Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Agar Selamat, Kita Harus Berupaya Keras Menapaki Rel-rel Kehidupan

Agama | Wednesday, 30 Nov 2022, 06:02 WIB

Dalam mitologi Yunani kuno di sekitar daerah Epirus, barat laut Yunani terdapat sebuah sungai yang mereka beri nama Akheron. Orang Yunani meyakini, Akheron merupakan salah satu sungai kesedihan dari lima sungai yang berada di dunia bawah, alam yang menurut mereka kasat mata. Roh orang yang meninggal dunia harus melalui sungai ini agar dapat sampai ke dunia bawah. Untuk dapat menyeberanginya mereka harus menaiki sebuah sampan milik Kharon.

Untuk dapat menaiki sampan tersebut tentu saja tidak gratis. Mereka yang rohnya ingin sampai ke Akheron harus membayar dengan kepingan koin perak yang disebut obolos. Karenanya, dalam tradisi mitologi Yunani, orang yang meninggal dunia di mulut jenazahnya selalu diletakkan obolos. Mereka yang tak memiliki obolos tak boleh menyeberangi sungai Akheron. Rela atau tidak, mereka harus menunggu di tepian sungai selama ratusan tahun.

Jalan tol yang berkembang pada saat ini dalam operasionalnya tak jauh berbeda dengan penyeberangan sungai Akheron. Untuk dapat sampai ke daerah tujuan melalui jalan tol, pengemudi harus membayar sejumlah uang di gerbang tol. Jika tidak membayar, jangan harap bisa masuk ke jalan tol. Karena membayar di tempat tersebut jalan berbayar ini disebut tol kependekan dari tax on location alias bayar dahulu di tempat.

Sampai di sana dulu tentang kisah awal jalan tol. Satu hal yang jelas, kini jalan tol telah berkembang pesat hampir di seluruh dunia, termasuk di negara kita. Malahan pada era pemerintahan sekarang ini pemerintah bukan saja membangun jalan tol di darat, namun juga tol laut.

Masih pada era pemerintahan sekarang, kini tengah dikembangkan pula pembangunan jalur kereta api cepat Bandung - Jakarta. Konon kabarnya, jika kereta api cepat ini sudah beroperasi, perjalanan Bandung – Jakarta bisa ditempuh dalam waktu kurang dari satu jam.

Dari perkembangan pembangunan sarana transportasi tersebut terdapat satu hal yang dapat kita jadikan pelajaran, yakni masing-masing kendaraan memiliki jalannya tersendiri. Jalan tol yang mulus dan halus hanya cocok bagi mobil, tidak cocok untuk kereta api.

Seandainya kereta api dipaksa melaju di jalan tol, kendaraan dengan rangkaian gerbong panjang ini pasti masih bisa melaju namun dengan kecepatan yang sangat lambat, bahkan akhirnya mogok. Masihan mendingan jika hanya mogok, bahayanya bisa-bisa terguling.

Apabila kita merenung sejenak, kehidupan kita pada saat ini pun laksana di perjalanan. Kendaraannya tiada lain adalah diri kita sendiri. Jalannya adalah aturan Allah dan Rasul-Nya.

Perjalananan kehidupan kita pun laksana menggunakan kereta api yang harus menapak di atas rel yang tepat, yakni aturan Allah dan Rasul-Nya. Kehidupan kita dapat melaju cepat dan selamat manakala kita tetap berada pada “rel” Allah dan Rasul-Nya.

Janji Rasulullah saw mustahil bohong, umatku tak akan hina, tak akan tersesat, dan dapat hidup selamat manakala memegang teguh ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Jika keluar dari “rel” aturan Allah dan Rasul-Nya, tinggal menunggu waktu kehinaan dan kehancuran.

Kita bisa belajar dari kekalahan umat Islam di perang Uhud. Salah satu faktor penyebab kekalahannya adalah pembangkangan terjadap perintah Rasulullah saw. Sebelum peperangan Uhud berlangsung, Rasulullah saw bermusyawarah dengan para sahabat dalam mengatur strategi peperangan.

Salah satu strateginya adalah menempatkan pasukan pemanah di sebuah bukit. Fungsi penempatan pasukan tersebut selain untuk mengawasi kedatangan musuh, juga untuk melindungi pasukan muslim agar tidak terdesak. Rasullah saw memerintahkan kepada pasukan pemanah, apapun kondisi peperangan, kalah atau menang, pasukan pemanah jangan berpindah tempat.

Peperangan pun berlangsung sengit. Pada awalnya umat Islam dapat memukul mundur pasukan musuh. Mereka pun mundur dengan meninggalkan senjata dan bekal peperangan yang menjadi ghanimah (harta rampasan perang) bagi umat Islam. Para prajurit Islam merasa gembira dan segera mengumpulkan ghanimah yang kelak akan dibagikan secara proporsional.

Pasukan pemanah yang ada di atas bukit tertarik untuk ikut mengumpulkan ghanimah. Tak sedikit diantara pasukan pemanah yang memiliki perasaan takut tak kebagian. Semuanya turun ikut mengumpulkannya. Mereka lupa akan perintah Rasulullah saw bahwa mereka tak boleh meninggalkan posisinya.

Ketika prajurit muslim tengah sibuk dengan ghanimah, pasukan musuh berputar balik menyerang kaum muslimin. Jalan mereka berputar yang kedatangannya berada tepat di belakang pasukan muslim yang sedang sibuk dengan pengumpulan ghanimah. Dengan leluasa pasukan musuh dapat memporakporandakan pasukan muslim. Rasulullah saw sendiri terkena lemparan batu sampai beberapa gigi depannya hampir tanggal. Singkat cerita umat Islam menderita kekalahan pada peperangan Uhud.

Usai perang banyak para sahabat yang mempertanyakan kekalahan tersebut. Menjawab atas pertanyaan tersebut, Allah menurunkan firman-Nya sebagaimana tercantum dalam surat Ali Imran : 165. “Apakah ketika kamu ditimpa musibah (kekalahan pada Perang Uhud), padahal kamu telah memperoleh (kenikmatan) dua kali lipatnya (pada Perang Badar), kamu berkata, ‘Dari mana datangnya (kekalahan) ini?’ Katakanlah, ‘Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.’ Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”

Sedikit mundur ke umat yang lainnya, yakni umat Nabi Musa a.s. Mereka diselamatkan Allah tatkala mereka mentaati perintah Allah dan Nabi Musa a.s. Ketika nyawa mereka sudah berada di ujung senjata para tentara Fir’aun yang mengejarnya seraya mereka tak memiliki jalan untuk menghindar karena sudah ada di pinggir pantai, Allah membelah laut menjadi jalan besar bagi penyeberangan mereka. Sebaliknya, tatkala mereka membangkang terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya, salah satunya mereka menolak untuk beribadah pada hari Sabtu, mereka dihinakan Allah. Kehidupan mereka terlunta-lunta, tersesat di padang pasir.

Jika musibah, lara, dan berbagai kesulitan hidup menimpa kita pada saat ini, janganlah kita menyalahkan Allah. Marilah kita merenung, jangan-jangan kita sering membangkang terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya. Kita dibiarkan Allah “terlunta-lunta” di padang musibah dan kelaraan sampai kita kembali kepada jalan Allah dan Rasul-Nya.

Kehidupan kita laksana kendaraan, kita harus melaju di jalan yang tepat. Mari kita merenung, jangan-jangan jalan kehidupan kita pada saat ini laksana kereta api yang melaju di atas jalan tol, tak dapat melaju kencang, dan akhirnya mogok malah bisa-bisa terguling, celaka. Mari kita belajar meyakinkan, Allah pasti menjamin kebahagiaan manakala kita berjuang menepati dan melaksanakan aturan Allah dan Rasul-Nya.

Jalaluddin Rumi, seorang ulama sufi, dalam salah satu sya’irnya mengatakan, “Ketika Bani Israil taat kepada Nabi Musa, dibukakan jalan-jalan untuk mereka, bahkan lautan terbelah hingga mereka dapat melaluinya. Ketika mereka mulai menentang, mereka jadi terlunta-lunta, bertahun-tahun tersesat di padang pasir.”

Ilustrasi : rel (sumber gambar : republika.co.id)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image