Selayaknya Kita Tidak Terlelap Tidur Malam Sebelum Mengevaluasi Tiga Hal Ini
Agama | 2022-12-29 17:25:57Sejatinya, tidur malam kita dijadikan sebagai gambaran akhir dari kehidupan. Ketika kita terlelap tidur, kita sudah tak ingat apa-apa lagi, yang ada hanyalah mimpi-mimpi yang kita alami. Sayangnya, sebelum tidur kita tak pernah membayangkan bagaimana jika kita tak bangun lagi alias meninggal dunia. Hal ini bukan sebagai khalayan, dalam kenyataannya banyak sekali orang yang meninggal ketika tidur.
Al Qur’an telah menjelaskan, Allah berkuasa mematikan hamba-Nya kapan saja sekehendak-Nya, baik ketika hamba-Nya terjaga maupun tidur. “Allah menggenggam nyawa (manusia) pada saat kematiannya dan yang belum mati ketika dia tidur. Dia menahan nyawa yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan nyawa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat bukti-bukti (kekuasaan) Allah bagi kaum yang berpikir (Q. S. Az-Zumar : 42).
Orang-orang bijak senantiasa menjadikan tidur sebagai istirahat, hanya saja sebelum terlelap tidur mereka selalu mengevaluasi diri terlebih dahulu atas segala aktivitas yang dilakukan pada siang hari. Hal ini mereka lakukan dengan dua tujuan, yakni jika ditakdirkan berumur panjang, pagi hari bisa bangun kembali, mereka akan memperbaiki kekurangan segala aktivitas yang dilakukan pada siang hari.
Kemudian, jika ditakdirkan mereka tidak bangun lagi alias meninggal dunia, mereka tak akan merugi sebab ia telah mengevaluasi diri dan berniat memperbaiki segala kekurangannya. Mereka pun telah memohon ampun atas dosa dan kesalahan yang dilakukan pada siang hari.
Pythagoras, seorang filosof Yunani, pernah berkata, “Janganlah Anda tertidur lelap sebelum Anda merenungkan setidaknya tiga aktivitas pada siang hari. Perbuatan apa yang dilakukan dengan tulus dan baik? Perbuatan apa yang dilakukan secara asal-asalan atau tidak baik? Dan Perbuatan baik apa yang tidak dilakukan?
Kata-kata bijak sang filosof tersebut layak kita terapkan dalam kehidupan. Sebelum tidur malam sebagai aktivitas penutup harian, selayaknya kita merenungkan atau mengevaluasi perbuatan yang kita lakukan pada siang hari. Jika kita melakukan suatu perbuatan, baik segi sosial maupun spiritual/ibadah, dan kita melakukannya dengan baik, tulus, dan sungguh-sungguh, kita harus berharap semoga Allah menerima segala perbuatan baik kita.
Sebaliknya jika kita melakukannya dengan asal-asalan dan tidak tulus, maka tidak ada jalan lain kita harus memohon ampun kepada-Nya. Tak cukup hanya memohon ampun, kita pun harus bertekad untuk memperbaikinya esok hari jika ditakdirkan masih berumur panjang.
Terlebih-lebih jika pada siang hari kita tidak melakukan kebaikan apapun, kita harus memohon kepada Allah agar ditakdirkan esok hari masih bisa bangun menyambut mentari pagi, seraya diiringi tekad untuk berbuat kebaikan. Tanamkan di hati tekad untuk memperbaiki diri, memperbaiki kualitas ibadah dan moral yang baik, seraya bertekad tidak akan menyia-nyiakan waktu dan usia yang telah Allah berikan.
Bukan Pythagoras saja yang selalu melakukan evaluasi diri, para sahabat Rasulullah saw pun sering melakukan evaluasi sebelum terlelap tidur. Salah satunya adalah Umar bin Khattab r.a.
Suatu saat, Umar bin Khattab r.a. menepuk-nepuk dadanya ketika malam tiba seraya berkata pada dirinya, “Apa yang telah kamu kerjakan pada hari ini?”
Demikian pula halnya Wahab bin Munabbih, seorang ulama salaf yang pernah membaca kitab Taurat memberikan nasihat kepada semua orang dalam tingkatan usia untuk selalu merenungkan keadaan dirinya. Ia berkata, “Sesungguhnya Allah memanggil setiap malam, wahai hamba-hamba-Ku yang berusia enam puluh tahun, kalian ibarat tanaman yang siap dipanen! Wahai hamba-hamba-Ku yang berusia lima puluh tahun, bersiap-siaplah untuk dihisab, apa yang telah kalian lakukan dan apa yang kalian tinggalkan?”
Kemudian Allah berfirman lagi, “Wahai hamba-hamba-Ku yang berusia tujuh puluh tahun, bandingkanlah dirimu dengan orang-orang yang telah wafat! Wahai hamba-hamba-Ku yang berusia dua puluh tahun, berapa banyak orang yang sebayamu meninggal, mengapa kalian tidak merenunginya?”
“Wahai hamba-hamba-Ku yang berusia tiga puluh tahun, kalian telah dewasa, mendekati usia perjanjian, maka apa yang telah kalian sesali? Wahai hamba-hamba-Ku yang berusia empat puluh tahun, usia mudamu telah berlalu akankah kalian terus berada dalam kelalaian? Wahai hamba-hamba-Ku yang berusia lima puluh tahun, kalian berada dalam usia yang harus beramal kepada Dzat yang telah memuliakanmu, akankah kalian terus bersenang-senang dan bermain?” (Syaikh Muhammad Abdul Athi Buhairi, Nidaatu al Rahman, li Ahli al Iman, hal. 851).
Seperti telah disebutkan pada awal tulisan, kematian itu ada dalam genggaman kekuasaan Allah. Tak ada seorang pun yang mengetahui, kapan, dimana, dan dalam kondisi dan situasi bagaimana ia akan meninggal. Hanya satu hal yang dapat kita lakukan, yakni mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian.
Salah satu persiapan diri menghadapi kematian adalah selalu mengevaluasi diri, memeriksa akvitas dan amal yang telah dilakukan, tingkat paling minimal mengevaluasi aktivitas harian yang telah dilakukan sebelum kita terlelap tidur pada malam hari. Rasulullah saw menggolongkan orang-orang yang senantiasa mengevaluasi diri dan mempersiapkan amal baik sebagai bekal menuju alam keabadian sebagai orang-orang yang cerdas.
“Orang yang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan diri, dan beramal untuk kehidupan setelah mati” (H. R. At-Tirmidzy).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.