Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Asman

Otoritas Agama dan Kemanusiaan

Agama | Monday, 14 Nov 2022, 19:55 WIB

Diskursus mengenai otoritas keagamaan dan persoalan kemanusiaan sering kali menjadi pembahasan yang menarik. Pasalnya, bagi Sebagian yang menganut aliran pemikiran pluralism memandang agama memiliki sifat inkonsistensi dalam menjujung nilai kemanusiaan.

Hal demikian terkhusus dalam persoalan otoritas keagamaan yang sering menjadikan dalil Al-Quran sebagai alat untuk menguasai manusia lainnya. Banyak hal yang sering di bicarakan oleh mereka yang menganut paham pluralism, termasuk bagaimana hubungan beragama, gender, merasa paling benar dan sebagainya.

Pada dasarnya, agama merupakan separangkat aturan yang di junjung tinggi oleh penganutnya untuk dijadikan sebagai pandangan hidup. Agama merupakan jalan menuju untuk mendapatkan keberkahan dari Tuhan.

Sehingga yang terjadi, agama akan selalu mengatur penganutnya (jamaahnya) agar senantiasa taat dan patuh terhadap aturan agama. jika tidak patuh dan taat, maka ada ganjaran yang akan di dapatkan oleh seorang yang melanggar.

Otoritas agama adalah aturan atau kewenangan untuk bertindak mengenai agama sehingga penganutnya atau orang dapat mengikuti anjuran dari agama. dalam pemahaman yang ada,

Penulis mendefiniskan otoritas agama ini memiliki pemengang otoritas yaitu kiyai, pastor, ustad, ulama dan lain-lain dan mereka yang memahami ajaran agama secara utuh. Fatwa-fatwa yang sering di keluarkan tentunya bersifat mengikat, dan apabila tidak dikerjakan maka akan mendapatkan ganjaran.

Dari pandangan tersebut, agama sering dikatakan subjektif dalam memandang sesuatu peristiwa. Otoritas agama, sering kali menjadi sumber pertikaian antar pemeluk agama lainnya dikarenakan penafsiran yang kaku.

Kita bisa melihat sejarah Panjang bangs aini, yang telah berkali-kali merasakan konflik yang mengatasnamakan kebenaran agama.

Prof Kuntowijoyo mengatakan ada strukturalisme transcendental. Menurutnya kitab suci semua agama merupakan ajaran transcendental karena berasal dari yang transenden,

Begitupun wahyu dan kitab suci merupakan dari maha transenden. Kitab suci dan agama merupakan struktur sehingga tidak ada agama atau kitab suci yang lebih tinggi dari yang lainnya (Kuntowijoyo, Maklumat Sastra Profetik, 2019, hal 3).

Apa yang disampaikan Prof Kuntowijoyo mencoba memberikan pencerahan bahwa tidak ada pertentangan yang bersifat fundamental sebab pada dasarnya Al-Quran mengajarkan kalimahsawa (titik temu) meskipun ada perbedaan.

Kebenaran tentunya bersifat relative, siapa saja punya kebenaran menurutnya masing-masing. Sebagaimana yang dikatakan oleh Quraish Shihab bahwa seseorang yang menemukan kebenaran sejatinya ia telah menemukan Sebagian kebenaran yang hilang.

Hal demikan sebagaimana yang terjadi kepada Farag Fouda, karena mengkritisi otoritas agama di Mesir maka ia mendaptkan perlakuan yang tidak manusiawi.

Inilah kemudian yang menjadi persoalan, seakan-akan agama itu tidak pro dengan nilai kemanusiaan. Benarkah selama ini, otoritas agama telah menjadi biang kerok terjadinya pergesekan baik perbedaan secara aqidah, muamalah, dan sebagainya.?

Agama sebagai Keyakinan

Agama selalu memberikan doktrin kebenaran, sehingga doktrin kebenaran jika di pengang oleh mereka yang fanatic maka akan menjadi momok yang menakutkan. Otoritas agama, memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan beragama.

Maka agama harus menjadi sebuh keyakinan yang utuh dalam setiap diri manusia, atas agama yang di anutnya bukan kebenaran yang bersifat doktrin.

Yang menjadi penting ialah bagaimana internalisasi nilai-nilai agama yang tidak bertentangan dengan nilai universal agama dalam kehidupan manusia. Keuniversalan agamalah yang kemudian memberikan cita-cita mulia untuk selalu menjadikan agama sebagai alat untuk membebaskan manusia dari dehumanisasi dan deliberasi.

Sebgaimana yang dikatakan oleh Ali Syariati bahwa agama menyebut orang-orang yang memiliki kepeduliaan terhadap kehidupan sosial sebagai seorang yang ulil albab kaum yang tercerahkan.

Konsekensi sebagai kaum yang tercerahkan, keberadaannya harus benar-benar bermanfaat bagi agama dan seluruh kehidupan manusia.

Jika kesadaran ini ada, maka otoritas dalam sebuah agama tidak akan lagi menajdi sebagai alat untuk membenarkan kekeliriuan yang terjadi.

Sejatinya tafsir terhadap agama, yang dilakukan oleh Sebagian orang tidak boleh dianggap sebagai kebenaran tunggal, dan tidak mau menerima penafsiran lainnya. Apalagi untuk mempertahankan penafsiran tunggal itu, pertikaian dan pertumpahan darah terjadi.

Karena sejak Nabi hadir ia mengayomi banyak kalangan bahkan mempersaudarakan kabilah-kabilah yang sering bertentangan.

Hal inilah yang kemudian perlu kita taladani, bagaimana Nabi menjunjung nilai kemanusiaan. Yang maka yang dibutuhkan oleh kita semua, sebagai manusia yang beragama ialah.

Pertama perlunya kesadaran kolektif dalam memahami ajaran agama yang hanif, menjadikan agama sebagai moralitas kehidupan. Kedua adanya kesadaran profetik menjadikan perbuatan Nabi sebagai perbuatan kita dalam proses beragama.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image