Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Anisa putri febriyanti

Tambahan Pelunasan Utang Karena Ta'widh dalam Ekonomi Syariah apakah Termasuk Riba?

Ekonomi Syariah | Wednesday, 07 Dec 2022, 00:57 WIB

Menurut Pendapat Abu Yusuf dan pendapat syadz dari Malikiyyah yang membolehkan tambahan pelunasan utang karena sebab inflasi adalah bahwa prinsip tambahan ini berbeda dengan tambahan yang sifatnya riba. Tambahan pelunasan utang akibat inflasi (ta’widh), dianggap sebagai ganti rugi atas turunnya nilai tukar uang yang diutangkan karena tergerus oleh inflasi.

Sedangkan menurut pendapat ulama klasik dari empat mazhab mengenai hal ini belum diketahui karena pada waktu mereka hidup belum menggunakan uang kertas seperti halnya sekarang. Namun jika diteliti lebih jauh ternyata ada jenis uang yang digunakan dahulu yang karakteristiknya hampir mirip dengan uang kertas yaitu fulus.

Fulus adalah uang logam yang biasanya terbuat dari tembaga. fulus hanya dipakai sebagai uang secondary atau pelengkap dari emas dan perak. pada awalnya fulus memiliki nilai rendah dan hanya digunakan untuk membeli barang-barang murah yang tidak mencapai nilai satu dinar atau dirham.

Kesamaan karakter antara uang kertas dan fulus adalah keduanya sama-sama memiliki nilai ekstrinsik yang lebih besar dari pada nilai intrinsiknya. Di samping itu, keduanya juga mengalami fluktuasi nilai yang signifikan. Sehingga untuk mengetahui sejauh mana pengaruh inflasi uang kertas dalam utang-piutang, lebih dahulu kita telusuri bagaimana para ulama memandang fenomena fluktuasi nilai tukar pada fulus yang berlaku saat itu.

Dalam aturan fiqih, utang tidak boleh ada tambahan, antara yang dipinjam dan yang dikembalikan, jumlah nominalnya harus sama. Utang satu juta harus dibayar satu juta juga tanpa memperhitungkan adanya inflasi. Jika tidak, maka utang itu menjadi riba yang diharamkan.

Tetapi di sisi lain, hal tersebut dianggap tidak adil dan merugikan bagi si pemberi pinjaman. Karena uang satu juta yang dipinjam dua puluh tujuh tahun yang lalu, nilai tukarnya sudah jauh berbeda dengan uang satu juta pada saat dia melunasi. hal ini menjadi masalah yang serius dan menjadi perdebatan panjang di kalangan para ulama, mengingat bahwa fenomena inflasi yang terjadi pada mata uang yang kita gunakan sekarang, tidak terjadi atau paling tidak, terjadi dengan kadar yang minimal pada dinar dan dirham yang digunakan sebagai alat tukar di masa Rasulullah.

Contoh krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998.

Pada tahun tersebut nilai rupiah merosot secara drastis. Di pertengahan tahun 1997 nilai rupiah masih Rp 2.300 per dollar AS, kemudian di awal tahun 1998 turun secara drastis menjadi Rp 17.000 per dollar AS. Itu artinya nilai rupiah turun lebih dari tujuh kali lipat. Dengan kata lain, jika uang satu juta rupiah di tahun 1997 sebelum krisis moneter bisa digunakan untuk membeli tujuh unit komputer, maka setelah terjadi krisis untuk membeli satu unit pun belum tentu cukup.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image