Tentang Kualitas Insya Allah
Agama | 2022-12-17 12:13:41Hari pertama masuk kerja pada minggu ini saya awali dengan suasana yang kurang nyaman. Tekanan pekerjaan langsung menyambut begitu saya masuk ke dalam ruangan. Tanpa memberi kesempatan merebahkan badan dengan nyaman di kursi kerja saya, bapak kepala bagian sudah langsung terlihat uring-uringan sehingga membuat beberapa orang yang berada di sana ikut kecipratan masalah.
Jiwa dan pikiran yang masih belum benar-benar terhubung selepas libur akhir pekan membuat tubuh saya terpaku dan hanya bisa pasrah mendengarkan cecaran kata-kata sang atasan yang seperti sedang kelebihan beban. “Mungkin akhir pekannya tidak menyenangkan.” Pikir saya. ”Mungkin asam uratnya kambuh sehingga jadi uring-uringan.” Batin saya lagi.
“Terus ini bagaimana? Target produksi banyak yang tidak tercapai. Dengan kondisi seperti ini, apakah masih bisa dikejar sesuai tenggat waktu yang ada?” Nada penuh keseriusan si bos saat melontarkan pertanyaan itu membuyarkan sebaris terkaan yang berkeliaran di otak saya.
“Insya Allah masih bisa, Pak.” Seru saya tegas, sembari berharap akan meredakan ketegangan yang ada.
“Buktikan. Karena biasanya Insya Allah-nya orang Indonesia itu tidak bisa dipercaya.” Pungkasnya.
Saya tercenung. Seburuk itukah performa kerja saya sampai-sampai berkata Insya Allah saja masih diragukan. Atau barangkali si bos memang menyimpan begitu banyak trauma dari para anak buahnya perihal janji-janji yang gagal, tentang komitmen yang tidak tertunaikan, dan isyarat kesanggupan yang tidak berjalan baik sedangkan itu semua berbalut dengan kata Insya Allah, Jika Allah Mengizinkan.
Tanpa bermaksud GR, saya rasa alasan kedualah penyebabnya.
Dan memang sepertinya kita cenderung tidak berfikir panjang tentang kata atau kalimat yang terucap dari lisan. Wabilkhusus dalam mengucapkan sesuatu yang sebenarnya memiliki makna dan konsekuensi mendalam. Pada saat kita berkata Insya Allah, hal itu mengharuskan kita berupaya maksimal menggunakan beragam cara, metode, dan strategi yang kita tahu dan kita mampu. Sembari menyerahkan hasil akhirnya kepada Sang Pencipta atas semua usaha.
Akan tetapi, ada saja diantara kita yang bertindak ala kadarnya tanpa dibarengi totalitas berusaha. Baru mencoba beberapa metode sudah menyerah. Baru melaksanakan satu strategi sudah pasrah. Sebatas formalitas bahwa sudah melakukan langkah tindakan. Kalau hasilnya buruk cuma bisa memelas dan menghibur diri bahwa itu semua kehendak Tuhan. Tanpa adanya evaluasi bahwa sikap kita memiliki andil besar terhadap kegagalan itu.
Alih-alih memuliakan, sikap semacam ini justru merupakan bentuk peremehan. Peremehan terhadap tanggung jawab yang diemban dan terlebih peremehan terhadap kapasitas diri sendiri yang sejatinya menyimpan begitu banyak potensi. Dengan kata lain, kualitas Insya Allah yang terucap dari lisan kita telah terabaikan.
Bukan tidak mungkin selama ini kita sebenarnya acuh tak acuh terhadap kualitas Insya Allah yang kita ucapkan manakala bercakap-cakap dengan orang lain, menyatakan kesanggupan kepada lawan bicara, dan seterusnya. Mengira bahwa mereka yang mendengarkan pernyataan kita akan senantiasa memaklumi jikalau suatu saat nanti ternyata yang kita katakan berbeda dengan kenyataan.
Efek yang ditimbulkan tentunya sangat tidak baik. Khususnya terhadap kredibilitas pribadi seseorang dan utamanya mengenai pelabelan bahwa orang-orang yang lisannya berucap Insya Allah tak ubahnya menyatakan janji setengah hati, pernyataan semena-mena, dan kesanggupan yang sebenarnya tidak pernah disanggupi. Hanya ikrar formalitas belaka tanpa adanya tekad untuk memenuhi ikrar itu. Kualitas Insya Allah kita nol.
Saya percaya bahwa setiap dari kita yang berucap Insya Allah dalam setiap percakapannya memiliki pemahaman bahwa hal itu telah diajarkan sebagai kebaikan yang perlu ditunaikan. Sekaligus menjadi perwujudan atas suatu keyakinan besar bahwasanya Dzat Ilahi Robbi adalah sutradara sejati dibalik semua cerita dan peristiwa. La Haula Wala Quwwata Illabillah. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah.
Hanya saja pemahaman itu tidak lantas membuat kita beranggapan bahwa kita sama sekali tidak memiliki andil dan peranan dalam melaksanakan sesuatu. Justru kita mendapatkan proporsi peran yang cukup besar dari Sang Khaliq untuk menunjukkan sejauh mana kapasitas kita. “Allah tidak akan merubah nasib suatu kamu sebelum kaum itu merubah nasibnya sendiri.”
Kualitas Insya Allah yang kita sampaikan sangat ditentukan oleh kesungguhan dalam memenuhi isi pesan yang terangkai pada kata-kata mulia Insya Allah itu. “Insya Allah saya akan datang.”, “Insya Allah saya akan bayar hutang esok hari.”. Ketika kesungguhan sudah menjadi bagian dari tindakan yang kita tempuh maka pada saat itulah kita pantas untuk berkata, “Biarlah hasilnya Tuhan yang menentukan.”
“Insya Allah-nya orang Indonesia biasanya tidak bisa dipercaya.” Bukan tanpa sebab kalimat semacam itu terlontar dari mulut orang-orang di sektiar kita. Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar rasanya pernyataan semacam itu sangatlah memalukan. Bukan bagi yang melontarkan, namun lebih kepada kita yang menjadi bagian dari komunitas muslim itu. Seolah-olah nilai mulia ajaran Islam tidak bisa memberikan kontribusi positif terhadak adab dan akhlak kita dalam pergaulan.
Apabila kita ingin menghapus malu atas anggapan semacam itu maka sayogyanya kualitas Insya Allah yang terucap dari lisan kita perlu diresapi dan dipahami setiap kali kita melafalkannya. Bahwa ada konsekuensi dan tuntutan untuk memegang teguh komitmen yang kita buat kepada orang lain.
Dan jangan lantas mundur teratur dengan tidak lagi mengucap Insya Allah terhadap segala sesuatu yang menuntut kita untuk menyatakan kesanggupan berbuat setelah tahu bahwa ada konsekuensi dan komitmen yang mesti ditunaikan. Justru semakin baik kualitas Insya Allah kita, yang tercermin melalui kesungguhan upaya tindakan, hal itu akan turut mengerek kredibilitas diri kita sebagai pribadi beriman.
Insya Allah.
Agil S Habib, Penulis Tinggal di Tangerang
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.