Mitigasi Lemah, UU Bangunan Gedung Diabaikan, Apa Jadinya ?
Info Terkini | 2023-02-08 08:44:48Bencana gempa bumi di Turki dengan magnitudo 7,8 pada hari Senin (6/3/2023) menyebabkan ribuan korban jiwa dan sebagian besar gedung dan bangunan publik mengalami keruntuhan total. Pusat gempa berada sekitar 26 km sebelah timur kota Nurdagi di Turki pada kedalaman sekitar 18 km di Patahan Anatolia Timur.
Gempa Turki mestinya menjadi peringatan penting kepada bangsa Indonesia agar segera menyempurnakan sistem mitigasi terutama terkait dengan upaya mencegah petaka bangunan runtuh total atau collapse akibat gempa. Apalagi selama ini di Indonesia banyak pihak yang sering mengabaikan Undang-Undang tentang Bangunan Gedung. Kondisinya diperparah oleh terjadinya gegar mitigasi gempa di tingkat pemerintah daerah. Apa jadinya jika gempa serupa di Turki menimpa kota besar di Tanah Air ?
Hingga kini masih rendah ketaatan publik dan pemerintah daerah terhadap penerapan standar bangunan tahan gempa. Bencana gempa mesti membuka mata kita bahwa saat ini sebagian besar daerah mengalami gegar mitigasi bencana. Seperti halnya gegar otak, gegar mitigasi adalah kondisi tidak adanya sistem mitigasi yang memadai. Mestinya pemerintah daerah, terutama yang daerahnya secara geografis terletak di atas sesar atau patahan.
Gempa tektonik dangkal sudah pasti menyebabkan keruntuhan massal rumah penduduk dan bangunan publik. Yang perlu dipikirkan adalah keruntuhan itu jangan sampai total karena menyebabkan lebih banyak korban jiwa.
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah membuat skenario dan simulasi jika terjadi gempa besar di wilayah Indonesia. Kondisi itu diprediksi akan langsung menewaskan sangat banyak orang jika mitigasi terhadap gedung-gedung dan bangunan publik diabaikan.
Badan Pengurangan Risiko Bencana PBB memperingatkan bahwa kondisi infrastruktur dan bangunan publik tidak siap dan amat riskan menghadapi bencana gempa.
Penerapan bangunan tahan gempa mesti terintegrasi dengan sistem mitigasi berdasar locus permukiman dan tata ruang. Sistem tersebut menjadi bagian terintegrasi dari proses perencanaan dan pengembangan kota, infrastruktur, fasilitas publik, sampai dengan evaluasi berkala dari berbagai kelaikan sarana dan prasarana yang menjadi bagian dari layanan keselamatan publik.
Pentingnya konektivitas yang mendukung jejaring sensor dan sistem informasi yang menjadi tulang punggung terbangunnya command center mitigasi berbasis informasi yang antara lain meliputi pemantauan sarana dan prasarana publik, potensi kebencanaan multi sumber, sistem prediksi dan peringatan dini, penilaian kelaikan infrastruktur, penilaian respon emergensi, pemantauan dinamika aktivitas kemasyarakatan pengguna fasilitas publik, evaluasi jalur evakuasi, panduan evakuasi, peringatan kebencanaan, hingga manajemen tanggap darurat bencana.
Sebagai negara yang sering dilanda gempa perlu cara yang tepat untuk mereduksi risiko gempa, terutama untuk bangunan publik. Hingga kini ketaatan publik dan pemerintah untuk menerapkan standar ketahanan gempa masih rendah. Padahal sudah ada Standar Nasional Indonesia (SNI)-03-1726-2002 tentang standar bangunan tahan gempa yang telah diterbitkan dan telah direvisi menjadi SNI 1726-2012. Revisi diatas terjadi atas pertimbangan keberlanjutan dan meminimalkan kerusakan bangunan gedung akibat gempa bumi berdasar sejarah gempa masa lalu dan langkah-langkah mitigasi standar baru.
Pemerintah daerah masih lemah dalam penerapan kebijakan standar bangunan tahan gempa. Perubahan mendasar dalam standar baru bangunan tahan gempa pada prinsipnya ada di tingkat kinerja runtuhnya struktur. Kesiapan para praktisi dan pemerintah daerah untuk menghadapi perubahan itu, terutama pada implikasi anggaran pelaksanaan proyek, dan mekanisme pengadaan barang dan jasa belum mampu beradaptasi. Diperparah lagi dengan rendahnya kualitas pendidikan praktisi dan pejabat pemerintah daerah.
Akibatnya, pelaksanaan standar baru terasa lambat diterapkan dan bermasalah bagi keberlanjutan konstruksi gedung.Salah satu contoh, publik melihat bangunan publik seperti sekolah, rumah sakit dan pasar mengalami rusak berat akibat gempa. Idealnya, suatu struktur bangunan publik pasca gempa diharapkan mampu untuk tetap berdiri dan secara fungsional masih bisa digunakan.
Teknologi bangunan tahan gempa untuk bangunan publik yang terletak di zona sesar atau patahan lempeng bumi berkembang pesat pasca gempa Meksiko tahun 1985, terutama di negara maju seperti di Jepang dan Amerika Serikat. Namun, implementasi dan pemahaman konsep keberlanjutan dalam pembangunan di negara berkembang perkembangan kurang menggembirakan karena rendahnya kapasitas para pemangku kepentingan, tidak adanya konsep keberlanjutan dan masalah biaya.
Dibutuhkan manajemen risiko bencana yang dilengkapi peta tematik kebencanaan sebagai informasi kebencanaan spasial. Perlu diperhatikan esensi UU No 24 Tahun 2017 tentang usaha mengurangi risiko bencana dan meningkatkan ketangguhan pemerintah daerah dan masyarakat dalam menghadapi bencana. Butuh inovasi serta sinkronisasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang telah menyusun rencana strategis dengan sasaran menurunnya indeks risiko bencana secara signifikan.
Target penurunan indeks risiko bencana sangat dipengaruhi oleh komponen penyusunnya yaitu komponen bahaya, kerentanan dan kapasitas. Dari ketiga komponen penyusun indeks risiko, komponen bahaya merupakan komponen yang sangat kecil kemungkinan untuk diturunkan, maka indeks risiko bencana dapat diturunkan dengan cara peningkatan kapasitas atau komponen kapasitas. Peningkatan kapasitas dapat dilakukan pada setiap tataran pemerintahan dan masyarakat.
Salah satu langkah untuk mereduksi risiko gempa bumi adalah terkait dengan bangunan yang akrab gempa. Gempa yang terjadi berulang kali mestinya menyadarkan perlunya penerapan struktur bangunan yang akrab dengan gempa karena mampu mereduksi efeknya. Fakta telah menyebutkan bahwa sebagian besar korban gempa akibat tertimpa material bangunan.
Dengan fakta tersebut mau tidak mau kita harus memikirkan solusi teknik bangunan serta mengevalusi dan memasyarakatkan aspek struktur bangunan di daerah rawan gempa. Selain itu dibutuhkan teknologi tepat guna yang murah dengan bahan baku lokal yang melimpah guna meminimalkan dampak gempa. Dalam konteks tersebut sebenarnya aplikasi teknologi sudah menyajikan bermacam pilihan. Sayangnya, banyak pihak kurang merespon hal tersebut. Perkembangan teknik sipil khususnya konstruksi bangunan tahan gempa pada dekade terakhir ini mengalami analisa yang lebih rinci. Yaitu adanya perubahan paradigma dari menilai kekuatan dan daktilitas menjadi kinerja.
Para ahli struktur menyadari bahwa keamanan dan keselamatan bangunan tidak hanya bergantung pada tingkat kekuatan tetapi juga pada tingkat deformasi dan energi terukur pada kinerja struktur. Kinerja struktur yang yang diukur pada deformasi struktur dengan beban kuat sudah mulai diperhitungkan pada awal perencanaan sebagai kriteria yang dikenal sebagai desain berdasarkan kinerja.
Pemerintah pusat dan daerah sebaiknya segera melakukan penguatan manajemen kontrol bagi infrastruktur kota, baik yang kecil maupun besar. Langkah diatas bisa berhasil jika ada konsistensi dan sikap tanpa pandang bulu menghadapi pengelola gedung. Apalagi pada saat ini pranata infrastruktur perkotaan sedang sakit yang disertai rendahnya budaya keselamatan lingkungan fisik. Kondisinya diperparah lagi dengan lemahnya implementasi Undang-undang tentang Bangunan Gedung.
Berbagai temuan menyatakan bahwa banyak bangunan gedung di kota-kota besar negeri ini tidak sesuai dengan UU Bangunan Gedung. Namun, kondisi tersebut tidak bisa ditegakkan karena ketidak konsistenan aparat pengawasan bangunan gedung. Selain itu, Undang-undang itu juga terkendala oleh Perda dimasing-masing daerah. Idealnya eksistensi UU Bangunan Gedung akan menjadi alat ukur bagi bangunan dengan karakteristik dan kondisi di masing-masing daerah. (*)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.