Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Trimanto B. Ngaderi

Orang Batak di Seputaran Kasus Ferdy Sambo

Kabar | Monday, 14 Nov 2022, 13:38 WIB

ORANG BATAK DI SEPUTARAN KASUS FERDY SAMBO

“Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!” atau "Horas Tondi Matogu, Pir Ma Tondi Madingin!" (Toba);

“Njuah-juah Mo Banta Karina!” (Pakpak/Dairi);

“Mejuah-juah Kita Krina!” (Karo);

“Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!” (Simalungun);

“Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!” (Mandailing-Angkola).

Sumber gambar: https://Pojoksatu.id

Petikan di atas adalah ungkapan salam khas subetnis Batak. Sedangkan yang kita kenal selama ini hanya kata “Horas” saja.

Dalam kasus Ferdy Sambo yang menjadi korban adalah Brigadir Nofriansyah Joshua Hutabarat yang berasal dari keluarga orang Batak. Orang Batak menganut sistem patrilineal, sehingga seorang anak mengikuti nama marga dari ayahnya. Kebetulan Joshua berdarah murni etnis Batak, karena kedua orangnya sama-sama orang Batak.

Selain keluarga korban adalah orang Batak, para kuasa hukum dan pengacara korban pun orang Batak juga. Para pakar dan ahli yang diwawancara di beberapa stasiun televisi, banyak pula yang beretnis Batak. Termasuk pengacara dari pihak Sambo-Putri pun ada yang bermarga Batak.

Dalam tulisan ini, saya akan menyampaikan sedikit mengenai hal-ihwal etnis Batak. Secara umum etnis Batak terdiri dari 5 subetnis, yaitu: Toba, Pakpak-Dairi, Karo, Simalungun, dan Mandailing-Angkola. Walaupun berasal dari nenek-moyang yang sama, masing-masing subetnis memiliki bahasa dan dialek yang berbeda.

Suku-suku Batak mendiami wilayah Provinsi Sumatera Utara terutama di kawasan pesisir barat dan kawasan dataran tinggi yang meliputi 15 kabupaten/kota. Berdasarkan agama yang dianut, suku Batak di bagian utara mayoritas menganut agama Kristen, sedang di bagian selatan mayoritas menganut agama Islam.

Adapun marga-marga tercatat sebanyak 479 marga. Terjadinya begitu banyak marga salah satunya disebabkan oleh konflik atau perpecahan keluarga, sehingga sebagian dari mereka memisahkan diri dan membentuk marga baru. Dalam hal perkawinan, ada larangan tidak boleh menikah dengan marga yang sama. Apabila lelaki Batak menikah dengan perempuan non-Batak, anak-anak mereka tetap memiliki marga. Sebaliknya, perempuan Batak yang menikah dengan laki-laki non-Batak, anak-anak mereka tak memiliki marga.

Isteri saya yang pertama berasal dari suku Batak juga (dia sudah meninggal). Berasal dari Kabupaten Mandailing Natal (Madina) dan bermarga Rangkuti. Ibunya bermarga Batubara. Di Kabupaten Madina ini mayoritas penduduknya beragama Islam. Di daerah ini marga terbesar adalah Nasution. Saya pernah berkunjung ke daerah ini sebanyak tiga kali. Sedikit-banyak saya mengetahui bahasa, adat-istiadat, tradisi, filosifi, maupun mata pencaharian mereka.

Ada satu hal bahwa mereka kurang berkenan disebut sebagai “orang Batak”. Mereka lebih senang disebut orang Mandailing atau orang Tapanuli Selatan. Hal ini terkait masalah perbedaan agama. Menurut mereka, Batak identik dengan Kristen. Walau pada kenyataannya, saat ini sudah banyak orang Batak Toba dan sekitarnya (dari bagian utara) yang menganut agama Islam. Baik karena konversi atas kemauan sendiri, perkawinan, maupun memang nenek-moyang mereka dari dulunya sudah beragama Islam.

Mate Bonggol dan Tradisi Mangandung

Menurut pandangan hidup masyarakat Batak Toba, kematian Brigadir J termasuk “mate bonggol”, yaitu kematian seorang yang sudah dewasa namun belum menikah. Kematian ini tentu akan membawa kesedihan yang mendalam bagi kedua orang tua dan keluarga besar lainnya. Terlebih kematian Joshua bukanlah kematian biasa (alamiah), melainkan kematian yang sangat tragis akibat pembunuhan berencana oleh sekelompok orang.

Selain itu, mereka juga memiliki tradisi “mangandung” atau "Andung-andung", yaitu sebuah ekspresi kesedihan berisi semua kesan maupun kenangan terhadap orang yang meninggal. Atau dalam arti lain, mangandung adalah tangisan yang berbicara. Untuk melakukan mangandung, setiap orang harus wajah si mayit secara langsung.

Oleh karena itu, ketika jenazah Brigadir J tiba di Jambi, kedua orang tua maupun keluarga lainnya tentu ingin melihat jenazah Joshua secara langsung dengan cara membuka peti jenazah. Walaupun sempat dilarang untuk membuka, namun mereka tetap ngotot dan memaksa agar peti jenazah dibuka.

Dengan berhasilnya peti jenazah dibuka, akhirnya tabir misteri kematian Brigadir J sedikit demi sedikit mulai terkuak.

Saya tidak bisa membayangkan seandainya korban Sambo adalah orang Jawa misalnya. Dikasih tahu agar tidak membuka peti dan menurut saja, tentu kasus pembunuhan berencana itu akan terkubur selamanya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image