Yang Menangis yang Mengisi Hati
Sastra | 2022-12-28 13:53:47Dialah perempuan yang menggenggam bara api. Akulah lelaki yang sedari kecil menemani keriuhan hidupnya dalam suka maupun duka akibat sayatan api ibu tirinya. Dan aku senang bila dia bertengger lama-lama di rumahku dan bercerita banyak hal tentang pengalamannya yang buruk; yang bikin hatinya pecah dan, akulah dan ibu, yang akan menyusun kepingan-kepingan pecahan hati gadis yang hancur itu.
“Sana kau pergi! Nggak usah kembali ke rumah ini!” katanya, dia meniru bentakan ibu tirinya pada kami, siang itu. “Suruh nyuci baju aja pakek alasan lupa segala!”
Hampir tiap hari dia bawa pengalaman pahitnya dan dia merasa tempat terbaik bercerita riuh hidupnya adalah keluarga kami—tak ada orang lain sekali pun ayah kandungannya sendiri yang tak lagi percaya padanya. “Kalau aku mengadu ” katanya, “Ayah malah membela nenek lampir itu daripada anak kandungnya ini,” sambil menabuh dadanya keras-keras.
Suaranya yang meledak-ledak membuat aku gemetar! Aku dan ibu tak tega melihat bekas pukulan ibu tirinya hingga ungu legam di sebelah kanan wajahnya. Hujan air mata itu seharusnya tak boleh tumpah pada perempuan yang usianya belum genap matang ini, pikirku. Belum pernah separah ini aku melihat dia menangis keras-keras depan aku dan ibu. Biasanya dia hanya bercerita tentang kegalakan ibu tirinya dan bagaimana dia diperlakukan secara tak wajar.
“Gara-gara sepele aja dibesar-besarin, hanya karena aku lupa nyuci bajunya,” katanya, “nyuci baju kan bisa sendiri.” seraya menata rambutnya yang agak awut-awutan itu dan mengusap air matanya yang tumpah.
“Aku kasih air hangat ya, pipi kanannya itu,” pintaku.
Luapan emosi itu mulai hangat. Aku hanya bisa mendengarkan ceritanya dengan khidmat dan tak berani memberi wejangan nasehat. Dan lebih baik aku mengajak dia mengisi perut. “Udah, ya,” ujarku, setelah aku obati luka legamnya. “Ohya kebetulan ibu lagi masak enak, Din. Kamu pasti laper, kan?” ajakku, setelah tiga puluh menit lebih bercerita. Aku tahu dia belum makan dan tampak sekali dari wajahnya yang agak layu.
“Kenapa nggak ngaja’ mulai tadi?” katanya, sambil tertawa lepas sekaligus menangis, menepuk bahu pundak kananku keras-keras.
Perangainya yang lucu itu bikin aku tertawa lepas dibuatnya, selalu. Dialah gadis paling kuat yang pernah aku kenal. Dari Dinda aku belajar tentang menjadi ayah yang baik bagi dirinya; menjadi teman paling setia dalam riuh hidupnya; serta memberi ketenangan dan kebahagaian yang seharusnya dia dapatkan dari ayah kandunganya. Sejak siang itu aku menaruh perhatian lebih kepadanya, dengan segenap janjiku pada ibu, yang menyarankan aku untuk menjaganya, selalu.
***
Cerita tentang Yang Menangis, Yang Mengisi Hati ialah hari-hari penuh lika-liku kenangan kehidupan sepasang bocah. Kami tiap pagi berangkat sekolah dan akulah sopir dia. Adalah aku tak begitu heran dengan perilakunya agak menjengkelkan karena malas naik sepeda sendiri sebab hutang PR sekolah tetaplah hutang harus dibayar tuntas dengan aku jadi sopirnya, katanya.
Kawan-kawan kami mafhum kalau dia anak cerdik nan cerdas!
Siapa bisa mengalahkan dia berhitang secepat kilat, coba? Tak satu pun murid se Sultan Agung bahkan se Kota Jember dapat mengalahkannya dalam berhitung! Siapa suaranya paling merdu di kelas musik yang tiap bulan ada praktik bernyanyi? Yeah siapa lagi kalau bukan dia. Lelaki mana tiada kesemsem padanya—sudah cerdik, cerdas punya suara merdu dan menawan jelita pula. Suaranya mirip Agnez Mo! Amboy
Siapa heran kalau dia punya suara emas dan perawakan indah? Almarhumah ibunya dulu punya suara merdu, begitu dia bercerita padaku, pula wajahnya mirip dengannya. Aku menduka bahwa suara bagus, kata ibu guru les musik kami, kemungkinan keturunan ibu yang dulu melahirkannya.
Tapi apakah benar pernyataan ibu guru Muslimah itu bisa dipercaya secara buta?
“Tidak harus kita percaya!” katanya, sewaktu kami keluar dari studio musik sore itu. “Semua anak suaranya bisa kok diperhalus,” dia menghilang sepuluh menit, entah hendak kemana.
Azriel, Ayunda, Arista, dan Dimas serta aku, yang satu klub group musik, penasaran bukan main, gimana cara dia bernyanyi dan memperhalus suaranya yang merdu? Sedangkan suara kami ini meski sudah bahkan puluhan kali mengikuti les paduan suara tetap saja boleh dikatakan hancur.
“Jawabannya adalah ini!” katanya, menyodorkan segelas minuman air berwarna agak gelap. Jengkel betul kami dibuatnya.
Siapa coba yang tak jengkel kalau kami disuruh minun air debu bekas kertas yang sudah dibakar dengan puluhan nama-nama musisi terkenal itu? Jika suara kita mau merdu, maka mau tak mau, kita harus mencicipi air keberkahan ini, katanya.
“Dasar kau Din! Kejutan kurang ajar!” senang betul dia hingga muntah-muntah melihat kami kenak prank.
Tapi kenangan konyol Dinda semasa SMP yang menjengkelkan itu sulit untuk aku lupakan! Sebab itulah aku kepikiran tentangnya, selalu.
Diam-diam, sebentar lagi, aku akan meninggalkan dia ke pesantren setelah lulus SMP nanti; tanpa sepengetahuannya—yang asramanya satu yayasan dengan sekolah tempat kami belajar—agar dia tak menangis. Ya agar air mata itu tak tumpah kembali.
***
Genap sembilan tahun lebih aku dan dia bersahabat—semenjak pertama kali pindah dan bertempat tinggal dekat sebelah sekolah SD; yang jaraknya agak jauh—dan kini kami sudah menginjak kelas 3 SMA yang sama. Dia dan ayahnya warga pendatang dari kampung lain—yang ketika itu usia Dinda masih duduk di bangku 2 SD—dan ikut tinggal bersama ibu tirinya yang terkenal galak.
Keluarga kamilah yang menampung keresahan Dinda kalau dia bertengkar dengan ibu tirinya. Dan akulah yang sering menghibur dia kalau merasa sumpek dengan hidupnya, kalau merasa simpul yang ada dalam pikirannya yang tak bisa diuraikannya sendiri, dan dia tak bisa memikirkan bagaimana cara mengobati luka yang tak berdarah itu.
Tiada indikasi bahwa dia menaruh perasaan lebih kepadaku dan begitu pun sebaliknya, aku. Namun seiring bergulirnya waktu, aku merasa ada sesuatu yang sukar diceritakan—tentang perasaan ini. Apakah itu yang disebut jamak orang yang namanya cinta? (he’em)
Aku minta pada ibu sering-seringlah ajak Dinda ke pesantren dan sesekali dia ikut bersama kami sekeluarga—bapak, adik kandungku, sepupuku yang kecil-kecil,—dan aku senang bila kedatangan dia menabur cerita masa kanak-kanak: ketika kami memancing ikan di sungai atau main layang-layang di halaman rumah—yang anten TV orang rusak karenaya—atau pengalaman nakal yang diharamkan agama nyuri rambutan milik orang kaya yang tak gemar bersedekah! Atau mengadu jangkrit!
“Itu ulah idemu yang konyol, Din.”
Kami tertawa lepas
“Ya suruh siapa pelit,” katanya, alisnya mengkerut. “Mintak nggak dibolehin sama orangnya. Ya udah sikat habis!”
“Udah, ya ...” ibu bangun, setelah dua jam lebih bercengkrama. “Ibu pulang dulu, ya,” katanya, mohom pamit. “Jangan lupa besok sekolah, Nak.”
“Pulang dulu, yeah ” disusul yang lain serta Dinda sambil melambaikan tangan sambil cengengesan.
Malam itu menyisakan kehangatan. Selalu aku ingin Dinda ikut serta menjenguk aku ke pesantren. Semenjak malam itu aku banyak mengingat tentangnya; tentangnya ketika kami makan berdua satu piring; tentangnya ketika dia bercerita bagaimana dulu Ibu tirinya memperlakukan dia sampai sehari tak makan; tentangnya sewaktu kali pertama ditinggal ibu kandungnya sampai dia ingin kuburan ibunya digali kembali; tentangnya aku main gitar dan dia menyanyi. Oih mengapa aku bernostalgia menatap bintang-bintang di atas genteng asrama ini? Gerangan apa ini, Kisanak?
***
Segeralah aku pulih dari tidur panjangku setelah liburan sekolah. Dan biasanya ibu menitipkan sesuatu pada Dinda. Entah sekadar titipan sarung atau baju atau makanan atau kebutuhan pribadi seorang santri.
“Kamu agak gantengan sekarang,” katanya, pagi pertama masuk sekolah itu; sewaktu Dinda mengantarkan titipan ibu untuk keperluanku.
“Apa?” seketika aku tuli.
“Wajah kamu agak bersih sekarang.”
“Agak bersih apa agak gantengan?”
“Kamu nyebelin!”
“Udah!” jawabnya ketus, “cepat mandi sana. Jangan lupa bawa buku matematika!” seraya membalikan badan cepat-cepat, meninggalkan senyum dari jarak jauh.
Pagi itulah tatapan mata kami tidak biasa terjadi. Entah aku gagal membaca pikirannya. Dan selipan buku catatan hariannya—yang sengaja atau tidak—membuat aku bertanya-tanya apa ini, coba? Kok sepertinya spesial
***
Sepulang sekolah itu aku dan Dinda menyempatkan diri berdua mengobral hal-hal seperti biasanya dan orang-orang tak mungkin mengira kami punya hubungan aneh-aneh sebab kami dikenal bersaudara, tak lebih!
“Rul,” panggilnya, pelan. “Aku mau curhat ”
“Yeah kayak orang baru kenal aja.”
Di jalanan pohon yang rindang itu menuju kantin.
“Tapi makan dulu, ya. Ngobrol di kantin aja.”
Perawakan dia tak biasa hari ini dan sepertinya dia sedang menyimpan sesuatu; entah masalah atau entah apa.
“Ohya buku catatanku tadi pagi apa udah kamu baca?” ia bertanya mendada.
“Belum,” jawabku, santai. “Memang isinya apa?”
Dia tak menjelaskan apa isi catatan hariannya; mungkin karena di kantin ramai anak-anak osis yang sedang nangkring perihal entah apa. Suara itu pelan dan mata yang jelantik itu seperti ada genangan air meluap. “Lulus SMA nanti,” suaranya lirih, ”aku mau pindah rumah dan sepertinya jauh.”
“Tapi ” sejenak dia memikirkan sesuatu dalam-dalam dan sulit bagiku untuk menebus ke dalam pikirannya. “Aku tak bisa jujur dengan perasaanku pada seseorang yang selama ini telah memberi banyak waktu lebih dan dia mungkin dia tak merasakan atau mungkin merasakan tetapi karena sekat yang tak mungkin dia terobos.”
Aku gagal memahami maksud kata-katanya, pada bagian ini, yang hampir tiga puluh menit lebih aku membersamainya dan mendengarkan curhatannya tentang hiruk pikuk keluarganya; tentangnya perihal perjodohan yang mengagetkan; tentangnya hal-hal yang berkecamuk perihal sesuatu yang tak masuk akal dia luapkan. Aku bungkam, seketika.
“Ya udah lah,” katanya memutus topik pembicaraan. “Nanti kamu tahu sendiri setelah baca catatan harian itu.”
Lalu, bersegeralah kami pulang dan lidahku beku mengantarkan dia masuk ke angkotan umum. Matanya yang berkaca-kaca sulit aku tafsirkan sore itu. Aku mafhum, Dinda adalah anak multi tafsir. Dan, ketika kami sampai diambang pintu, terakhir kami bersama sore itu, di angkotan umum, kata-kata Dinda sukar aku tafsirkan:
“Rul, kamu harus janji tidak akan menembus dinding persahabatan kita, hanya karena satu hal yang aku tulis di buku diary itu. Sampai berjumpa kembali diwaktu yang lebih bermakna tentang persahabatan kita.”
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.