Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aditya Putra

Hidup Begitu Rumit dan Kita Tahu Apa Sebabnya

Gaya Hidup | Wednesday, 07 Dec 2022, 16:21 WIB

Dunia makin rumit, seolah segala perubahannya terniscaya ke arah kerumitan-kerumitan itu. Kemudian di dalam kerumitan yang ramai dan tambun, kita, manusia ini, dibikin menjadi kanak-kanak selamanya.

Bila cara pandang manusia akan menentukan bagaimana persepsinya terhadap dunia, maka sudah dapat dipastikan, kita yang sekarang tidak ubahnya melihat dunia sebagai wahana bermain belaka.

Lantas, di tengah arus keniscayaan rumitnya dunia ini, kenapa kita masih saja dituntut untuk mendewasakan diri? Bukankah tuntutan semacam itu yang kemudian memborgol dunia sehingga tetap menjadi dunia yang rumit?

Sebentar, memang dewasa itu yang seperti apa? Lantas sifat kekanak-kanakan seperti apa yang beriak di jiwa manusia sekarang?

Dewasa dalam pengertian normatif dan penuh pengarahan kapitalisme, terang saja mesti ber-ekonomi mapan, punya karir industrial yang cemerlang, beli rumah dan kendaraan tanpa lilitan hutang, begitu. Sementara kanak-kanak? Satirnya, kanak-kanak itu menjadi dewasa dua kali, atau mungkin lebih.

Cek info lainnya >>Disini

Misalkanlah segala kebutuhan untuk menjadi dewasa terpenuhi secara cukup. Syahdan di titik ini, jiwa kekanak-kanakan yang tersimpan di dada kita akan memberontak agar kebutuhan itu dihadirkan lagi dalam bentuk dua kali lipatnya.

Mobil dua kali lipat lebih banyak, rumah dua kali lipat lebih besar, ekonomi dua kali lipat lebih makmur, karir industrial dua kali lipat lebih menanjak. Artinya, kita diminta menjadi dewasa, hanya untuk kembali menjadi kanak-kanak. Seakan memang demikianlah idealnya cara hidup perlu dibangun.

Menghindar dari ketetapan-ketetapan itu artinya mengambil risiko untuk terasing. Terasing, kesepian, dan menyadari bahwa keduanya adalah pantulan dari kematian. Dan satu-satunya cara supaya kembali hidup dan “meng-ada” adalah mengikuti syarat-syarat atau ketetapan yang berlaku di dunia ini; menjadi dewasa. Betapapun beratnya.

Barangkali kita memang sempat berpikir untuk menghindar dari lingkungan yang rumit dan penuh tuntutan itu, misalnya dengan memilih kembali ke desa atau membuat semacam rumah di hutan – singkatnya jauh dari gemerlap dunia.

Namun apakah bayangan yang seperti itu bisa diwujudkan? Kita bisa saja berusaha keras dengan mengasingkan diri supaya tidak terjerat kail duniawi, tetapi lingkungan dan dunia yang kita bahas sejak tadi sudah terhampar sejauh kaki kita berpijak. Di mana dan kapan pun, kita senantiasa akan bertemu dengan dunia yang seperti itu.

Lantas bagaimana caranya supaya, sesedikit mungkin, bisa bertahan tanpa terlalu banyak melukai diri sendiri dalam bayang-bayang kerumitan? Sebab ‘melawan’ dengan spektrum yang luas rasa-rasanya tidak mungkin. Seperti semut melawan hujan.

Dulu, kita menghabiskan masa kecil tanpa tahu arti menjadi kanak-kanak. Kita bermain tanpa berpikir apakah itu akan menyenangkan atau tidak dan menangis tanpa berpikir apakah itu memalukan atau tidak. Kelak, kita diminta menjadi dewasa. Kita pun berusaha memenuhi permintaan itu. Bekerja tanpa berpikir itu menyenangkan atau tidak.

Mengumpulkan uang tanpa berpikir itu berguna atau tidak. Dan berusaha tetap hidup tanpa berpikir kehidupan itu layak atau tidak. Sedari kecil sampai seperti dewasa, kita dihadapkan pada pilihan-pilihan dikotomis semacam itu, yang kadangkala, tidak benar-benar lahir dari apa yang kita inginkan. Kita memilihnya semata-mata supaya dapat mewujudkan imajinasi kenyamanan yang kita bahkan tidak tahu kenapa kenyamanan mesti seperti itu.

Dengan kenyataan sedemikian kompleks ini, bolehkah kita menyebut ‘melawan’ sejatinya adalah keinginan – (yang terendap) – otentik manusia sejak dia dilahirkan ke dunia? Keinginan yang terendap dan hanya menunggu waktu akan membuncah.

Sebab kita kemungkinan tidak bisa menang melawan dunia yang sekarang, maka cara yang paling sederhana untuk menghadapinya adalah mengalirkan endapan-endapan itu melalui ruang-ruang kecil seperti ke ruang kecil yang kita sebut keluarga (dalam ikatan apapun); yang kelak, mewariskan keinginan otentik itu sampai tiba waktunya keinginan itu diperlihatkan dan menghadapi musuh alaminya: dunia.

Sumber: kalikata.id

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image