Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Darkim

Cerpen: Para Pemanggul Senjata

Sastra | Thursday, 15 Dec 2022, 06:28 WIB
pixabay.com

Di kalangan para kesatria Untoloreng yang termasyur dengan keahlian mereka memainkan aneka ragam senjara dengan lihai, ada sekelompak orang yang setia mendampingi hingga sampai mati. Merekalah para pemanggul senjata, kasta terendah diantara pria tangguh penyabung nyawa. Bahkan mereka sering di anggap lebih rendah dari para anjing penjaga kemah di lautan malam sebelum peperangan dimulai.

Ada yang mati berdiri, ada yang cacat karena percikan energi dari para tuan yang bertarung dengan kesaktian tingkat tinggi, bahkan ada yang rela mati ketika mendapati kenyataan tuan tempat ia mengabdi kalah dan mati di medan laga.

"Nyawamu adalah henti langkahku. Tubuhmu menyatu dengan deru napasku. Usiamu adalah sejengkal sebelum dan sesudah tuanmu menghunus senjata kepada musuh."

Bagi para pemanggul senjata, hidup adalah mengabdi dengan merawat dan mendidik aneka senjata agar sesuai dan berjodoh dengan tuan kesatria. Para pemanggul senjata tidak akan tidur sebelum tuanya mati, mereka baru akan memejamkan mata apabila darah tuanya membasahi wajah dan memercik kedalam bola mata. Itulah tidur yang mulia, setelah mengabdi sepanjang usia kepada para tuan kesatria tanpa pernah membantah, mengeluh dan menanyakan apakah pekerjaan ini layak bagi manusia.

Konon ada seorang pemanggul senjata yang tak pernah tidur dan tak pernah mati hingga dua generasi. Hingga usianya kini, ia tetap setia mengabdi kepada tuanya dengan menjaga sebilah pedang bergagang ukiran macan, kesanalah para pemanggul senjata pemula yang telah terpilih untuk memenuhi takdir sebagai abdi bagi seorang ksatria hingga tuanya mati.

"Wahai hambaku. Jika aku mati dalam pertmpuran esok hari, aku titahkan kepadamu agar tetap hidup hingga dua generasi."

"Maafkan hamba, Tuamku. Itu menyalahi takdir."

"Ini adalah perintah. Dan takdirmu adalah menunaikan perintahku."

"Hamba patuh, Tuanku."

Hidup adalah siksa, menyaksikan serombongan kesatria datang dan pergi dengan mempertaruhkan nyawa, memandang takjub kepada para pemanggul senjata muda yang tidak akan berbicara kecuali tuanya mengijinkanya. Bahkan erangan kecilpun terlarang meskipun nyawa sendiri tengah meregang.

Memberi wejangan kepada pemamnggul senjata pemula, mengajarkan jurus pamungkas cara merawat dan memelihara senjata mestika, hingga memberi restu dan magis sebelum seorang pemanggul senjata terjun kemedan laga mendampingi tuanya.

Bagi para pemanggul senjata, pemanggul senjata tertua ini adalah Tuhan di atas Tuhan, Dewa di atas dewa. Wejanganya adalah jalan lurus menuju pengabdian melampaui surga.

Dua generasi ternyata bukan waktu yang lama, setidaknya bagi mereka yang tidak pernah memikirkan perjalanan masa. Dan kini, masa itu telah tiba.

"Mohon ampun, tuan pangeran. Hamba serahkan diri hamba untuk mengabdi kepada pangeran. Dan sebilah pedang pusaka dari leluhur pangeran, kini hambah haturkan sesuai drngan titah para leluhur."

"Wahai pemanggul senjata, apakah Engkau akan mengabdi kepadaku sampai hembusan terakhir napasku?"

"Itu adalah takdir hamba, tuanku."

Sejak saat itu, sosok lelaki tua dengan tubuh kurus kering berjubah kulit angsana, terjun kemedan laga mendampingi tuan kesatria pangeran junjungannya.

Berdiri tegak dalam diam, meski percikan energi kesaktian menyambar, bahkan badai gurun tak mampu menggesar kokoh kaki menatap tajam setiap elak terjang tuan kesatria. Tubuh terkoyak, hujaman tombak dan senjata andalan seringkali menyasar tubuh ringkih yang tetap berdiri di pinggir gelanggang menanti tuanya mengadu sakti.

Kemenangan demi kemenangan diraih, segala jenis luka pernah mencederai, aneka penghormatan dan luas wilayah kekuasaan sang pangeran telah menambah bukti, tapi sang pemanggul senjata tak pernah memperlihatlan lelah apalagi pedih.

"Wahai hambaku yang setia, mengapa engkau tak mati dan tak pernah tidur meskipun seribu luka senjata tajam pernah menyasar tubuh ringkihmu?"

"Ampun tuanku, sesungguhnya hamba telah pernah mati"

"Mengapa Engkau masih berada disini?\

"Pengabdianlah yang membuat hamba tak lebur oleh sunyi, tak rapuh oleh dera seribu kibatan perih."

Hingga saat ini, sang pemanggul senjata tertua tetap mengasah senjata demi memuaskan hasrat tuan ksatria menunjukan kgagahanya. Merawat dan mendidik senjata, meski kaki dan tangan sebahagian telah berubah tanah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image