Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image SANDI KURNIAWAN 2021

Riba Pada Bank Syariah

Bisnis | Tuesday, 14 Dec 2021, 16:25 WIB

Riba merupakan salah satu aktivitas pemindahan harta kekayaan yang tidak dilandasi kerelaan satu pihak, sehingga riba termasuk perbuatan tercela (karena memakan harta dengan jalan baṭil) dalam Islam. Meskipun perbuatan ini secara syara’ telah diharamkan, namun praktik riba terus berlangsung dan bahkan dikemas dengan gaya-gaya jual beli supaya tidak mencolok praktik ribawinya. Oleh karena itulah penting bagi penulis untuk mengupas beberapa kasus praktik ribawi baik yang berlaku di Lembaga Keuangan Bank ataupun Non-Bank yang tengah populer di tengah masyarakat saat ini. Selanjutnya penulis memaparkan bahaya praktik ribawi yang mempengaruhi pelaku (individu), kelompok masyarakat dan ekonomi.

Pada dasarnya Bank Syari’ah merupakan lembaga keuangan yang sistem operasionalnya berdasarkan atas Syari’ah Islam, artinya semua sistem operasional yang dilakukan oleh Bank Syari’ah haruslah sesuai dengan ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunah. Meskipun di dalam QS. Al-Baqarah 275 dinyatakan bahwa Allah telah mengharamkan riba, namun seiring dengan berkembangnya zaman beserta teknologinya, baik perbankan konvensional maupun perbankan syari’ah kian meningkatkan kegiatan funding dan financingnya dengan berbagai produk yang bervariasi. Sehingga tidak dapat dipungkiri jika ditemukan beberapa celah-celah praktik ribawi dalam varian-varian produk tersebut. Adapun beberapa kasus yang termasuk dalam celah-celah praktik ribawi di dunia perbankan syariah adalah berikut: 1. Kartu Kredit Perkembangnya zaman menuntut sistem perbankan juga mengalami perkembangan. Hal ini dapat dilihat ketika pada awalnya sistem pembayaran yang digunakan adalah sistem pembayaran tradisional, yaitu dengan barter. Oleh karena timbulnya kesulitan dalam kesamaan keinginan terhadap jenis barang yang akan ditukar (double coincidence of wants), lahirlah uang sebagai media perantara pertukaran yang paling efektif dan efisien.6 Namun pada kenyataannya, keberadaan uang itu sendiri masih sering menimbulkan hambatan dalam penggunaannya. Artinya ketika uang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, terlebih ketika uang semata-mata hanya sebagai alat komoditas. Maka praktek ribawi akan terus merajalela. Dalam transaksi jual beli perlahan muncul beberapa permasalahan, salah satunya adalah ketika seseorang diharuskan melakukan transaksi pembayaran atas suatu barang atau jasa dalam jumlah yang besar sehingga akan menimbulkan resiko baginya. Seperti risiko yang timbul akibat dari maraknya kriminalitas yang sering terjadi di lingkungan sekitar berupa perampokan, pencurian bahkan pemalsuan uang, menjadi salah satu faktor minimnya penggunaan uang tunai dalam transaksi jual beli. Oleh sebab itu, lahirlah kartu kredit (credit card) yang dijadikan salah satu alat pembayaran modern.

Kartu kredit merupakan kartu yang diterbitkan oleh suatu lembaga keuangan bank dengan berbagai fasilitas yang dibatasi jumlah dan periode kreditnya oleh bank penerbit kartu sebagai alat pembayaran tidak tunai (hutang).7 Dalam forum ‘The International Islamic Finance’ tahun 2008 silam di Dubai, Dr Abdulazeem menyatakan bahwa bunga yang dikenakan kepada pemegang kartu kredit oleh bank penerbit kartu biasanya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan besaran bunga pada pinjaman normal. Sehingga, terkadang kartu kredit dianggap tidak cocok jika digunakan untuk transaksi pembelian dalam jangka waktu yang lama, karena semakin tinggi bunga yang akan ditanggung oleh pemegang kartu.8 Belum lagi ketika terjadi keterlambatan dalam pembayaran angsuran tiap bulannya, maka pihak penerbit kartu akan membebankan penalty atau denda. Maka tidak diragukan bahwa praktik semacam ini adalah termasuk dalam praktik ribawi karena penggunaan kartu kredit berarti berhutang, sehingga penalty yang dibebankan atas setiap keterlambatan adalah riba, yaitu kategori riba nasi’ah. Dipaparkan pula oleh Dr. Abdulazeem bahwa kartu kredit tidak diperbolehkan jika terdapat unsur riba di dalamnya.9 2. Biaya Administrasi dalam Pembiayaan Pada praktek transaksi pembiayaan di perbankan syariah sudah dapat dipastikan bahwa nasabah akan dikenakan biaya administrasi pembiayaan. Sebab perbankan syariah selama ini masih mengadopsi sistem perbankan konvensional dalam penentuan biaya administrasi pembiayaan tersebut. Yaitu sistem yang telah dilegalkan dan dibakukan bahwa biaya administrasi pembiayaan harus dimunculkan dengan cara yang sama dengan penentuan biaya administrasi kredit di perbankan konvensional. Sehingga indikasi permasalahan muncul karena adanya penggunaan konsep time value of money dalam penentuan biaya administrasi pembiayaan.10 Sedangkan para ekonom Muslim sepakat bahwa konsep tersebut tidak sesuai dengan konsep ekonomi yang Islami.

Dalam ekonomi Islam tidak mengenal penetapan biaya administrasi yang tidak jelas penggunaannya. Sebagaimana Allah SWT telah berfirman dalam QS. AlBaqarah ayat 188 yang artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” Pada dasarnya (secara umum) biaya administrasi diartikan sebagai biaya yang dikeluarkan untuk keperluan operasional seperti alat tulis kantor. Adapun macammacam biaya administrasi yaitu biaya administrasi penarikan uang tunai dan kartu kredit, biaya administrasi tabungan/formulir, biaya administrasi pembiayaan/ pinjaman, dan biaya administrasi jasa pengiriman/transfer. Namun, tidak banyak nasabah yang mengetahui rincian biaya administrasi tersebut. Bank hanya menginformasikan total biaya administrasi yang harus ditanggung oleh nasabah tanpa menyebutkan rincian. Sehingga keterbukaan dalam menginformasikan rincian biaya administrasi tersebut sangat penting dalam rangka keterbukaan yang kaitannya dengan perasaan saling ridha, karena biaya administrasi tersebut dibebankan kepada nasabah. Selain daripada itu, Samino (2009) dalam penelitiannya menambahkan bahwa pengukuran biaya administrasi berupa prosentase tertentu yang dikalikan dengan plafon pembiayaan akan mengandung unsur waktu (time value of money). Kemudian pengakuan atas biaya administrasi pembiayaan yang dibebankan kepada nasabah di satu pihak, nampak jelas bahwa bank mengakui biaya administrasi tersebut sebagai pendapatan. Evaluasi yuridis-syar’i terhadap pengukuran biaya administrasi pembiayaan menyatakan bahwa terdapat indikasi riba nasi’ah dalam pembiayaan.11 Menanggapi isu penting mengenai penetapan biaya administrasi yang seringkali diasosiasikan sebagai “pintu belakang” riba, maka agar biaya administrasi ini tidak masuk dalam kategori “tambahan” yang tidak diperbolehkan, maka terdapat dua syarat utama yang harus dipenuhi, antara lain

a. Biaya administrasi ini harus didasarkan pada perhitungan riil biaya yang digunakan untuk melaksanakan sebuah transaksi atau akad. Misalnya; biaya materai, biaya pengurusan dokumen, biaya upah untuk survey, biaya komunikasi dan lain-lain, sehingga nominal yang keluar memang betul-betul mencerminkan nilai riil administrasi yang dilakukan. b. Prosentase biaya administrasi ini hendaknya tidak dihubungkan dengan besarnya nominal pembiayaan yang diberikan, kecuali memang besarnya prosentase tersebut mencerminkan nilai riil yang dikeluarkan untuk mengeksekusi pembiayaan tersebut.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image