Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Astika Pitri jianti

MENGUBAH DENGAN TEKNOLOGI ATAU DIUBAH OLEH TEKNOLOGI

Teknologi | Saturday, 11 Dec 2021, 20:51 WIB

Mengubah dengan Teknologi atau Diubah oleh Teknologi

Oleh: Astika Pitri Jianti, 2111020047

Perubahan teknologi hingga kini masih terus terjadi dan semakin dirasakan hingga di berbagai sendi kehidupan manusia. Teknologi merupakan sesuatu hal yang diciptakan untuk memudahkan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara tak disadari, teknologi akan terus berevolusi dan berkembang mengikuti zaman. Banyak aspek kehidupan manusia yang semakin tersentuh dengan teknologi.

Dunia medis, sarana komunikasi, pendidikan, ekonomi, dan masih banyak lagi aspek yang tak luput dari adanya teknologi Manusia memiliki lima indera, yaitu indera penglihatan, indera penciuman, indera peraba, indera pendengaran dan indera perasa/pencecap. Dari lima indera ini, beberapa indera memiliki tahapan pola kerja yang sama, yaitu pesan dihantarkan dari obyek sumber, melalui medium, kepada reseptor (penerima rangsang) dan kemudian disalurkan ke penganalisa (otak). Obyeknya jelas, yaitu benda yang diamati.

Mediumnya adalah penghantar pesan. Untuk indera pendengar butuh medium udara atau cairan atau benda padat. Indera penciuman butuh medium udara. Dengan demikian karakter obyek bisa jadi tidak sama persis dengan karakter yang diterima reseptor, karena ada pengaruh karakter medium. Tapi kita tak pernah menyadari keberadaan medium ini. Hal yang sama juga terjadi jika kita menggunakan media komunikasi dan produk teknologi lain.

Radio, TV, media cetak, telefon, gadget, internet dan alat lain yang menjadi perpanjangan indera kita, adalah medium yang menghubungkan indera kita dengan suatu obyek. Yang menjadi persoalan adalah bahwa karakter produk teknologi ini tidak sesederhana air atau udara yang menghantarkan pesan dari sumber kepada reseptor. Inilah yang oleh Marshal McLuhan disebut sebagai “medium is the message.”

Karakter dari medium itulah yang mengubah penggunanya. Bukan pesan yang di kirim dari obyek kepada reseptor. Karena pesan itu dari abad ke abad tidak begitu banyak perbedaannya.Sebenarnya gagasan ini pertama kali dikemukakan puluhan abad yang lalu oleh Plato.

Plato mengatakan bahwa indera kita sebenarnya tidak bisa menangkap kebenaran dunia dan kebenaran suatu obyek. Apa yang bisa kita pahami hanyalah salinan dari gagasan atas obyek tersebut, yang ada dalam dunia transenden. Yang diberikan oleh indera kita hanyalah bayangan salinan dari obyek di dunia nyata.

Ajaran dari Plato ini bisa dijadikan model untuk memahami penggunaan produk teknologi dan media komunikasi saat ini. Bahwa informasi yang dikirim dari reseptor indera ke otak kita bukanlah realitas. Realitas tetap berada di luar diri kita. Apa yang ada di media sosial, bukanlah realitas dari si pembuat status. Realitas si pembuat status tetap melekat pada diri yang bersangkutan.

Sekarang kita akan mencuplik gagasan dari Marshal McLuhan, ahli komunikasi pada dekade 60 dan 70-an. McLuhan menyatakan bahwa pengaruh teknologi tidak terjadi pada tingkatan opini atau konsep, namun menggeser rasio atau pola persepsi secara bertahap dan tanpa disadari. Contohnya nyata adalah soal penggunaan ponsel pintar pada keluarga muda. Berapa jam dalam sehari ponsel pintar “merampok” perhatian orang tua yang seharusnya menjadi hak anak.

Dan bisa jadi orang tua tidak menyadarinya Alkisah perbudakan telah mengakar di kota Roma. Namun “pola pikir” perbudakan ini meluas melampaui batasan geografi. Akhirnya seluruh Italy, bahkan seluruh jajahan Roma, mengalami situasi perbudakan.

Karena hidup dalam atmosfer perbudakan, maka setiap orang secara tidak sadar terinfeksi gagasan perbudakan. Dan tidak ada orang yang bisa lepas darinya. Artinya pemahaman tentang realitas yang ada di media komunikasi, tentang realitas yang ada di media sosial, tanpa disadari telah menular. Kemudian menjadi wajar jika orang tua bermain ponsel pintar sambil mengasuh anaknya. (Agak berbeda dengan mengasuh anak sambil bermain ponsel pintar) Lalu, bagaimana proses perubahan bisa terjadi? Di bagian sebelumnya McLuhan menyebut soal rasio dan pola persepsi.

Secara singkat bisa kita cuplik dari Mark Peterson. Bahwa kita tidak dipengaruhi atau di ubah oleh sifat obyek. Tidak juga secara sederhana melalui medium yang digunakan. Namun secara aktual karena kita harus menyesuaikan diri dengan medium yang digunakan. Jadi perubahan pada diri kita terjadi jika kita harus menyesuaikan rasio dan pola persepsi yang sudah ada dengan karakter media yang kita gunakan.

Memang konsep ini masih membingungkan. Bisa jadi yang saya tampilkan disini tidak seluruhnya benar, meski saya mengutipnya dari phak-pihak yang kompeten. Tapi ada satu hal mendasar yang perlu saya sampaikan kepada sidang pembaca. Bahwa sebenarnya sebagian besar dari kita baru sampai tahap pemahaman soal penggunaan alat, belum mencapai tahap pemahaman bagaimana alat mengubah kita.

Dan pemahaman soal bagaimana alat mengubah kita merupakan kunci untuk memahami pola pembentukan identitas pada generasi milenial. Teknologi berhasil mengubah sejarah kehidupan manusia. Pernyataan itu disampaikan oleh Prof. Dr. Henri Subiakto, Drs., S.H., M.Si, Ia pun menjelaskan bagaimana perkembangan teknologi oleh mesin cetak dapat mengubah tatanan agama pada masa abad 15. Sampai sekarang, teknologi masih berkembang menuju ke arah teknologi komunikasi digital. Perubahan itu banyak terjadi di lini kehidupan manusia baik digital maupun riil.

Teknologi memunculkan kolektivitas sosial hingga ekonomi. Tak sedikit warga dunia maya –atau yang kerap disebut dengan netizen– menunjukkan kepedulian baik di dunia niskala (virtual) maupun nyata, tentang peristiwa kemanusiaan yang berada di belahan bumi lain. Warga dunia maya adalah warga dunia masa depan. Mereka adalah generasi yang lahir pada dekade 90-an yang dekat dan melek dengan konektivitas internet dan teknologi.

Para generasi digital native sudah biasa terpapar dengan perkembangan berbagai hal di bidang teknologi. Sedangkan, generasi sebelumnya yang tak begitu melek disebut sebagai digital immigrant. Pada akhirnya, menurut Prof. Henri, keberadaan teknologi telah mengubah arah kapital. Saat ini, yang terjadi dalam dunia komunikasi digital adalah pelayanan Over the Top (OTT). Layanan OTT adalah titik pertemuan antara sektor telekomunikasi dengan sektor penyiaran dan sektor internet.

Layanan OTT ini memungkinkan pengguna untuk memperoleh manfaat internet yang tidak disediakan oleh operator komunikasi maupun operator internet. Dengan berbagai kreativitas dan inovasi, dari generasi inilah lahir berbagai macam teknologi pintar. Berdasarkan kegunaannya, jenis OTT dibagi menjadi lima. Pertama, OTT Komunikasi yang memungkinkan pengguna berkomunikasi secara daring (dalam jaringan) berbasis internet dan tepat waktu melalui aplikasi seperti WhatsApp, LINE, Messengers, dan sejenisnya.

Kedua, OTT media konten yang memungkinkan pengguna untuk mengakses tayangan konten seperti video dan musik, seperti YouTube, Netflix, Soundcloud, dan sejenisnya. Ketiga, OTT Dagang yang memungkinkan pengguna dan pengusaha melakukan transaksi perdagangan melalui PayPal, OLX, Grab, Uber, Go-Jek, dan Bukalapak. Keempat, OTT Media Sosial yang memungkinkan pengguna untuk berinteraksi lewat dunia maya seperti Facebook, Twitter, Path, LinkedIn, Tumblr, dan sejenisnya.

Kelima, OTT Pengumpul Informasi yang memungkinkan pengguna mengakses layanan informasi dan bank data seperti Google Search, Google Maps, Google Earth, Mozilla Firefox, Yahoo! Search, dan sejenisnya. Ada perubahan konseptual seiring dengan perkembangan komunikasi digital. Kalau dulu para intelektual mengabdi pada kapital. Segalanya bisa dibeli dengan uang, tetapi sekarang tidak. Sekarang justru kapital yang mengabdi pada teknologi. Pada tahun 2014, WhatsApp dibeli dengan harga senilai $19 miliar Dolar Amerika Serikat. Itu ada hampir seperlima APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) Indonesia,” tutur Prof. Henri.

Menurut pandangan Guru Besar UNAIR di bidang Ilmu Komunikasi tersebut, bisnis yang menguntungkan di masa depan adalah bisnis di bidang OTT. Layanan OTT berhasil menghubungkan antara pihak yang membutuhkan dengan pihak yang memiliki sumber daya. Misalnya, layanan Go-Jek yang berhasil menghubungkan antara pengguna yang butuh kendaraan dengan pengemudi sepeda motor yang butuh tambahan penghasilan. Hal tersebut serupa dengan layanan yang ditawarkan oleh Uber dan Grab. “OTT menghubungkan orang yang butuh dengan orang yang punya. E-commerce (e-dagang), Go-Jek, Nebengers, dan Uber adalah bentuk economy sharing.

Ini mengubah model bisnis secara luar biasa,” tutur Guru Besar bidang Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNAIR. Keberadaan OTT media sosial dan mesin pencarian juga bisa mengancam keberadaan media konvensional seperti televisi, radio, dan koran. Prof. Henri mengatakan bahwa kelemahan media konvensional adalah micro-targeting perilaku konsumen. Di sisi lain, keberadaan OTT media sosial dan mesin pencarian berhasil meraup keuntungan yang tak sedikit. Sehingga, model bisnis digital seperti ini cukup menjanjikan di masa depan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image