Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syaeful Cahyadi

Literasi dan Kemerdekaan Makna

Eduaksi | 2021-12-11 10:50:18
Ilustrasi Kegiatan Literasi

Beberapa tahun belakangan, istilah literasi naik daun dan menjadi hal populer. Beriring kepopuleran itu, muncul berbagai macam gerakan, kegiatan, dan program. Gerakan literasi, demikian kegiatan-kegiatan itu dikenal. Penyelenggaranya pun beraneka rupa. Mulai dari komunitas anak muda, lembaga swadaya, instansi swasta, hingga instansi pemerintah dari tingkat paling rendah hingga tingkat pusat. Bersamaan dengan itu pula, muncul kelompok pegiat literasi seperti pengelola taman baca, pegiat di komunitas, hingga pengelola satuan kegiatan belajar (SKB).

Dalam berbagai pembicaraan soal literasi, salah satu hal paling sering disinggung adalah rendahnya minat baca Indonesia berdasarkan indeks PISA (programme for international student assessment) tahun 2018. Data itu menunjukkan jika minat baca Indonesia berada di urutan 72 dari 78 negara. Sejatinya, PISA setiap tahun melakukan penilaian terhadap hal itu dan bukan hanya soal literasi semata. Namun, hanya peringkat PISA tahun 2018 saja yang sering diulang-ulang dalam berbagai diskusi hingga pelatihan soal literasi sebagai salah satu alasan tentang kenapa Indonesia harus mengenal literasi.

Salah satu definisi literasi sendiri menurut KBBI adalah kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Dalam konteks gerakan literasi, kegiatan-kegiatan di dalamnya kemudian diarahkan dalam rangka peningkatan minat baca masyarakat Indonesia. Mulai dari anak kecil hingga orang dewasa, mulai dari lingkungan perkotaan hingga pedesaan. Belakangan, melalui program-programnya, pemerintah Indonesia memperkenalkan 6 literasi dasar. literasi baca tulis salah satunya.

Secara bahasa, literasi adalah sebuah istilah serapan dari bahasa Inggris literacy. Agaknya, ini membawa banyak kebingungan baik bagi pelaku kegiatan literasi maupun masyarakat sasaran. Sebagai bahasa serapan, pendengarnya susah mencari imajinasi soal kata ini. Tidak seperti kata ‘pendidikan’ misalnya, yang ketika mendengarnya, orang awam akan teringat dengan bangunan sekolah atau sosok Ki Hadjar Dewantara. Atau, bayangan buku dan pesan WhatsApp, misal, saat orang mendengar kata ‘membaca’.

Kerancuan soal literasi juga bisa dilihat konsep kegiatan di tingkat akar rumput. Untuk disebutkan, kegiatan literasi di masyarakat mempunyai sangat banyak contoh. Taman baca, perpustakaan jalanan, lapak buku, komunitas diskusi, hingga sanggar seni bisa disebut sebagai kegiatan literasi. Seorang kawan bahkan mengatakan, kadang istilah literasi diletakkan dan ditempelkan secara manasuka. Akibatnya, di luar 6 literasi dasar tadi, muncul aneka jenis istilah seperti literasi wisata atau literasi media sosial.

Jika dirunut lebih jauh lagi, aneka kebingungan itu menggambarkan betapa Indonesia sejatinya juga masih bingung dengan konsep literasi yang kini sedang digaung-gaungkan. Berbagai acara dan tajuk soal literasi kebanyakan selalu mengulang narasi pentingnya minat baca. Bahwa membaca adalah jalan keluar dari aneka masalah masyarakat. Petani gagal panen harus membaca supaya tahu teknologi pertanian terkini. Ibu rumah tangga juga harus membaca saat mau menambah penghasilan. Itu semua masih diperkuat lagi dengan gambaran indeks PISA yang diulang-ulang: minat baca kita rendah, kita perlu membaca!

Andai mau menyimpulkan dari berbagai definisi soal literasi, ada satu pembahasan menarik mengenai istilah ini yaitu kemampuan membaca dan menulis untuk bertahan hidup dan menghadapi perubahan. Lantas, dengan narasi berulang soal rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, terdapat sebuah pertanyaan besar. Apakah masyarakat kita memang malas membaca? Pertanyaan di atas sesungguhnya membuat kita semua harus membuka ulang rentang waktu ratusan tahun lamanya. Jauh sebelum literasi naik daun. Jauh sebelum adanya indeks PISA dan kemunculan gerakan membaca. Jauh sebelum Indonesia menggaungkan literasi dalam aneka rupa kegiatannya.

Harus diakui bahwa kultur masyarakat Indonesia sejak masa lalu adalah kultur oral. Pengetahuan, kearifan lokal, dan kisah-kisah lain dituturkan tidak lewat tulisan melainkan lewat budaya tutur. Hal ini juga dipengaruhi dengan sejarah kerajaan-kerajaan kuno di wilayah Indonesia saat budaya tulis-menulis adalah dominasi kelompok ningrat kerajaan. Bisa dikata, Indonesia baru mengenal pendidikan formal modern di awal tahun 1900-an berkat adanya kebijakan politik etis. Namun di masa itupun urusan garis keturunan masih menjadi pertimbangan penting dalam mengakses pendidikan. Tidak semua pribumi bisa menikmati pendidikan.

Jika saja kita percaya indeks PISA 2018 itu, mungkin kita akan membayangkan orang Indonesia sedemikian antipati dengan buku. Apalagi, kerumunan antrian di Indonesia lebih sering diwarnai orang mengobrol. Tidak seperti Jepang misalnya, saat mengantri diisi dengan orang-orang membaca buku. Perpustakaan di sini pun masih jauh dari gambaran tempat publik yang jamak diakses orang umum. Andai saja ada pencanangan darurat literasi oleh UNESCO, bisa dipastikan Indonesia masuk ke dalam salah satu negara dengan kategori darurat.

Namun, mari sejenak lupakan segala predikat kiwari soal literasi. Mari kita kembali ke salah satu definisi literasi di KBBI sebagai kemampuan mengolah informasi untuk kecakapan hidup. Sejatinya, orang-orang Indonesia sudah berliterasi sejak ratusan tahun lalu. Tanpa kemampuan – yang kini disebut literasi – orang Jawa mungkin tidak akan pernah bisa menghasilkan sistem pranata mangsa, perhitungan astromi untuk memudahkan bercocok tanam. Tanpa pembacaan terhadap keadaan alam, orang Jawa juga mungkin tidak akan bisa menemukan konsep rumah tahan gempa bernama joglo.

Hal itu bahkan juga berlaku untuk suku-suku yang dalam kondisi Indonesia sekarang, mungkin, disebut suku primitif. Dari orang-orang di Papua misalnya, kita bisa belajar soal hidup berdampingan dengan rimba raya tanpa merusaknya. Dari suku-suku di pesisir Nusa Tenggara, kita bisa belajar soal konsep kemaritiman masa lalu sehingga manusia dan biota laut tanpa harus merusak kekayaan alam. Atau, contoh bahwa data lawas menunjukkan orang-orang Sulawesi telah mampu berlayar sampai ke Madagaskar di Afrika. Bukankah itu membutuhkan kemampuan membuat kapal nan tangguh, kemampuan astronomi mumpuni, dan kemampuan adapatasi hidup luar biasa.

Mungkin saja kita mengira itu adalah kearifan lokal lain nan begitu kuno. Namun, jika menggunakan definisi literasi sebagai kemampauan membaca, bukankah itu juga bagian dari literasi? Toh, salah satu dari 6 literasi dasar adalah literasi budaya dan kewargaan. Sistem pranata mangsa tentu tidak bisa hadir tanpa kepekaan orang-orang Jawa terhadap alam sekitar. Keberanian para pelaut Sulawesi untuk mengarungi ribuan kilometer samudera juga tidaklah datang tiba-tiba. Tentu saja.

Namun, sayang, hal-hal semacam itu tidak pernah masuk dalam radar ilmu pengetahuan modern. Agaknya, citra bumi belahan timur sebagai wilayah kurang pintar akibat penjajahan masihlah kuat. Dikotomi ilmu pengetahuan akhirnya memenangkan konsep ilmu pengetahuan ala barat – termasuk dalam konsep literasi. Sehingga, kini literasi hadir dalam makna serba soal membaca dan menulis, padahal sejatinya suku-suku kita telah melakukan itu sejak ribuan tahun lalu.

Dengan semua kisah di atas, sepertinya sudah saatnya Indonesia membuat konsep literasinya sendiri. Bukan melulu soal membaca buku, mendirikan perpustakaan, atau menggelontorkan dana milyaran demi seremonial. Lebih jauh lagi, literasi mampu merawat hasil pembacaan nenek moyang kita terhadap alam Indonesia sejak masa lalu. Lebih mendasar lagi, demi menemukan konsep literasi nan merdeka dan sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia.

Apabila Indonesia mampu merumuskan konsep literasinya sendiri, paling tidak akan muncul sebuah pembaruan dalam konsep gerakan literasi dan penerimaan masyarakat terhadapnya. Sehingga, masyarakat tidak lagi diletakkan sebagai obyek dan dituntut membaca, mendirikan perpustakaan, dan terbiasa dengan kata literasi. Lebih jauh lagi, masyarakat dijadikan sebagai sumber nilai-nilai literasi ala Indonesia. Merekalah yang akan menggali, merawat, dan meneruskan konsep literasi sesuai alam sekitar dan kebutuhannya.

Kelak, andai kata itu benar-benar terjadi, mungkin saja kita tetap masuk dalam barisan bawah peringkat gemar membaca menurut survei dari luar negeri. Namun setidaknya, kita bisa lebih santai dalam memaknainya. Toh, kita sudah punya konsep literasi sendiri, ada bayangan di benak masyarakat saat mereka mendengar kata literasi. Tidak lagi abu-abu, tidak melulu soal buku. Saudara-saudara kita di Nusa Tenggara mungkin akan teringat dengan tradisi menangkap paus. Orang-orang Jawa akan ingat dengan penentuan tanggal dalam menebang pohon tertentu. Dan mereka dengan mantap mengatakan jika itu adalah literasi.

Literasi boleh saja hadir sebagai bahasa serapan. Namun, sepertinya sangat mungkin bagi kita menemukan konsep dan penyesuaian tersendiri. Sehingga, negara ini tidak melulu terjajah hal konseptual ala negara lain yang secara sosial-budaya belum dipahami betul kesesuaiannya. Jika bisa begitu, Indonesia akan punya literasi sendiri tanpa menjadi kacang lupa pada sang kulit. Tanpa harus menggusur nilai-nilai lokalitas demi sebuah pengakuan terhadap kebaruan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image