Masih Rendah, Ketaatan terhadap Standar Bangunan Tahan Gempa
Teknologi | 2022-12-28 23:05:24Penerapan bangunan tahan gempa mesti terintegrasi dengan sistem mitigasi berdasar locus permukiman dan tata ruang. Sistem tersebut menjadi bagian terintegrasi dari proses perencanaan dan pengembangan kota, infrastruktur, fasilitas publik, sampai dengan evaluasi berkala dari berbagai kelaikan sarana dan prasarana yang menjadi bagian dari layanan keselamatan publik.
Pentingnya konektivitas yang mendukung jejaring sensor dan sistem informasi yang menjadi tulang punggung terbangunnya command center mitigasi berbasis informasi yang antara lain meliputi pemantauan sarana dan prasarana publik, potensi kebencanaan multi sumber, sistem prediksi dan peringatan dini, penilaian kelaikan infrastruktur, penilaian respon emergensi, pemantauan dinamika aktivitas kemasyarakatan pengguna fasilitas publik, evaluasi jalur evakuasi, panduan evakuasi, peringatan kebencanaan, hingga manajemen tanggap darurat bencana.
Banyaknya korban jiwa akibat gempa, seperti yang baru-baru ini terjadi di Cianjur disebabkan tertimpa reruntuhan bangunan. Bahkan di beberapa desa, seluruh permukiman penduduk dalam kondisi runtuh total rata dengan tanah.
Sebagai negara yang sering dilanda gempa perlu cara yang tepat untuk mereduksi risiko gempa, terutama untuk bangunan publik. Hingga kini ketaatan publik dan pemerintah untuk menerapkan standar ketahanan gempa masih rendah. Padahal sudah ada Standar Nasional Indonesia (SNI)-03-1726-2002 tentang standar bangunan tahan gempa yang telah diterbitkan dan telah direvisi menjadi SNI 1726-2012. Revisi diatas terjadi atas pertimbangan keberlanjutan dan meminimalkan kerusakan bangunan gedung akibat gempa bumi berdasar sejarah gempa masa lalu dan langkah-langkah mitigasi standar baru.
Pemerintah daerah masih lemah dalam penerapan kebijakan standar bangunan tahan gempa. Perubahan mendasar dalam standar baru bangunan tahan gempa pada prinsipnya ada di tingkat kinerja runtuhnya struktur. Kesiapan para praktisi dan pemerintah daerah untuk menghadapi perubahan itu, terutama pada implikasi anggaran pelaksanaan proyek, dan mekanisme pengadaan barang dan jasa belum mampu beradaptasi. Diperparah lagi dengan rendahnya kualitas pendidikan praktisi dan pejabat pemerintah lokal.
Akibatnya, pelaksanaan standar baru terasa lambat diterapkan dan bermasalah bagi keberlanjutan konstruksi gedung.Salah satu contoh, publik melihat bangunan publik seperti sekolah, rumah sakit dan pasar mengalami rusak berat akibat gempa. Idealnya, suatu struktur bangunan publik pasca gempa diharapkan mampu untuk tetap berdiri dan secara fungsional masih bisa digunakan.
Teknologi bangunan tahan gempa untuk bangunan publik yang terletak di zona sesar atau patahan lempeng bumi berkembang pesat pasca gempa Meksiko tahun 1985, terutama di negara maju seperti di Jepang dan Amerika Serikat. Namun, implementasi dan pemahaman konsep keberlanjutan dalam pembangunan di negara berkembang perkembangan kurang menggembirakan karena rendahnya kapasitas para pemangku kepentingan, tidak adanya konsep keberlanjutan dan masalah biaya.
Beberapa penelitian tentang kebijakan publik terkait penerapan standar bangunan tahan gempa, sebagian besar masih berfokus pada masalah teknis belaka. Sedikit yang melihat pada perspektif yang lebih luas seperti dampak sosial ekonomi dan tingkat pemahaman pelaku konstruksi. Pengalaman di kota California menunjukkan bahwa penerapan teknologi bangunan tahan gempa menghadapi permasalahan mendasar seperti kebijakan politik dan dampak ekonomi berkaitan dengan kemampuan masyarakat untuk mengadaptasinya, serta keterbatasan pemerintah lokal dalam mitigasi kebijakan yang akan diterapkan.
Perlu menyimak pengalaman negara Turki yang telah identifikasi beberapa penyebab keruntuhan gedung akibat gempa. Antara lain berkaitan dengan faktor-faktor seperti tidak adanya pembaruan peta risiko gempa, adanya modifikasi konstruksi selama periode penggunaan bangunan, permasalahan tidak akuratnya administrasi proyek dan desain sehingga sulit dilakukan mitigasi penyebab kerusakan struktur, kegagalan retrofit dari gempa sebelumnya, serta kurangnya perhatian pada masalah pemeliharaan gedung yang menyebabkan reduksi kapasitas atau kekuatan bahan.
Ketaatan bangunan publik terhadap standar ketahanan gempa dimasa mendatang merupakan keniscayaan. Apalagi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pernah membuat skenario dan simulasi jika terjadi gempa besar di Indonesia yang berpotensi menewaskan banyak orang.Skenario tersebut berupa dokumen rencana tanggap darurat. Menjelaskan kontingensi berdasarkan skenario terburuk atas terjadinya gempa besar.
Badan Pengurangan Risiko Bencana PBB menyatakan bahwa dengan skenario dan simulasi tersebut, diketahui bahwa bangsa Indonesia kini belum siap dengan risiko bencana. Oleh sebab itu diperlukan langkah-langkah untuk memperbaiki sistem mitigasi dan penegasan peraturan dan teknik pendirian bangunan. Karena dalam simulasi oleh PBB itu disebutkan bahwa keruntuhan bangunan banyak memakan korban jiwa.
Skenario dan simulasi gempa oleh PBB perlu ditindaklanjuti dengan sosialisasi standar dan penerapan bangunan yang akrab dengan gempa. Untuk mempercepat penanganan pasca bencana gempa bumi diperlukan sistem teknologi tepat guna yang bisa diterapkan secara cepat dan massal. Seperti pembuatan infrastruktur jalan, jembatan, bangunan air, kelistrikan dan perumahan korban bencana.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.