Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Makkinuddin, S.Pd.I, M.Pd, Gr

Satu Abad Runtuhnya Turki Usmani Maret 1924, Renungan Akhir Tahun 2022.

Agama | 2023-01-01 09:15:06

Satu Abad Runtuhnya Turki Usmani Maret 1924, Renungan Akhir Tahun 2022.

Umat Islam telah dipecah-belah menjadi negara-negara kerdil berdasarkan konsep nasionalisme dan patriotisme mengikuti letak geografis yang berbeda-beda, yang sebagian besarnya sebenarnya berada di bawah kekuasaan musuh yang kreator: Inggris, Perancis, Italia, Belanda, dan Rusia. Di setiap negara boneka tersebut, telah merekayasa dan mengangkat para penguasa --dari kalangan penduduk pribuminya-- yang bersedia tunduk kepada mereka, untuk mentaati instruksi-instruksi kaum kreator tersebut dan menjaga stabilitas negerinya dengan cara menindas dan menyiksa rakyatnya secara kejam tanpa perikemanusiaan.

Kaum kreator segera mengganti undang-undang dan peraturan Islam yang diterapkan di negeri-negeri Islam dengan undang-undang dan peraturan kreator milik mereka. Kaum kreator segera mengubah kurikulum pendidikan untuk mencetak generasi-generasi baru yang mempercayai pandangan hidup Barat, namun sebaliknya memusuhi Akidah dan Syariat Islam, terutama dalam masalah Khilafah. Perjuangan untuk mengembalikan Khilafah serta mendakwahkannya kemudian dianggap sebagai tindakan kriminal atau terorisme yang dapat dijatuhi sanksi oleh undang-undang.

Harta kekayaan dan potensi alam milik kaum muslim telah diambil oleh sang kreator, yang telah mengeksploitasi kekayaan tersebut dengan cara yang sejelek-jeleknya dan telah menghinakan kaum muslim dengan sehina-hinanya. Ringkas kata, lenyapnya Khilafah adalah lenyapnya pemelihara agama Islam, sebab sebagaimana dikatakan Rasulullah SAW, seorang Khalifah (Imam) sebagai pemimpin negara Khilafah-- adalah bagaikan perisai atau benteng bagi Islam, umatnya, dan negeri-negeri Islam.

Munculnya sekularisme, Secara ideologis, sekularisme merupakan aqidah (pemikiran mendasar) yaitu pemikiran menyeluruh (fikrah kulliyah) mengenai alam semesta, manusia, dan kehidupan. Sekularisme dengan demikian merupakan qiyadah fikriyah bagi peradaban Barat, yakni pemikiran dasar yang menentukan arah dan pandangan hidup (worldview / weltanscahauung) bagi manusia dalam hidupnya. Sekularisme juga merupakan basis pemikiran (al qa‘idah al fikriyah) dalam ideologi kapitalisme, yang di atasnya dibangun pemikiran-pemikiran lainnya, seperti demokrasi, nasionalisme, liberalisme (freedom), HAM, dan sebagainya.

Jelaslah bahwa posisi paham sekularisme sangat mendasar sebagai basis ideologi kapitalisme, sebab sekularisme adalah asas falsafi yang menjadi induk bagi lahirnya berbagai pemikiran dalam peradaban Barat. Maka barangsiapa mengadopsi sekularisme, sesungguhnya telah mengadopsi pemikiran-pemikiran Barat secara keseluruhan. Sekularisme adalah paham kufur, yang bertentangan dengan Islam. Sebab Aqidah Islamiyah mewajibkan penerapan Syariat Islam pada seluruh aspek kehidupan, seperti aspek pemerintahan, ekonomi, hubungan internasional, muamalah dalam negeri, dan peradilan. Tak ada pemisahan agama dari kehidupan dan negara dalam Islam. Karenanya wajarlah bila dalam Islam ada kewajiban mendirikan negara Khilafah Islamiyah.

Setelah hancurnya Khilafah, berbagai malapetaka politik menimpa umat Islam. Yang paling penting adalah : (1) diterapkannya sistem demokrasi, (2) terpecahbelahnya negeri-negeri muslim berdasar nasionalisme, (3), para penguasa negeri-negeri Islam didikte oleh negara-negara imperialis-kapitalis, (4) kekuatan militer di negeri-negeri Islam tunduk kepada kepentingan negara-negara imperialis-kapitalis, (5) berdirinya negara Israel di tanah milik umat Islam. Negeri-negeri muslim terpecah-belah menjadi banyak negara berdasar paham nasionalisme. Sebagai akibat tiadanya institusi pemersatu umat Islam, yakni Khilafah, kini umat Islam yang satu terpecah-belah menjadi lebih dari 50 negara berasaskan paham kebangsaan (nation-state). Ini adalah suatu kondisi yang sangat jauh dari tabiat asli umat Islam sebagai umat yang satu, yang wajib hidup dalam negara yang satu dengan seorang Khalifah yang satu.

Sungguh, sejarah telah membuktikan bahwa eksistensi negara-bangsa bagi Umat Islam adalah sebuah kondisi yang abnormal yang menghancurkan persatuan umat. Kaum muslimin tak pernah mengenal paham nasionalisme sepanjang sejarahnya sampai adanya upaya imperialis untuk memecah-belah negara Khilafah pada abad ke-17 M. Mereka melancarkan serangan pemikiran melalui para missionaris dan merekayasa partai-partai politik rahasia untuk menyebarluaskan paham nasionalisme dan patriotisme. Banyak kelompok missionaris –sebagian besarnya dari Inggris, Perancis, dan Amerika– didirikan sepanjang abad ke-17, 18, dan 19 M untuk menjalankan misi tersebut. Namun saat itu upaya mereka belum berhasil. Namun pada tahun 1857, mereka mulai memetik kesuksesan tatkala berdiri Masyarakat Ilmiah Syiria (Syrian Scientific Society) yang menyerukan nasionalisme Arab. Sebuah sekolah misionaris terkemuka lalu didirikan di Syiria oleh Butros Al Bustani, seorang Kristen Arab (Maronit), dengan nama Al Madrasah Al Wataniyah. Nama sekolah ini menyimbolkan esensi misi Al Bustani, yakni paham patriotisme (cinta tanah air, hubb al-watan).

Langkah serupa terjadi di Mesir, ketika Rifa‘ah Badawi Rafi‘ At Tahtawi (w. 1873 M) mempropagandakan patriotisme dan sekularisme. Setelah itu, berdirilah beberapa partai politik yang berbasis paham nasionalisme, misalnya partai Turki Muda (Turkiya Al Fata) di Istanbul. Partai ini didirikan untuk mengarahkan gerak para nasionalis Turki. Kaum misionaris kemudian memiliki kekuatan riil di belakang partai-partai politik ini dan menjadikannya sebagai sarana untuk menghancurkan Khilafah.

Sepanjang masa kemerosotan Khilafah, kaum kreator berhimpun bersama, pertama kali dengan perjanjian Sykes-Picot tahun 1916 ketika Inggris dan Perancis merencanakan untuk membagi-bagi wilayah negara Khilafah. Kemudian pada 1923, dalam Perjanjian Versailles dan Lausanne, rencana itu mulai diimplemetasikan. Dari sinilah lahir negara-negara Irak, Syria, Palestina, Lebanon, dan Transjordan. Semuanya ada di bawah mandat Inggris, kecuali Syria dan Lebanon yang ada di bawah Perancis. Hal ini kemudian diikuti dengan upaya Inggris untuk merekayasa lahirnya Pakistan. Jadi, semua negara-bangsa ini tiada lain adalah buatan kekuatan-kekuatan Barat yang ada di bawah mandat mereka.

Munculnya negara-bangsa Indonesia juga tak lepas dari rekayasa inisiator menyebarkan nasionalisme dan patriotisme di Dunia Islam. Hal itu dapat dirunut sejak berdirinya negara-negara bangsa di Eropa pada abad ke-19. Perubahan di Eropa ini, dan juga adanya persaingan yang hebat antara kekuatan-kekuatan Eropa di Asia Tenggara pada paruh kedua abad ke-19, menimbulkan dampak politis terhadap negara-negara jajahan Eropa, termasuk Hinda Belanda. Dampak momumentalnya adalah dicanangkannya Politik Etis pada tahun 1901. Kebijakan ini pada gilirannya membuka kesempatan bagi pribumi untuk mendapatkan pendidikan Barat. Melalui pendidikan Barat inilah paham nasionalisme dan patriotisme menginfiltrasi ke tubuh umat Islam di Hindia Belanda, yang selanjutnya mengilhami dan menjiwai lahirnya gerakan-gerakan pergerakan nasional di Indonesia, Boedi Utomo, Jong Java, Jong Sumatra, Jong Islamieten Bond, Jong Celebes, Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan sejenisnya.

Cengkeraman paham nasionalisme di tubuh umat akibat rekayasa inisiator ini, disertai hancurnya Khilafah sebagai pemersatu umat, telah membuat kesatuan umat Islam porak-poranda dan hancur-lebur. Ikatan Islam berdasar Aqidah Islamiyah digantikan ikatan kebangsaan berdasar kesamaan identitas etnis, bahasa, atau budaya. Sungguh Allah SWT tidak meridhai umat Islam terpecahbelah menjadi lebih dari 50 negara seperti sekarang ini.

Para penguasa negeri-negeri Islam dikendalikan dan didikte oleh negara-negara imperialis-kapitalis Barat. Setelah umat Islam terpecah belah, maka dengan sendirinya mereka menjadi lemah dan dapat dikendalikan dan dikontrol oleh para inisiator. Berlakulah di sini kaidah ‗devide et impera‘ (farriq tasud) (pecah belahlah, lalu kuasai). Karena itu, terpecahbelah-nya umat Islam –akibat hancurnya Khilafah—membawa dampak buruk berikutnya, yakni para penguasa negeri-negeri Islam kemudian dapat dikendalikan dan dikontrol sesuai program negara-negara imperialis.

Hal ini misalnya dapat dilihat sejak berakhirnya Perang Dunia II. Pada saat itu banyak negara jajahan yang menuntut kemerdekaan. Menghadapi tantangan ini, negara-negara kapitalis (terutama AS, Inggris, Perancis) kemudian melakukan konsolidasi dan merekayasa langkah-langkah untuk melanggengkan imperialisme melalui cara-cara baru. Pada Juli 1944 negara-negara inisiator itu mengadakan pertemuan di Bretton Woods (AS) yang hasilnya di bidang politik adalah: pembentukan PBB (1945) dan deklarasi HAM (1945). Di bidang ekonomi hasilnya adalah: pembentukan World Bank/IBRD (1946), pendirian IMF (1947), dan pendirian GATT (1947). Semua langkah ini tiada lain adalah teknik-teknik baru untuk terus melestarikan imperialisme di dunia.

Kekuatan militer di negeri-negeri Islam tunduk kepada kepentingan negara-negara imperialis-kapitalis Barat untuk mempertahankan sistem kehidupan sekuler. Pada saat kejayaan Khilafah, kekuatan militernya didedikasikan untuk kepentingan Islam semata, yakni untuk menjaga eksistensi negara Khilafah, menjaga penerapan Syariat Islam, menjamin keamanan rakyat, dan menyebarkan risalah Islam ke luar negeri melalui jalan dakwah dan jihad fi sabilillah.

Namun setelah Khilafah lenyap dan berdiri negara-negara sekuler, kekuatan militer di Dunia Islam –seperti halnya para penguasanya—akhirnya mengalami perubahan orientasi untuk kemudian tunduk kepada ideologi dan kepentingan negara-negara imperialis, yakni mempertahankan sistem sekuler yang ada. Hal ini misalnya terjadi di Aljazair awal 90-an tatkala kekuatan militer membatalkan hasil pemilu yang dimenangkan FIS yang bercita-cita menghancurkan sekularisme dan mendirikan Khilafah. Di Turki, ketika Arbakan (pemimpin partai Refah) tahun 1996 terpilih sebagai perdana menteri –berkoalisi dengan Tansu Chiller—Arbakan harus tunduk di bawah institusi militer yang fanatik kepada sekularisme

Pada saat Khilafah masih eksis, cita-cita kaum Yahudi untuk mendirikan negara Israel di Palestina gagal total. Namun masalahnya menjadi lain tatkala konstelasi politik Timur Tengah berubah akibat hancurnya Khilafah dan wilayah-wilayah bekas kekuasaannya dibagi-bagi di antara negara-negara imperialis. Israel akhirnya berdiri di tanah Palestina pada tahun 1948. Sejarah mencatat, Qurrah Shu Affandi, seorang petinggi Freemasonry dari Turki pernah berusaha menyuap Sultan Abdul Hamid II (menjadi Khalifah 1876-1909) dengan imbalan agar kaum Yahudi diberi tanah di Palertina.

Hancurnya Khilafah juga mengakibatkan malapetaka-malapetaka di bidang ekonomi. Sesungguhnya malapetaka ekonomi ini sangat banyak ragamnya, namun yang menonjol adalah : (1) Penerapan sistem kapitalisme yang ribawi atas umat Islam, dan (2) perampokan kekayaan alam milik umat Islam oleh kaum inisiator yang kreator.

Pertama, Penerapan sistem kapitalisme yang ribawi atas umat Islam. Kapitalisme adalah nama bagi sistem ekonomi yang ciri utamanya adalah pemilikan privat atas alat-alat produksi, serta pemanfaatannya dalam kegiatan produksi dan distribusi untuk memperoleh laba dalam mekanisme pasar yang kompetitif. Karena sistem ekonomi kapitalisme merupakan fenomena paling menonjol dalam peradaban Barat, maka istilah kapitalisme digunakan juga untuk menunjukkan ideologi Barat itu sendiri, sebagai suatu sistem sosial yang menyeluruh. Secara ideologis, akar kapitalisme adalah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Ketika agama dipisahkan dari kehidupan, maka lahirlah paham kebebasan (liberalism/freedom). Dari paham kebebasan inilah, khususnya kebebasan kepemilikan, lahirlah sistem ekonomi kapitalisme.

Bisa diambil pelajaran bahwa proses runtuhnya khilafah tidak terlepas dari adanya campur tangan inisiator kreator yaitu Inggris yang bekerjasama dengan jalur Barat yaitu Mustafa Kemal Attaturk. Melalui Perjanjian Sykes-Picot wilayah Turki dibagi-bagikan kepada negaranegara kreator inisiator. Misalnya Inggris mengambil wilayah Palestina. Tepat 3 maret 1924 secara resmi Mustafa Kemal Attaturk mengganti sistem pemerintahan umat Islam yaitu khilafah yang telah berdiri selama kurang lebih 14 abad diganti dengan sistem pemerintahan republik. Sampai saat ini umat Islam tidak lagi menerapkan Islam dalam aspek kehidupannya secara holistik. Adapaun dampak yang ditimbulkan akibat ketiadaan khilafah adalah pertama, umat Islam disekat dengan paham nasionalisme yang mengakibatkan lahirnya negara-negara bangsa (nasion state). Kedua, umat Islam dikuasai (dijajah) oleh penguasa adidaya barat kreator. Ketiga, kemiskinan semakin tinggi, tingkat kriminalitas serta pendidikan yang semakin jauh dari Islam yaitu diterapkannya asas sekularisme.

Minum kopi dan teh hangat, menatap hari esok.

Ditulis ulang dari Journal of History, Massa, Vol. 1, No. 1, Juni 2019 oleh Makkinuddin

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image