K.H Muhammad Wardan Diponingrat: Sosok dibalik Hisab Hakiki Wujudul Hilal
Agama | 2022-12-21 12:56:07Biografi K.H Muhammad Wardan Diponingrat
K.H Muhammad Wardan Diponingrat dilahirkan pada 19 Mei 1911 M bertepatan dengan 20 Jumadil Awal 1329 H di Kauman, Yogyakarta, dan meninggal dunia pada tanggal 3 Februari 1991 M bertepatan dengan 19 Rajab 1441 H. Ayah Muhammad Wardan adalah Kyai Muhammad Sangidu yang memiliki gelar Kanjeng Penghulu Kyai Muhammad Kamaludiningrat. Gelar tersebut diberikan kepada Kyai Muhammad Sangidu karena perannya sebagai penghulu keraton Yogyakarta mulai dari 1913 M sampai 1940 M.
Jejak Pendidikan Wardan dimulai dari Sekolah Keputraan, yaitu sebuah sekolah khusus yang diperuntukkan kepada anggota keluarga keraton dan Standard Schoel Moehammadijah di Suronatan. Setelah lulus sekolah dasar pada tahun 1924 M, Wardan melanjutkan mengenyam Pendidikan di Madrasah Muallimin selama enam tahun dan lulus pada 1930 M. setelah itu, Wardan memiliki keinginan untuk melanjutkan belajar di tanah Arab, namun karena kendala biaya naiatnya tidak bisa direalisasikan. Akhirnya Wardan memutuskan untuk nyantri di Pondok Jamsaren Solo sekaligus kursus Bahasa Belanda di Nederland Verbound dan les privat Bahasa Inggris.
Wardan merupakan keluarga abdi dalem keraton Yogyakarta. Semasa kecil Wardan bergaul di lingkungan keraton. Ketika dewasa aktifitas di keraton masih dijalani, apalagi Wardan membantu ayahnya yang seorang penghulu dari tahun 1936-1940. Pada 28 Januari 1956, Wardan diangkat mmenjadi penghulu keraton Yogyakarta. Ia menjadi kepercayaan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam urusan keagamaan. Ada banyak tugas yang harus dilakukan sebagai penghulu keraton, diantaranya: Membaiat Sultan, mendoakan keselamatan sultan, melaksanakan, hajatan, menerima zakat dan qurban sultan, menshalatkan jenazah, dan tugas keagamaan lainnya.
Sebagai alumnni sekolah Muhammadiyah sekaligus aktif di muhammadiyah, Muhammad Wardan memiliki pemikiran yang berbeda dengan budaya yang hidup di keraton. Muhammadiyah menolak pemikiran Takhayul, Bid’ah, Khurofat yang mana banyak dijumpai di lingkungan keraton. Akan tetapi, dalam kondisi tersebut, Muhammad Wardan mampu menemptkan diri dengan baik di tengah dua pandangan yang saling bertolak belakang tersebut. Bahkan, ia mencoba meluruskan beberapa tradisi keraton yang bertentnagan dengan Islam. Seperti menghapus shalawat yang dilagukan, kemudian mengganti penanggalan sistem Aboge dengan hisab hakiki untuk menentukan hari besar Islam.
Setelah mendapatkan ilmu dari berbagai tempat, Muhammad Wardan berusaha mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang beliau dapatkan. Di antara karirnya semasa hidup adalah:
1. Guru Madrasah Al-Falah Yogyakarta (1934 - 1936 M)
2. Guru Sekolah Muballighin Muhammadiyah Yogyakarta (1936 – 1945 M)
3. Anggota Bidang Markas Ulama pada Angkatan Perang Sabil (1945 - 1948 M)
4.Guru Madrasah Menengah Tinggi Yogyakarta (1948 – 1962 M)
5. Mengajar di Sekolah Guru Hakim Agama (SGHA) Negeri Yogyakarta (1951 – 1952 M)
6. Guru di Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri Yogyakarta sekaligus menjadi guru di Sekolah Persiapan PTAIN Yogyakarta (1954 – 1956 M)
7. Ketua Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1963 - 1985 M)
8. Anggota dewan kurator IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai (1973 M – wafat)
9. Anggota Badan Hisab Rukyat Departemen Agama RI (1973 M – wafat)
Muhammad Wardan dikenal sebagai tokoh yang menggagas teori wujudul hilal yang masih digunakan oleh Muhammadiyah hingga saat ini. Karya-karya tulis dibidang ilmu falak yang ditulis adalah:
1. Umdatul Hisab, buku ini berbahasa arab dengan jumlah halaman 88. Ada 12 pasal yang tertulis dalam buku ini. 12 pasal tersebut membahas tentang arah kiblat, awal bulan kamariah, gerhana matahari, dan gerhana bulan.
2. Kitab Ilmu Falak dan Hisab, buku ini merupakan pegangan bagi siswa di Madrasah Menengah Tinggi (MMT Yogyakart). Isinya membahas bolah langit, teori astronomi, dan praktik hisab. Didalamnya juga berisi penggunaan rubu’ mujayyab.
3. Hisab Urfi dan Hakiki merupakan lanjutan dari buku Ilmu Falak dan Hisab. Berisi perhitungan awal bulan kamariah.
4. “Persoalan Hisab dan Ru’jat dalam Menentukan permulaan Bulan”
5. “Kitab Ilmu Falak dan Hisab”
Muhammad Wardan wafat pada tahun 1990 dengan meninggalkan tujuh anak yang mayoritas aktif di Muhammadiyah. Yaitu, Siti Hunaidah, Djazman Al-Kindi, Siti Barniyah, Ahmad Jihaz, Siti Hadirah, Wisamah, dan Jafnah.
Pemikiran Hisab Rukyat K.H Muhammad Wardan Diponingrat
Meskipun Muhammad Wardan hanya lulusan Muallimin Muhammadiyah yang setingkat SMA dan melanjutkan ke Pondok Jamsaren, pemikirannya tentang ilmu keislaman dan falak sangatlah dalam. Wardan belajar falak ketika berada di Muallimin dan nyantri di Jamsaren solo. Setelah itu, melanjutkan belajar secara otodidak dan berguru langsung kepada ahli para ahli falak. Pemikirannya dalam bidang falak banyak dipengaruhi oleh gurunya yang bernama H. Siraadj Dahlan (Anak K.H Ahmad Dahlan). Salah satu karya Siraadj Dahlan yang terkenal adalah Ilmoe Falak (Cosmographie). Adapun Beberapa pemikiran Muhammad Wardan yang ditulis dalam bukunya adalah:
1. Bola langit
Pemikiran Muhammad Wardan tentang bola langit tertulis dalam bukunya yang berjudul Kitab Ilmu Falak dan Hisab. Buku ini merupakan buku pegangan bagi siswa di Madrasah Menengah Tingga (MMT) Yogyakarta. Isi dari buku ini mencakup teori ilmiah dan praktik dalam menentukan waktu sholat, arah kiblat, dan cara memakai instrumen klasik yaitu rubu’ mujayyab.
Bola langit dijadikan ilustrasi untuk mengetahui ukuran dan peredaran benda langit di angkasa. Bola langit yang digambar oleh Muhammad Wardan menjadikan bumi sebagai pusatnya dan benda-benda langit berada di muka cembungnya. Untuk menentukan ukuran benda langit, pada bidang bola dibuat garis-garis lingkaran sebagai acuannya. Ada 27 sub bab pembahasan mengenai bola langit, di antaranya: bola, gerak tiap hari, lingkaran deklinasi, lingkaran cakrawala, bujur ekliptika, dan lainnya.
2. Segitiga bola
K.H Muhammad Wardan membahas segitiga bola pada tiga bukunya. Segitiga bola adalah segitiga yang berada pada bidang bola yang berbentuk cembung. Ada dua macam segitiga bola, yaitu siku-siku dan serong. Selain itu, dijelaskan pula mengenai instrumen daftar logaritma sehingga hasil perhitungannya cukup akurat.
3. Arah Kiblat
K.H Muhmamad Wardan mengembangkan teori bola dunia yang dikemukakan oleh K.H Ahmad Dahlan untuk menentukan kiblat. Dengan teori ini, K.H Ahmad Dahlan menentukan arah kiblat untuk daerah Yogyakarta, khususnya masjid Gedhe adalah 24°. Kemudian teori ini disempurnakan oleh K.H Muhammad Wardan menggunakan perhitungan yang lebih modern, yaitu ilmu ukur bola (trigonometri bola) dan menghitungnya dengan tabel logaritma. Penggunaan tabel ini dipilih karena pada masa saat itu belum mengenal adanya scientific calculator. Sehingga tabel logaritma menjadi alternatif untuk melakukan perhitungan arah kiblat.
Untuk mengetahui arah kiblat dari suatu daerah tertentu, harus dicari dauhulu lintang tempatnya (‘ardh al-balad) dan lintang kakbah. Selanjutnya bujur kakbah dan tempat tersebut juga harus dicari. Dalam hal ini, K.H Muhammad Wardan menentukan lintang kakbah sebesar 21°30’ sebelah utara dan bujur Kakbah sebesar 39°58’ sebelah timur. Untuk mempermudah perhitungan, lintang Makkah diistilahkan sebagai meil, lintang tempat adalah ‘ardl al-balad, selisih bujur lokasi dan kakbah adalah fadhlul thul.
4. Wujudul Hilal
Dalam buku Hisab Urfi dan Hakiki, Muhammad Wardan menggunakan data astronomis dari al-Mathla’ as-Sa’id karya Husain Said Mesir. Namun marjak yang digunakan adalah kota Yogyakarta. Sistem hisab urfi dan hakiki Muhammad Wardan dikategorikan ke dalam hisab hakiki tahkiki. Prinsip wujudul hilal yang diusulkan oleh Muhammad Wardan adalah yang dipakai oleh Muhammadiyah sampai saat ini. Terobosan tersebut merupakan solusi untuk menetapkan awal bulan qamariah.
Menurut Muhammad Wardan ada tiga kondisi yang memungkinkan untuk menetapkan bulan baru. Pertama, saat matahari terbenam pada akhir bulan tampak hilal dengan jelas, kedua, hilal kemungkinan tampak meskipun tidak terlihat, ketiga, hilal wujud meskipun tidak bisa dilihat. Wujudul hilal menurut Muhammad Wardan adalah ketika matahari terbenam lebih dahulu daripada hilal terbenam meskipun hanya satu menit bahkan kurang. Untuk menentukan tanggal satu bulan baru tidak ada kriteria ketinggian hilal, selama sudah ada wujudnya maka besok sudah masuk bulan baru. Pemikiran ini yang dipakai Muhammadiyah untuk menetapkan awal bulan baru dengan istilah hisab hakiki wujudul hilal.
Hisab hakiki wujudul hilal merupakan kriteria untuk menentukan awal bulan dengan prinsip:
a. Sudah terjadi ijtimak (konjungsi) sebelum matahari terbenam (ijtimak qablal ghurub)
b. Saat matahari terbenam, hilal berada di atas ufuk berapapun ketinggiannya (irtifa’)
c. Bulan terbenam setelah matahari terbenam (moonset after sunset)
Ketiga prinsip ini bersifat kumulatif, artinya semua prinsip harus terpenuhi untuk menentukan awal bulan. Apabila ada satu saja prinsip yang kurang, maka bulan baru belum bisa dimulai. Tiga prinsip di atas didapatkan dari pemahaman surat Yasin ayat 39 dan 40:
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ (39) لَا الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ (40)
“Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan, dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.”
Untuk memahami ayat di atas, dilakukan upaya penyimpulan yang komprehensif dan interkonektif. Ayat tersebut dipahami dengan cara menghubungkannya kepada ayat lain, hadis, konsep fikih, dan ilmu falak. Kedua ayat tersebut mengisyaratkan tiga hal penting, yaitu: Peristiwa ijtimak, peristiwa pergantian siang dan malam, dan ufuk karena terbenamnya matahari dan bulan berkaitan dengan ufuk. Manzilah-manzilah pada ayat tersebut dalam ilmu astronomi merupakan posisi bulan selama beredar mengelingi bumi. Saat terakhir bulan mengelilingi bumi, bentuknya akan berubah menjadi tandan tua. Bentuk ini merupakan sabit bulan yang terlihat di pagi hari menjelang bulan hilang dari pengelihatan. Kemudian ketika bulan melintas di antara bumi dan matahari pada titik yang terdekat dengan garis lurus ke pusat matahari dan pusat bumi, terjadi peristiwa ijtimak (konjungsi). Akan tetapi, konjungsi saja masih belum cukup untuk menentukan awal bulan baru. Karena konjungsi bisa terjadi kapan saja pada tanggal 29/30, baik itu subuh, pagi, siang, sore, atau malam. Sehingga perlu ada kriteria khusus untuk menentukan kapan batas akhir sebuah hari. Oleh sebab itu, ayat ke-40 menjadi isyarat tentang batas akhir sebuah hari.
Pada ayat 40 disebutkan bahwa malam tidak mungkin mendahului siang, begitu juga sebaliknya. Artinya ada peristiwa yang menjadi penghubung antara malam dan siang yaitu saat terbenamnya matahari. Sehingga, matahari terbenam menandakan berakhirnya hari sebelumnya dan dimulainya hari berikutnya. Oleh karena itu, ijtimak harus terjadi ketika matahari belum terbenam, sebab ia akan menghabiskan sisa hari pada saat itu juga. Jika ijtimak terjadi setelah matahari terbenam, maka ia harus menyempurnakan putarannya sampai matahari terbenam selanjutnya.
Kemudian dalam ayat 40 juga disebutkan bahwa ufuk menjadi bagian penting dalam peristiwa pergantian siang dan malam. Ufuk dijadikan garis batas untuk melihat keberadaan bulan apakah mendahului matahari atau tidak. Apabila saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk, maka awal bulan kamariah bisa dimulai pada esok hari. Tetapi jika bulan masih berada di bawah ufuk saat matahari terbenam, maka awal bulan belum bisa dimulai esok hari.
Pemikiran Muhammad Wardan dalam hal wujudul hilal ini masih dipakai oleh muhammadiyah hingga saat ini. Penerapan wujudul hilal berlaku di seluruh wilayah Indonesia karena menggunakan konsep Wilayatul hukmi. Artinya apabila hilal sudah wujud di Aceh, hasilnya akan ditransfer ke seluruh wilayah Indonesia meskipun wilayah bagian Timur belum wujud.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.