Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Adhyatnika Geusan Ulun

Sabar Terhadap Maksiat, Puncak Sabar Tertinggi

Agama | Friday, 23 Dec 2022, 10:12 WIB
Penulis. (Foto Istimewa)

Oleh: Adhyatnika Geusan Ulun

Pastinya kita selalu berhadapan dengan berbagai permasalahan. Sejumlah sikap tentu akan diambil, salah satunya adalah dengan sabar. Suatu sikap bijak bagi seseorang yang memiliki tingkat keimanan tinggi.

Seperti diketahui, sabar, seperti halnya syukur, merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari pribadi seorang mukmin. Keduanya saling menguatkan dan menampilkan kemuliaan iman atas takdir Allah Swt.

Namun, terkadang kita menyaksikan bahwa sabar selalu bersentuhan dengan limitasi sikap. Sabar ada batasnya, begitulah yang sering kita dengar. Bahkan, sikap yang muncul adalah saling balas kezaliman. Padahal, Baginda Rasul saw menegaskan, laa dharara wa laa dhiraara-Tidak boleh ada kezaliman, dan tidak pula membalasnya dengan kezaliman.

Kemudian, bagaimana sikap kita menghadapi jika ada orang yang menggiring ke kondisi yang membuat hilang kesabaran? Sementara, dalam hadits di atas kita dilarang untuk saling membalas kezaliman?

Sesungguhnya, kesabaran yang diajarkan Islam tidaklah mengenal limitasi. Segala permasalahan yang dihadapi manusia adalah anugerah Tuhan untuk menguji sejauhmana tingkat keimanannya. Hal tersebut ditegaskan Allah Swt dalam Al-Quran surah Al Ankabut ayat 2: Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan (padahal) mereka tidak diuji?

Kembali kepada bahasan sabar. Terdapat tiga tingkatan sabar menurut Syekh Ibnu Abid Dunya (208-281 H) dalam karyanya as-Shabru wa Tsawâb ‘alaihi. Pertama, sabar atas musibah. Kedua, sabar dalam menjalani ketaatan. Ketiga, sabar dari laku kemaksiatan yang merupakan tingkatan tertinggi.

Menarik saat memahami bahwa menahan diri dari maksiat sebagai puncak tertinggi tingkat kesabaran. Sebenarnya, bukan masalah tingkatannya, namun menahan diri dari kemaksiatan merupakan sikap yang membutuhkan perjuangan berat bagi siapapun orang beriman.

Dengan potensi kesempurnaan akal pikiran yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia, maka perjuangan menahan diri dari perbuatan maksiat merupakan hal yang terberat. Berjuang melawan nafsu duniawi, seperti harta, tahta, pangkat, jabatan, dan kedudukan, termasuk nafsu syhawat, memerlukan kesabaran tingkat tinggi.

Begitulah yang diajarkan sejarah bagaimana para nabi berhasil menahan diri dari kepungan nafsu duniawi. Sehingga, orang-orang mulia tersebut menjadi pribadi yang dicintai Allah Swt. Hal ini hendaknya menjadi 'ibrah' bagi kita untuk menjadi pribadi ahli sabar.

Sabar dari laku kemasiatan berada pada tingkatan tertinggi juga dikarenakan seorang mukmin telah berhasil mengenyampingkan nikmatnya perhiasan dunia. Berbeda dengan sikap menaati perintah Allah Swt dalam sabar menerima perintah-Nya, termasuk sabar dalam menghadapi musibah yang 'cukup' menerima ketentuan dan ketetapan Tuhan.

Ketika sabar menaati perintah Allah Swt yang merupakan bagian dari kewajiban orang beriman untuk selalu tunduk atas perintah-Nya, diperlukan kesiapan ilmu dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, maka sabar dalam menghadapi maksiat, bukan hanya ilmu saja, namun memerlukan kesiapan mental spiritual yang tinggi.

Ketika Allah Swt memberikan kesempatan untuk menggenggam dunia, maka sabar dalam menghadapi maksiat membutuhkan benteng vertikal yang kuat dalam menhadapinya. Hal tersebut tentu tidak mudah untuk menhidari jika tidak kuat ilmu dan keimanan kepada Allah Swt.

Begitupun dengan sabar menghadapi musibah yang memerlukan kesiapan untuk rida atas keputusan Allah Swt, maka sabar menahan diri dari laku maksiat, bukan hanya siap menerima keputusan Allah Swt, namun juga membutuhkan kesiapan untuk berada di posisi terendah di hadapan manusia.

Akhirnya, bukan sekedar tingkatan sabar yang harus kita sikapi, namun lebih kepada mampu menjadi sabar sebagai solusi kehidupan kita. Seperti yang disabdakan Baginda Rasul dalam haditsnya yang diriwayatkan Imam Ali ra: Sabar ada tiga tingkatan; sabar atas musibah, sabar dalam menjalani ketaatan, dan sabar dari laku kemaksiatan. Siapa saja yang sabar menghadapi musibah, sampai ia mampu merestorasinya sebaik mungkin, Allah akan mengangkat 300 derajatnya. Di mana, satu dengan lainnya berjarak sejauh antara langit dan bumi. Dan, yang bersabar dalam menjalani ketaatan, Allah mengangkat 600 derajatnya. Di mana, satu dengan lainnya berjarak sejauh antara lapisan-lapisan bumi dan batas (ketinggian) ‘arsy. Sedangkan, bagi yang bersabar dari laku kemaksiatan, Allah mengangkat 900 derajatnya. Di mana, satu dengan lainnya berjarak sekitar dua kali lipat antara lapisan-lapisan bumi dan batas (ketinggian) ‘arsy”. (Kitab As-Shabru wa Tsawaab ‘alaihi (hal. 30) karya Syekh Ibnu Abid Dunya).

Semoga kita selalu mampu menjadikan sabar sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ketaatan kepada Allah Swt. Wallahu'alam. ***

Dari berbagai sumber.

Profil Penulis

Adhyatnika Geusan Ulun, lahir 6 Agustus 1971 di Bandung. Tinggal di Kota Cimahi. Guru Bahasa Inggris di SMPN 1 Cipongkor Bandung Barat (1999-2022). Kepala SMPN Satap Cililin sejak 2022. Guru Penggerak angkatan 4 BBGP Kemendikbudristek tahun 2022. Pengurus MGMP Bahasa Inggris Kab. Bandung Barat. Alumnus West Java Teacher Program di Adelaide South Australia, 2013. Alumnus MQ ‘Nyantren di Madinah dan Makkah’ 2016, Pengasuh Majelis Taklim dan Dakwah Qolbun Salim Cimahi, Penulis buku anak, remaja dan dakwah. Editor NEWSROOM, tim peliput berita Dinas Pendidikan Bandung Barat. Jurnalis GUNEMAN Majalah Pendidikan Prov. Jawa Barat. Pengisi acara KULTUM Studio East Radio 88.1 FM Bandung. Redaktur Buletin Dakwah Qolbun Salim Cimahi. Kontributor berbagai Media Masa Dakwah. Sering menjadi juri di even-even keagamaan. [email protected]., Ig.@adhyatnika geusan ulun.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image