Hujan di Hari Natal
Sastra | 2022-12-31 09:24:16Hujan masih mengguyur tatkala aku terbangun dari tidur. Hari ini, 25 Desember 2022, adalah hari Natal. Pikiranku melayang entah ke mana. Pagi di bulan Desember selalu begini. Hari-hari dihiasi suara hujan dan petir. Hampir tak ada suara aktivitas manusia. Mungkin ada, tapi tertutup oleh suara-suara tadi.
Hari Natal adalah hari spesial, sekali pun aku bukan seorang Nasrani. Ada damai dan teduh di hati. Ucapan “Selamat Natal” atau “Merry Christmas” menghiasi laman berbagai sosial media. Orang-orang mengekspresikan natal dengan wajah gembira bersama sanak-keluarga. Sungguh, Natal adalah hari yang membahagiakan.
Kadang aku bertanya, mengapa Natal tak boleh dirayakan semua orang? Juga Idul Fitri, Nyepi, Waisak, dan Imlek? Bukankah sah-sah saja merayakan kebahagiaan bersama orang-orang yang kita cintai, sekali pun berbeda keyakinan? Jika aku berkata demikian kakakku pati akan berkata “Jangan urusi agama orang lain, urus saja agamamu sendiri. Sudah baik kah agamamu?” Aku sebenarnya ingin menjawab ucapan itu dengan kalimat “Tuhan itu mahaadil, Kak. Jika merayakan kebahgiaan dengan orang lain menyebabkan aku masuk neraka, apakah itu adil?” Namun kalimat itu selalu tertahan di kerongkongan karena aku tak mau terlibat adu mulut dengan kakakku yang cerewet itu. Ingin rasanya aku melempari dia dengan buku-buku filsafat yang kupunya. Huh.
Pukul delapan pagi dan hujan belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Sering aku bertanya, mengapa harus ada hujan di bumi? Konon, hujan adalah fenomena alam yang hadir pertama, jauh sebelum letusan gunung, tsunami, longsor. Hujan adalah fenomena yang menyuburkan bumi. Berkat hujan tumbuhan tumbuh dan bunga bermekaran. Karena hujan makhluk hidup bisa bertahan. Disebabkan hujan pula tanah-tanah di bumi menjadi subur, sungai-sungai mengalir, dan hutan-hutan bermunculan.
Tapi aku tak menyukai hujan. Entah mengapa hujan sering membuatku gusar. Di era sekarang hujan menyebabkan macet, banjir, bahkan longsor. Dan yang lebih parah lagi hujan menyebabkan aku tak bisa beraktivitas dengan leluasa. Bisakah kau bayangkan betapa repotnya aku ketika harus berangkat ke sekolah dan harus memakai jas hujan? Ah, sungguh merepotkan! Bahkan untuk orang yang bermobil pun hujan tetap saja menggusarkan. Mobil menjadi kotor, terjebak macet, dan yang paling fatal adalah mesinnya mati mendadak.
Di kota-kota besar hujan mengakibatkan sesuatu yang lebih parah, yaitu banjir. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kota-kota besar di Indonesia sering dilanda bajir Ketika musim hujan. Banjir melumpuhkan aktivitas manusia, menyebabkan penyakit kulit dan sakit perut, juga merendam rumah ribuan orang beserta harta-bendanya. Tahun lalu, di kota tempat aku tinggal banjir menyebabkan seorang pengendara sepeda meninggal. Begini kronologinya. Suatu pagi ada seseorang yang pergi bersepeda. Ia melewati daerah yang sedang terendam bajir dan terkepung macet. Melihat situasi demikian ia pun berhenti di tepi jalan. Ia lalu bersender ke tiang agar kakinya tak turun meski sepeda dalam keadaan berhenti. Apes, tiang yang ia jadikan sandaran adalah tiang listrik bertegangan tinggi. Kau tahu kan, air adalah penghantar listrik yang baik. Maka terjadilah, orang tersebut meninggal tersebut listrik dan tewas seketika. Meninggal dalam situasi seperti itu adalah hal buruk. Semua terjadi karena hujan!
Kau yang pernah belajar tentang tata kota pasti akan menghakimiku dengan berkata “banjir itu terjadi bukan karena hujan, tapi karena tata Kelola kota yang buruk.” Ya, memang, pertanyaanku adalah adakah kota di Indonesia yang penataannya baik?
Hujan belum berhenti dan aku tiba-tiba lapar. Aku segera menuju dapur dan memasak mie instan goreng. Sambil menunggu mie masak aku membaca sebuah buku berjudul Surat Kopi karya Joko Pinurbo. Kubuka secara acak dan terbukalah halaman 134. Sebuah puisi berjudul HABIS HUJAN, begini bunyinya;
Malam sudah tertutup
Hujan selesai
Rindu sudah jadi
Ngeong kucing
di balik pintu
Haish, apa lagi ini?! Mengapa penyair selalu menulis puisi tentang hujan?! Apa tidak ada tema lain?
Mie instanku sudah matang dan aku segera menuju kamar untuk melahapnya. Dalam hitungan menit mie tersebut sudah berpindah ke dalam perutku.
Aku sudah kenyang dan lamunku kembali melayang. Oh ya, hujan. Mengapa Tuhan menciptakan hujan? Sering aku bertanya demikian. Bukan kah hujan yang menyebabkan Nuh terombang-ambing di tengah amukan badai? Kau pasti akan bilang “Yah, itu kan sudah menjadi takdirnya. Tuhan menciptakan hujan agar iman Nuh semakin kuat dan sebagai tanda kebesaran-Nya”. Ya, ya, aku tahu. Tapi mengapa Tuhan menciptakan hujan?
Jujur saja, suara gemericik hujan yang jatuh di atas genting mengganggu telingaku. Bagi sebagian orang itu adalah suara syahdu yang membawa pada suasana khidmat untuk melaksakan tidur. Suara hujan, kasur empuk, bantal, serta selimut adalah kombinasi sempurna menuju alam mimpi. Tapi bagiku itu adalah suara terburuk yang pernah kudengar. Katakanlah jika aku keliru.
Tiga jam kulalui dengan berdiam diri di kamar dan langit masih saja menjatuhkan hujan ke bumi. Sering aku berpikir apakah ada tempat di bumi ini yang tak ada hujan? Ingin sekali aku ke sana. Betapa nikmatnya hidup tanpa hujan. Aku bisa merayakan Natal bersama orang-orang yang kusayangi tanpa risau akan basah atau banjir. Aku juga bisa merayakan Idul Fitri, Nyepi, Waisak, dan Imlek tanpa terganggu oleh suara air yang menjatuhi atap. Jika ada tempat itu di bumi aku ingin mengunjunginya. Setidaknya sekali seumur hidup.
Pukul duabelas siang, tiba-tiba gawaiku bergetar. Sebuah pesan masuk melalui aplikasi whatsapp. “Le, alhamdulillah pohon-pohon di kebun bapak sudah berbuah. Ini sudah musim hujan, durian, rambutan, dan semua tanaman di kebun sudah berbuah. Padi di sawah juga tumbuh subur. Alhamdulillah musim hujan akhirnya datang, Le. Uang kuliahmu bisa segera terbayar.”
Semarang, 31 Desember 2022
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.