Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Prof. Dr. Budiharjo, M.Si

Kesiapan Hadapi Resesi Ekonomi

Bisnis | Thursday, 15 Dec 2022, 20:22 WIB
Pemerintah harus mempersempit jurang ketimpangan sosial karena perbedaan mencolok antara orang kaya dan miskin bisa memicu kerusuhan. Foto: Republika

Persoalan yang menghantui masyarakat saat ini adalah resesi ekonomi pada 2023. Pemberitaan di media massa membuat takut semua pihak. Optimisme muncul dari ASEAN, di mana Indonesia dinilai lebih tahan terhadap badai resesi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam kurun triwulan III-2022 mencatatkan kinerja impresif dengan mampu tumbuh sebesar 5,72% (yoy) melanjutkan tren pertumbuhan yang solid sejak awal tahun 2022. Ini tentu menjadi modal untuk memandang optimisme di tahun berikutnya.

Namun, kondisi ini tidak boleh membuat lengah. Pascapandemi, kemiskinan di Tanah Air masih menjadi ancaman serius. Masyarakat masih banyak yang terpuruk dan tidak bisa bangkit akibat dihajar Covid-19. Dilaporkan, 80 ribu anak putus sekolah diakibatkan kondisi ekonomi keluarga yang tidak mampu menyekolahkan mereka. Walaupun anak-anak itu memiliki kemauan kuat untuk melanjutkan pendidikan namun realitasnya keinginan pupus dengan kondisi ekonomi keluarga yang tidak memadai.

Untuk menghadapi ancaman resesi diperlukan upaya serius dari masyarakat dan Pemerintah. Dari sisi individu, maka kesiapan menghadapi resesi adalah bagaimana membuat masyarakat cerdas mengelola keuangan. Ada tiga upaya yang bisa dijalankan masyarakat. Pertama, pastikan pemasukan selalu ada dan lebih besar dibandingkan pengeluaran. Uang cash harus ada di tangan minimal 25 persen dari total kekayaan. Krisis ekonomi memang tidak mungkin dihindari tapi masih mungkin diantisipasi. Caranya adalah dengan memastikan masyarakat memiliki uang cash di rumah sesuai kebutuhan.

Kedua, aset alokasi bukan spekulasi. Kita harus pintar mengalokasikan aset sebelum krisis terjadi. Masyarakat harus mampu mengambil keputusan tepat untuk menarik semua aset yang tidak produktif.

Ketiga, pemilihan usaha yang tahan resesi ekonomi seperti jualan makanan, pakaian dan kebutuhan primer. Usaha makanan adalah jenis usaha yang tidak akan mati karena manusia setiap saat membutuhkan makan. UMKM menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia dan ini terbukti mampu mengatasi ancaman resesi pada 1998.

Tiga upaya di atas adalah antisipasi yang di dalamnya ada langkah yang penuh perencanaan, matang dalam menganalisa dan bisa mengambil keputusan. Kita harus mendapat informasi valid tentang kondisi ekonomi makro, senantiasa mengikuti statemen Pemerintah tentang keuangan, moneter, fiskal dan keuangan global. Yang paling penting adalah hindari hoaks, informasi palsu dan sejenisnya yang akan memperburuk keadaan.

Dari sisi negara, yang harus dilakukan adalah mempersempit jurang ketimpangan sosial. Perbedaan mencolok antara orang kaya dan miskin bisa memicu kerusuhan. Kita pernah mengalaminya pada krisis 1998. Itu semua diawali dengan adanya ketimpangan pendapatan individu yang kian melebar. Kita apresiasi program Pemerintah berupa bantuan langsung tunai (BLT), pemberian e-money, pembangunan infrastruktur, bagi-bagi sertifikat, kartu Indonesia sehat dan kartu Indonesia pintar. Itu menjadi upaya Pemerintah mempersempit angka kesenjangan sosial.

Edukasi kepada masyarakat tentang finansial pun harus ditingkatkan. Ketimpangan pendapatan disebabkan oleh ketimpangan pengetahuan dan keberanian. Masyarakat yang kesulitan dalam mencari pendapatan ekonomi karena mereka tidak memiliki keberanian untuk mencari alternatif pemasukan. Ditambah dengan kurangnya pengetahuan atau skill dalam mencari pemasukan.

Dalam jangka panjang, peningkatan pengetahuan bisa dengan meningkatkan edukasi keuangan di sekolah. Sekolah harus bisa beradaptasi dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan cara bagaimana mencari uang. Sekolah perlu mengajarkan peserta didik tentang kecerdasan keuangan. Bagaimana mengelola uang, investasi seperti apa, melamar kerja bagaimana, cara meningkatkan karir seperti apa. Mulai dari SD harus diperkenalkan bagaimana mengelola uang.

Cara paling mudah adalah anak tidak diajari dengan memberi uang hanya untuk jajan. Itu akan membuat anak konsumtif. Padahal, kecerdasan finansial mengharuskan anak produktif. Anak harus mulai diperkenalkan dengan investasi. Contoh paling mudah, memberi barang jajanan kepada pemilik warung untuk dijual kembali. Ini sebenarnya cara yang dulu banyak dipraktikkan anak-anak SD. Mereka membawa termos berisi es beku atau gorengan lalu dititipkan di warung sekolah untuk dijual. Dengan begitu, anak mengenal cara jualan. Sekolah juga harus memperkenalkan kepada siswa bagaimana memulai bisnis, melihat peluang usaha dan sebagainya.

Hal lain yang bisa dilakukan Pemerintah adalah mendorong perusahaan untuk melatih para karyawan lebih melek keuangan dan peningkatan skill. Ini berkaitan dengan training di perusahaan untuk para pekerja. Peningkatan softskill dan hardskill bagi karyawan juga akan berdampak pada menurunnya angka ketimpangan pendapatan di kalangan individu. Karyawan yang dilatih dalam mengelola keuangan maka itu bermanfaat bagi pribadi dan keluarganya.

Program keluarga harapan (PKH) jadi motor meningkatkan masyarakat miskin. Bisa saja, Pemerintah mendorong masyarakat miskin untuk naik kelas. Dengan memberikan modal usaha, keluarga didorong untuk mandiri. Jika dalam lima tahun bisa membuktikan memiliki income, minimal setara UMR, maka dia telah keluar dari statusnya sebagai masyarakat miskin. Perlu juga diberikan tips pengelolaan keuangan bagi masyarakat penerima BLT. Tips-tips ini menjadi pendorong agar masyarakat lebih produktif dalam kewirausahaan.

Ketimpangan sosial memang tidak mungkin dihilangkan sama sekali. Tidak semua orang memiliki mindset yang sama tentang keuangan. Edukasi tentang pengelolaan uang mutlak dibutuhkan masyarakat. Karena kalau tidak, berapapun bantuan tunai yang diberikan Pemerintah, maka itu akan habis untuk kepentingan konsumtif semata. Jika masyarakat mampu mandiri secara ekonomi, angka pertumbuhan ekonomi akan terus meningkat dan akhirnya negara kita bisa selamat dari ancaman krisis ekonomi yang bisa saja berdampak pada krisis multidimensi. (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image