Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Kamaruddin

Flower Aceh Gelar Diskusi Ciptakan Ruang Aman, Kenali UU TPKS

Info Terkini | 2022-12-12 20:09:40
LSM Flower Aceh melakukan diskusi untuk kelompok perempuan dampingan dengan topik “Ciptakan Ruang Aman, Kenali UU TPKS” | Dok. Pri

Banda Aceh - Dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) 25 November - 10 Desember, LSM Flower Aceh melakukan diskusi untuk kelompok perempuan dampingan dengan topik “Ciptakan Ruang Aman, Kenali UU TPKS”, Kamis, 8 Desember 2022, di Aula Kantor Keuchik Alue Deah Teungoh, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh.

Diskusi tentang “Ciptakan Ruang Aman, Kenali UU TPKS”, juga dilakukan oleh 5 LSM di 4 Kabupaten/Kota meliputi Banda Aceh, Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar.

Narasumber yang juga Staf Flower Aceh, Fatimah Zuhra, mengatakan setiap hari rata-rata 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Dalam usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan seksual.

“Keterbatasan KUHP dan UU khusus lainnya yang mengatur kekerasan seksual (ada kekosongan hukum) sehingga pelaku bebas dari jeratan hukum dan korban tidak mendapatkan keadilan,” kata Fatin.

Kekerasan seksual memberikan dampak yang cukup berat bagi korban, tidak hanya dampak psikologis, sosial dan ekonomi, tetapi juga berdampak pada keluarga korban. Tidak sedikit juga korban kekerasan seksual harus kehilangan hak pendidikannya, pekerjaan dan dikucilkan dari lingkungan sosialnya.

Kehadiran UU TPKS akan semakin meningkatkan kesadaran masyarakat untuk melapor, apalagi jika sosialisasi UU ini dilakukan secara masiv disemua lini.

Namun, kata Fatin, dari 37 kasus yang dilaporkan saat ini hanya 40 persen yang sampai ke pengadilan. Untuk diketahui, DP3A menerima laporan 248 kasus, sejak januari sampai dengan agustus 2022. 207 kasus terjajadi terhadap anak, 41 kasus dialami perempuan dewasa.

Kemudian, LBH Banda Aceh menangani 18 kasus kekerasan seksual panjang januarai sampai dengan maret 2022. 16 kasus diantaranya terhadap anak, 41 kasus dialami perempuan dewasa. Mayoritas bentuk kekerasan seksual adalah pemerkosaan, ada trend meningkatnya pelaku anak dan pemerkosaan berkelompok yang melibatkan pelaku anak.

Fatin menjelaskan setelah menjadi korban maka dia akan mendapat penanganan yaitu layanan hukum, layanan kesehatan, penguatan psikologis dan penghapusan konten bermuatan seksual untuk KSBI. Selanjutnya, dia akan mendapat perlindungan dari: ancaman atau kekerasan/berlakunya kekerasan, kerahasiaan identitas, sikap/perilaku APH yang merendahkan, kehilangan pekerjaan, kehilangan Pendidikan atau akses politik, dan perlindungan dari tuntutan balik.

Kemudian mendapatkan pemulihan, lebih kepada mentalnya dan dibantu psikiater. Rehabilitasi medis, mental dan sosial;pemberdayaan perempuan sosial, restitusi dan/atau kompensasi, reintegrasi sosial;layanan kesehatan untuk pemulihan fisik dan penguatan psikologis, pendampingan hukum (sebelum dan selama proses peradilan)

Sementara itu, Koordinator Pemberdayaan Masyarakat Flower Aceh, Ernawati, menegaskan adapun tantangan penerapan UU TPKS yaitu penempatan kasus kekerasan seksual sebagai aib, budaya menyalahkan Korban. Substansi hukum, aturan Pelaksanaa yang dimandatkan UU TPKS (PP DAN PERPRES) belum tersedia, sementara sejumlah terobosan dalam UU TPKS yang memebutuhkan petunjuk operasional

Kemudian, pengaturan tentang penyelanggaraan layanan terpadu di daerah oleh SatKer Bidang pemerintahan P3A, pengaturan pelecehan seksual dan pemerkosaan dalam Qanun Jinayat di Aceh dan keberadaan pasal 72 Qanun Jinayat yang akan menutup peluang untuk diberlakunya UU TPKS dalam penanganan kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual di Aceh.

Struktur hukumnya, pemahaman APH tentang kekerasan seksual, kapasitas APH dalam penanganan, ketersediaan sarana dan prasarana, termasuk unit khusus penanganan.

“Jika membahas adat masih ada dikita yaitu mengawin kan dengan pelaku. Bisa dibayangkan korban yang mendapat kekerasan dari pelaku malah dinikahkan dengan orang yang sudah jahat ke korban. Jika dicambuk saja tidak ada jaminan bahwa pelaku tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Jadi harapannya di Aceh ini segera di tetapkan UU TPKS ini,” tegas Erna.

Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati, mengatakan strategi penghapusan kekeraaan terhadap perempuan dan anak harus dimulai dari dalam keluarga, dan berbasis komunitas yang melibatkan semua pihak di semua tingkatan masyarakat. Jadi dimulai dari diri sendiri dan keluarga agar tidak menjadi korban. Keluarga menjadi pondasi dasar yang memiliki fungsi

keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi dan pembinaan lingkungan. Jika ketahanan keluarga terwujud, maka akan mampu memberikan perlindungan terhadap anggota keluarga.

“Sikap-sikap peka dan peduli harus di tumbuhkan lagi. Ada poin penting yang ingin kita masukkan ke dalam Qanun Jinayat. salah satunya terkait dengan sumpah, karena jika pelaku bersumpah maka hal tersebut bisa menjadi bukti. Yang penting selanjutnya yaitu restitusi atau pergantian yang dilakukan oleh pelaku kepada korban. Terakhir penghukuman terhadap pelaku harus lebih menjerahkan dan mampu memberikan rasa adil bagi korban” tegas Riswati.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image