutkan dalam pasal tersebut subrogasi adalah penggantian hak-hak oleh seorang pihak ketiga yang membayar kepada kreditur. Subrogasi dapat terjadi baik melalui perjanjian maupun karena ditentukan oleh undang-undang. Subrogasi harus dinyatakan secara tegas karena subrogasi berbeda dengan pembebasan utang. Tujuan pihak ketiga melakukan pembayaran kepada kreditur adalahuntukmenggantikankedudukankrediturlama,bukanmembebaskandebiturdari kewajibanmembayarutangkepadakreditur.
Subrogasi umumnya diterapkan dalam polis asuransi kerugian (general insurance) dan perawatan kesehatan. Klien yang diasuransikan menerima pembayaran dengan segera oleh perusahaan asuransinya; kemudian perusahaan asuransi dapat mengajukan klaim subrogasi terhadap pihak yang bersalah atas kerugian tersebut. Polis asuransi lazimnya memberikan hak kepada perusahaan asuransi, setelah kerugian dibayarkan pada klaim, untuk meminta ganti rugi dari pihak ketiga jika pihak tersebut menyebabkan kerugian.
Pada praktek bisnis syariah perusahaan asuransi syariah juga melakukan kegiatan subrogasi ini. Sebagaiman lazim terjadi pada asuransi jaminan pembiayaan. bank mengasuransikan jaminan pembiayaan atau objek pembiayaan yang berupa kendaraan, ketika kendaraan tersebut hilang maka pihak asuransi membayar klaim kepada nasabah dan bank menyerahkan bukti BPKB atas kendaraan yang hilang kepada perusahaan asuransi.
Dewan Syariah Nasional MUI melalui fatwa Nomor 104/DSN-MUI/X/2016 telah memberikan petunjuk mengenai Subrogasi syariah. Fatwa tersebut menyinggung hawalah sebagai akad pengalihan hutang, namun tidak secara tegas menyebut bahwa subrogasi syariah dijalankan berdasarkan akad hawalah, hal ini dapat difahami karena subrogasi tidak semata mata sama persis dengan akad hawalah, ada praktek praktek yang berbeda dengan hawalah secara ansich, diantaranya adalah adanya kombinasi dengan akad wakalah antara da’in (kreditur) baru dengan da’in (kreditur) lama dalam pembelian objek jual beli (sil’ah).
Fatwa DSN MUI Nomor 104 Tahun 2016 mengenal praktek subrogasi secara syariah dapat dilakukan melalui tiga mekanisme, yaitu :
Pertama Subrogasi Tanpa Kompensasi (‘iwadl), yaitu subrogasi atau pengalihan piutang antara kreditur lama dengan kreditur baru tanpa adanya kompensasi.
Kedua, Subrogasi dengan kompensasi (‘iwadl) tanpa disertai akad wakalah pembelian barang, keditur baru menyerahkan barang kepada kreditur lama untuk membayar piutang kreditur lama.
Ketiga, Subrogasi dengan kompensasi (‘iwadl) disertai dengan wakalah pembelian barang, model ini dilakukan dengan cara kreditur baru memberikan kuasa (wakalah) kepada kreditur lama untuk membeli barang yang akan dijadikan harga/pembayaran.
Untuk memberikan panduan yang lengkap terhadap implementasi subrogasi secara syariah, Fatwa DSN MUI Nomor 104 memberikan beberapa ketentuan khusus sebagai berikut :
a. Piutang uang (al-dain al-naqdi) hanya boleh dialihkan dengan barang (sil'ah) sebagai alat bayar (tsaman);
b. Piutang yang akan dialihkan harus jelas jumlah dan spesifikasinya;
c. Piutang yang dialihkan tidak sedang dijadikan jaminan (al-rahn). Piutang yang sedang dijadikan jaminan boleh dijual setelah mendapat izin dari penerima jaminan;
d. Barang (sil'ah) yang dijadikan sebagai alat pembayaran (tsaman) harus barang yang halal, jelas jenis serla nilainya sesuai kesepakatan;
e. Ketika transaksi pengalihan piutang dilakukan, da'in baru harus sudah rnemiliki sil'ah yang akan dijadikan tsaman, baik dibeli di Bursa maupun di luar Bursa, baik dibeli sendiri maupurl melalui wakil;
f. Pembayaran harga atas pengalihan piutang harus dilakukan secara tunai; dan
g. Subrogasi hanya boleh dilakukan atas piutang yang sah berdasarkan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.