Horor Halloween Itaewon
Gaya Hidup | 2022-11-04 06:14:00Malam tanggal 29 Oktober berubah menjadi malam yang mengerikan di distrik Itaewon, Korea Selatan. Perayaan Halloween ini menjadi yang pertama digelar di Seoul dalam tiga tahun terakhir setelah Korea Selatan mencabut banyak pembatasan virus corona. Kerumunan besar memadati gang sempit sehingga saling berdesakan hingga 150 lebih orang meninggal dunia. Benar-benar mengerikan.
Sikap Pemerintah Korea
Menghadapi tragedi horor ini, presiden Korea Selatan, Yoon Suk-yeol mengumumkan masa berkabung nasional selama sepekan sejak Ahad, 30 Oktober 2022. Bukan tanpa alasan, presiden beranggapan tragedi ini harusnya tidak terjadi. Apalagi begitu banyak korban yang jatuh. Dilansir dari Republika.co.id (31/10/2022), setidaknya ada 154 orang tewas termasuk diantaranya 26 orang warga asing. 33 orang lainnya dalam keadaan serius dan 116 lainnya luka ringan.
Kritikan pun dilayangkan pada pihak kepolisian karena dianggap telah lalai mencegah tragedi horor Itaewon. Kepala Biro Manajemen Ketertiban Umum Badan Kepolisian Nasional Hong Ki-hyun mengakui pihaknya tidak memperkirakan insiden tersebut akan menelan jumlah korban yang besar. Karena menurut pengamatan pihak kepolisian disana, kerumunan dalam perayaan Halloween tahun ini mirip dengan beberapa tahun sebelumnya atau sedikit lebih besar.
Kepolisian mengakui tidak ada tindakan sendiri terkait penertiban massa di gang sempit, tidak ada pedoman polisi untuk situasi di mana kerumunan besar berkumpul tanpa penyelenggara yang jelas seperti Halloween di Itaewon.
Dilansir dari Republika.co.id (2/11/2022), Menteri Dalam Negeri Korea Selatan, Lee Sang-min pada Selasa (1/11/2022) meminta maaf atas tragedi ini. Ia mengakui bahwa negara memikul tanggung jawab atas keselamatan orang. Penyelidikan masih terus dilakukan, namun yang pasti duka mendalam sudah dirasakan oleh Korea, juga dunia termasuk Indonesia. Sebagaimana pemerintah Indonesia mengucapkan dukanya dengan kalimat, "Indonesia berkabung bersama Korea Selatan atas tragedi itu dan mendoakan yang terbaik untuk mereka yang ditinggalkan keluarga tercinta."
Tragedi Kanjuruhan
Lain Itaewon, lain Kanjuruhan. Ya, tragedi Itaewon ini mengingatkan saya pada tragedi Kanjuruhan. Tragedi yang terjadi di bulan Oktober tahun 2022. Keduanya memakan korban yang cukup banyak, lebih dari seratus. Jatuhnya korban pada kedua tragedi ini pun sama-sama karena gagal nafas, henti jantung.
Walau sama, tapi tentu saja berbeda. Jika di Korea sana kita saksikan pihak kepolisian mengakui kelalaian dan meminta maaf. Di Indonesia, kita lihat kepolisian Malang sujud meminta maaf tapi tetap tidak merasa bersalah telah menembakkan gas air mata. Semua pihak sibuk saling tuding, saling menyalahkan. Sedih.
Lebih sedih lagi saat pemerintah terlihat lebih peduli dengan tragedi di luar negeri daripada negerinya sendiri. Walau benar ada santunan bagi korban Kanjuruhan tapi tidak ada pernyataan seperti yang disampaikan pada pihak Korea, "Pemerintah bersama korban Kanjuruhan."
Mungkin hal ini terlihat sepele. Tapi, siapa yang tidak setuju jika kata-kata bisa sangat berpengaruh bagi kehidupan, bagi psikologis manusia, termasuk rakyat. Sudah seharusnya, dua tragedi ini jadi pelajaran bagi pemerintah untuk lebih perhatian kepada rakyatnya.
Tragedi saat Party
Tragedi Itaewon terjadi saat rakyat melakukan pesta Halloween. Tragedi Kanjuruhan terjadi saat rakyat melakukan pesta olahraga. Dua-duanya sama-sama pesta. Pesta yang jika mau jujur, tidak memiliki kontribusi bagi pembangunan karakter generasi yang cemerlang dan gemilang.
Di Korea sana, mereka berkumpul atas nama bersenang-senang. Mereka menyanyi, menari, meminum minuman keras. Kehidupan yang glamor, serba bebas, tanpa memiliki tujuan hidup yang jelas.
Indonesia pun ikut terkena gelombang hidup mencari kesenangan dunia. Semua dilakukan demi mendapatkan bahagia ala kapitalisme. Bahagia yang identik dengan harta, popularitas, kesenangan tanpa batas. Hasilnya, mungkin bahagia bisa dirasakan sejenak, tapi setelahnya duka dan derita yang dirasa.
Apalagi mengingat Party bukan ajaran agama kita. Justru di dalamnya banyak mudharat dan maksiat. Sayangnya, pemerintah masih mengijinkannya dilakukan atas nama kebebasan berperilaku.
Peran Kita dan Negara
Bukan mudah melahirkan generasi yang gemilang dan cemerlang. Dari buaian ia dididik hingga tumbuh dewasa dengan tempaan yang benar. Peran orang tua di masa awal kehidupan tentu tak dapat dipungkiri. Setelahnya, ada lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat yang ikut serta menempa.
Semakin dewasa, lingkungan yang mempengaruhinya kian bertambah. Perlu ada peran negara sebagai bentuk tanggung jawab atas generasi. Hal ini ditempuh dengan perumusan kurikulum yang berlandaskan aqidah islam, dilengkapi dengan pengaturan tayangan dan media yang akan memupuk keimanan juga mengkondisikan kesholehan. Tak hanya itu, sistem sanksi yang tegas pun hadir sebagai penjaga jika masih ada yang sengaja bermain dengan kemaksiatan.
Sebagaimana yang terjadi di masa Rasulullah saw. Para pemimpin besar ditempa dengan iman sejak masa mudanya. Seperti sepuluh pemuda yang dijamin masuk surga, hanya tiga diantara mereka yang usianya 30an. Inilah potret pemuda seharusnya, karena potensi besar ada dalam diri mereka. Inilah potret pemerintah yang aware akan tanggungjawabnya mempersiapkan generasi penerus. Inilah islam yang pernah diterapkan sebagai sistem kehidupan di masa Rasul, para sahabat hingga 13 abad lamanya.
Wallahua'lam bish shawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.