Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Marsella

Kehidupan Sosial, Strata Sosial, dan Gerakan Sosial serta Panti Sosial di Timur Tengah

Pendidikan dan Literasi | Thursday, 03 Nov 2022, 09:43 WIB

A. KEHIDUPAN SOSIAL PRA ISLAM DAN MASA ISLAM

Tipologi Penduduk Bangsa Arab Sebelum Islam

Jazirah Arab yang menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya Islam, dahulunya merupakan suatu wilayah yang terdiri banyak kabilah yang gemar berperang. Keadaan ini dapat dijelaskan berdasar keadaan geografi yang membentuk karakter masyarakat kabilah di Arabia. Syalabi membagi bangsa Arab ke dalam dua bagian penting, pertama penduduk gurun pasir, kedua penduduk negeri.

1. Penduduk Gurun Pasir

· Bagian tengah Jazirah Arab seperti di wilayah Najed (Kaum Badui)

· Hidup secara nomaden

· Berani, bebas, kuat

· Hidup sederhana dan membatasi kebutuhannya hanya pada hal makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kebiasaan

· Nasab dan bahasa arabnya masih murni

· Pergaulan sosial yang baik

· Setia kepada kawan, mampu menepati janji, dan mempunyai tabiat yang jujur dan lugas - Hubungan ashabiyah mereka lebih kuat karena di dasari hubungan asahbiyah kekeluargaan dan kekerabatan

· Karena dipenuhi dengan tantangan, keprihatinan, dan jauh dari kemewahan, mereka lebih dapat mengontrol nafsu syahwatnya terhadap dunia

2. Penduduk Negeri

· Di Jazirah Arab pinggiran atau di beberapa bagian selatan seperti Bahrain, Oman, Mahrah, Hadramaut, Yaman, dan Hijaz

· Hidup secara menetap dan membentuk kota-kota

· Ikatan ashabiyah mereka tidak terlalu kuat karena tidak sepenuhnya didasari atas asas kekeluargaan

· Sering melakukan interaksi sosial, politik, ekonomi, dan budaya dengan bangsa luar sehingga berakibat pada ramainya pelabuhan-pelabuhan yang mereka miliki

· Mereka mudah dikotori oleh kejahatan dan perbuatan tercela - Kehidupan yang stabil dan mapan, membuat mereka sering terjerumus ke dalam nafsu syahwat keduniawian

· Adanya percampuran budaya berakibat pada perubahan bahasa, budaya, perilaku sosial, dan keturunan penduduk negeri sehingga tidak murni lagi

Kedudukan Wanita pada Masa Jahiliyah

Bangsa Arab jahiliyah menerima kehadiran wanita dengan dua cara yang berbeda.

· Mayoritas mereka menguburkan anak wanitanya hidup-hidup sebab seiring dengan itu mereka beranggapan terkubur jugalah segala aib yang menimpa dirinya

· Tradisi lainnya, yaitu dengan tetap memelihara anak itu, namun dilakukannya secara tidak adil dan jauh dari nilai-nilai insaniyah (kemanusiaan).

Nasib para isteri pada masa Arab jahiliyah tidak ubahnya seperti harta benda, yang juga dapat diwariskan. Al-Bukhari menceritakan bahwa bila seorang laki-laki (suami) meninggal dunia, maka anak laki-lakinya mempunyai hak penuh atas ibu mereka (isteri laki-laki yang meninggal). Salah seorang anaknya mungkin justru menikahinya, bila dia (wanita itu) mau. Atau dapat juga mereka menikahkannya dengan laki-laki yang mereka sukai. Mereka bahkan mungkin mencegahnya untuk menikah lagi. Apabil ia hendak menikah lagi, maka harus membayar sejumlah uang kepada mereka.

Kedudukan Perempuan Setelah Datangnya Islam

Islam datang dengan keadilan dan persamaan antara lelaki dan perempuan serta menghormati harkat dan martabatnya. Dengan itu, Islam memperluas ruang peran dan memenuhi hak-hak perempuan secara sempurna, menghargai kemanusiaan, keuliaan dan derajatnya, mengakui keterlibatannya bersama lelaki di segala bidang pekerjaan dan tugas-tugasnya, kecuali pekerjaan dan tugas-tugas yang tidak sesuai dengan harkat dan kodratnya sebagai perempuan. Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 1 yang artinya :

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya, dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”. (Q.S. An-Nisa / 4:1).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa manusia laki- laki dan perempuan itu asalnya dari satu nafs. Perkembangan manusia sampai saat ini asalnya dari Allah SWT. Hakikat kemanusiaan laki-laki dan perempuan adalah sama. Laki-laki dikaruniai pikiran dan hati, begitu pula dengan perempuan. Tidak ada keterangan satu pun yang menyatakan bahwa perempuan itu berjiwa separuh dari laki-laki. Hal tersebut juga dijelaskan oleh Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang artinya:

“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu”. Ayat-ayat tersebut dengan jelas dan terperinci menerangkan kepada manusia, laki-laki dan perempuan yang bertakwa kepada Allah untuk memperoleh ampunan dan pahala. Allah tidak membedakan hamba-Nya berdaqwakan jenis kelamin untuk memperoleh kedudukan yang mulia disisi-Nya

Ashabiyah

Ashabiyah berasal dari kata ashab yang berarti hubungan dan kata ishab yang berarti ikatan. Ashabiyah mempunyai 5 bentuk antara lain:

· Hubungan kekerabatan dan keturunan, ini adalah ashabiyah paling kuat.

· Persekutuan yang terjadi karena keluarnya seseorang dari garis keturunannya ke garis keturunan orang lain.

· Kesetiaan yang terjadi karena peralihan dari satu garis keturunan dan kekerabatan ke keturunan lain karena kondisi sosial.

· Penggabungan yaitu larinya seseorang dari keluarga dan kabilahnya dan bergabung pada keluarga dan kabilah lain.

· Perbudakan yang timbul dari hubungan antara para budak dan kaum mawāli dengan majikan-majikan mereka

Ashabiyah di satu sisi mempunyai makna positif bagi peradaban yang menunjukkan persatuan dan persaudaraan. Hal inilah yang mendorong terciptanya keadilan sosial dan membangkitkan semangat memajukan peradaban. Namun sisi negatif dari ashabiyah adalah fanatisme yang berlebihan tanpa melihat kebenaran dan membutakan mereka terhadap nilainilai dan moral baik keagamaan. Mereka biasanya sesuka hati melawan suku-suku lain tanpa berlandaskan agama, bahkan dalam al-Fatwa al-Khairiyyah persaksian atas dasar ashabiyah karena seseorang membenci orang lain dan orang tersebut masuk dalam kelompok A atau B tidak akan diterima dan di haramkan.8 Setelah adanya Islam, peran ashabiyah masih terbilang terlihat jelas. Kekuatan ashabiyah secara umum telah membantu Nabi SAW untuk menyebarkan Islam di Arab. Nabi saw. dan Islam telah memperkuat solidaritas sosial antar masing-masing kelompok ashabiyah dan juga mempersatukan kelompok kabilah yang bertentangan di Jazirah Arab di bawah payung agama Islam

B. KASTA SOSIAL

Fase-Fase Tentang Pertentangan Kesetaraan Sosial:

Fase pertama, yaitu masa Khalifah Umar bin Khattab dalam hal pembagian ghanimah. Berlanjut pada masa Khalifah Uṡmān bin Affān saat penunjukkan pejabat penting di pemerintahannya yang dianggap oleh beberapa ahli sebagai sikap nepotis, meskipun ada beberapa ahli yang menyebutkan sikap Uṡmān sebagai sikap yang wajar dan proporsional.

Fase kedua, saat terjadinya perpecahan umat Islam pada masa Khalifah ‘Alī bin Abī Ṭālib, yang nantinya menjadikan umat Islam terpecah dalam beberapa kelompok besar.

Fase ketiga yaitu sebagai fase puncak perpecahan, adalah pada masa Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, di mana mereka saling klaim sebagai keturunan atau kabilah yang paling berhak menjabat sebagai khalifah. Oleh karenanya kesuksesan Nabi saw. dalam berkuasa dan berdaulat atas nama Islam, secara sosial dan politik membuat hubungan kekeluargaan dengan Nabi saw. dianggap sebagai ukuran kemuliaan. Hal ini pun masih bisa kita rasakan sampai sekarang, seperti di Indonesia.

Pembagian Strata Sosial Di Zaman Kekhalifahan Umayyah

1. Strata Muslim

a. Orang Muslim Arab

Menempatkan orang-orang arab di bagian inti pemerintahan seperti kekhalifahan, para wali, pasukan, aristokrat, ulama

b. Mawali (Orang muslim non arab)

Terdiri dari orang-orang Persia, Turki, Barbar dan Ras lain, mereka harus mengikuti kepentingan para pemimpin mereka yaitu kecintaan pada golongan dan ras

c. Budak

Banyak dipekerjakan dalam bidang kesenian dan sastra seperti musik, tarian, gambar dan syair

d. Badui yang tinggal di sahara

Orang-orang badui dikenal bodoh dan tidak bisa membaca-menulis. Mereka adalah strata terakhir di bani umayyah. Mereka memiliki bahasa arab paling fashih dan paling bagus waktu itu. Nabi juga pernah hidup bersama orang badui hingga bahasa nabi juga sangat bagus. Termasuk imam syafii.

2. Strata Non Muslim Atau Dzimmi

Pembagian non muslim ini terdiri dari orang kristen, Yahudi dan majusi serta agama lain. Pada masa bani umayyah masyarakat muslim dan non muslim hidup berdampingan tanpa masalah. Mereka saling hidup dengan toleransi yang tinggi. Dan ini juga disebabkan karena banyaknya negara asing yang dibebaskan oleh muslim. Pada masa dinasti umayyah terdapat strata sosial di masyarakat. Dan strata ini akhirnya menjadi senjata makan tuan yang akhirnya memperburuk keemasan dinasti umayyah sendiri dan akhirnya runtuh.

Secara istilah, dzimmi (bahasa Arab: ذمي ,majemuk: الذمة أهل ,ahlul dzimmah, "orang-orang dzimmah") adalah orang non-Muslim merdeka yang hidup dalam negara Islam yang, sebagai balasan karena membayar pajak perorangan, menerima perlindungan dan keamanan. Hukum mengenai dzimmi berlaku di sebuah negara yang menjalankan Syariah Islam. Kata dzimmi sendiri berarti "perlindungan". Status dzimmi mulai berlaku di daerahdaerah Islam dari Samudera Atlantik hingga India sejak zaman Muhammad pada abad ke-7 hingga zaman modern.

Dari waktu ke waktu, banyak orang dzimmi yang masuk Islam. Kebanyakan dari mereka pindah agama secara sukarela. Menurut Qur'an Surat At Taubah ayat 29,[5] orang-orang dzimmi diharuskan membayar pajak yang disebut jizyah, dan tidak boleh diperangi oleh orang Islam. Orang-orang dzimmi yang membayar jizyah diperbolehkan menjalankan ibadah agama mereka, menerima otonomi komunal, harus dilindungi oleh umat Islam jika ada serangan dari luar, dibebaskan dari wajib militer, dibebaskan dari membayar zakat serta pajak-pajak yang dikenakan pada umat Islam.

Kasta pada Masyarakat Arab

Di dalam masyarakat Arab sendiri terdapat struktur sosial yang berpengaruh penting di bidang sosial politik, yaitu keutamaan Bani Hasyim. Keluarga Bani Hasyim seringkali mendapatkan perlakuan khusus di dalam masyarakat, misalnya mereka diberikan gaji pensiun dan dibebaskan dari pajak sosial (shadaqah), dan berhak atas bagian dari harta rampasan perang (fai atau ghanimah).

Keutamaan keluarga Quraisy masih menjadi perdebatan, terutama dalam bidang politik. Hal ini disebabkan karena setidaknya ada empat Hadits yang menyebutkan keutamaan etnik Quraisy. Di antara Hadits tersebut adalah sebagai berikut:

Artinya:”Para imam di antara kamu sekalian adalah dari golongan Quraisy, karena sesungguhnya mereka itu (akan bertindak) benar terhadap kamu sekalian, dan kalian juga (akan berlaku baik) terhadap mereka yang demikian itu jika kalian menyayangi maka mereka pun menyayangi, jika mereka berjanji ditepati, jika mereka menjalankan hukum mereka adil. Barangsiapa dari mereka yang menyalahi hal ini maka atasnya laknat Allah, malaikat dan seluruh manusia.”

Struktur sosial berdasarkan usia juga menjadi gejala umum masyarakat ketika itu. Yang senior mendapatkan kesempatan lebih utama baru para yunior, dan ukuran senior dan yunior diukur berdasarkan usia, bukannya pertimbangan-pertimbangan lain. Pengecualian terjadi dalam beberapa hal, misalnya dalam suksesi kerajaan, seseorang bisa saja menggantikan ayahnya sebagai penguasa kalau ayahnya meninggal, meskipun umurnya masih muda.

Faktor umur seringkali mendapat pertimbangan khusus bagi seseorang yang akan dipromosikan ke jenjang karier lebih tinggi. Pada masa Nabi SAW, pertimbangan berdasarkan umur mulai banyak diubah digantikan atau ditambahkan dengan syarat lain, hal ini terbukti dengan diangkatnya Usamah Ibn Haritsah, seorang sahabat yunior yang belum berumur 20 tahun, sebagai panglima perang, meskipun pada mulanya ditentang oleh beberapa sahabat senior, karena menyalahi tradisi senioritas dalam tradisi Arab. Akan tetapi prestasi gemilang telah ditunjukkan Usamah, pasukannya berhasil menaklukkan daerah Syam. Atas dasar itu, ia ditunjuk kembali memimpin pasukan ke Palestina. Hanya karena mendadak Nabi SAW menderita sakit dan tak lama setelah itu beliau SAW wafat maka pasukannya tidak jadi berangkat. 33 Nabi Muhammad SAW sejak awal terlihat lebih mengutamakan pertimbangan rasional dan profesional daripada pertimbangan emosional dan tradisional dalam menjalankan misinya. Nabi SAW juga sering mempercayakan sesuatu kepada perempuan yang menurut adat dan tradisi Arab tidak lazim, seperti mempercayakan Rabi’ bint Mu’awwizh34 dan Umm ‘Athiyyah35 sebagai perawat korban yang luka di dalam beberpa peperangan di samping bertugas sebagai juru masak di medan perang.

Masa Mu'awiyah dan Abbasiyah

Pada masa Mu'awiyah dan Abbasiyah faktor Arab dan non-Arab, faktor keturunan (keturunan orang-orang merdeka atau budak), keturunan Quraisy atau bukan, tidak lagi menjadi dominan. Sejumlah besar khalifah kedua dinasti tersebut ibunya berasal dari keturunan budak, non-Arab, non-Quraisy. Ibn Hazm mencatat hal menarik, bahwa di antara dinasti Abbasiyah hanya tiga khalifah putra dari perempuan merdeka (hurrah), Ibu Khalifah Al Mansur, ayah Khalifah Al-Mahdi, namanya Sallamah adalah seorang budak Barbar. Beberapa ibu dari Khalifah Abbasiyah, seperti Khalifah Al-Ma`mun (ke-7) Khalifah Al-Muntasir (ke-11), Khalifah Al-Musta’in (ke-12), Khalifah Al-Muhtadi (ke-14) adalah budak-budak berkebangsaan Romawi, dan ibu Khalifah AlMutawakkil (ke-10) adalah budak dari Turki.

Golongan Kelas Masyarakat Pada Zaman Mesir Kuno

Kehidupan masyarakat Mesir Kuno dalam menjalankan segala kegiatannya terbatas pada tiga kelas sosial, yaitu golongan atas, golongan tengah, dan golongan bawah. Golongan lapisan atas terdiri dari keluarga kerajaan, para bangsawan, dan pendeta. Golongan lapisan tengah terdiri dari saudagar besar, pedagang, tuan tanah, dan pegawai pemerintahan.

Golongan kelas bawah terdiri dari petani, buruh, masyarakat umum, dan budak. Masyarakat yang berada pada golongan kelas bawah dapat dikatakan tidak dapat menikmati sepenuhnya anugerah yang diberikan oleh Sungai Nil. Hampir seluruh harta kekayaan mereka habis digunakan untuk membayar pajak dan pungutan dari pemerintah, bahkan hak-hak mereka pun banyak yang tidak dapat dipenuhi.

Awalnya wilayah Sungai Nil terbagi menjadi dua kerajaan besar yang saling betentangan. Namun pada 3400 SM sampai 3160 SM, seorang penguasa bernama Menes berhasil menyatukan kedua kerajaan tersebut menjadi satu kerajaan besar yang disebut Mesir. Kerajaan Mesir kemudian dipimpin silih berganti oleh raja-raja yang diberi gelar Firaun.

Posisi raja pada pemerintahan Mesir Kuno berada di atas segalanya, dan setiap kebijakannya bersifat mutlak. Masyarakat Mesir Kuno percaya bahwa setiap Firaun yang memimpin mereka adalah dewa keturunan Osiris. Pusat pemerintahan Mesir Kuno berada di Kota Thinis, yang dilpilih karena letaknya yang sangat strategis.

Kondisi Sungai Nil yang sangat subur memungkinkan masyarakat untuk melakukan kegiatan bertani dan berladang tanpa takut kekurangan sumber air. Aliran Sungai Nil memberikan kemudahan untuk para petani mendapatkan pasokan air sepanjang tahun. Pembangunan berbagai saluran irigasi dan waduk penampung air juga turut mengoptimalkan hasil pertanian masyarakat Mesir Kuno.

Persoalan pengaturan air untuk setiap wilayah biasanya dilakukan oleh penguasa tiap daerahnya sendiri secara mandiri. Sebagian besar hasil pertanian masyarakat Mesir Kuno terdiri dari komoditas gandum, jamawut, padi, dan jagung.

Jalannya pemerintahan Mesir mengalami pasang surut setiap periodenya, yang semakin lama semakin mengarah kepada perpecahan antar wilayah. Sampai akhirnya muncul seorang penguasa Mesir pada 2160 SM bernama Raja Sesotrs III berhasil mempersatukan kembali wilayah Mesir. Bahkan diketahui bahwa ia berhasil memperluas wilayah kekuasaan Mesir hingga daerah Palestina dan Sudan.

Namun, terjadi sebuah serangan yang dilakukan oleh bangsa Hykos ke wilayah Mesir, yang akhirnya berhasil menguasai sebagian besar wilayah Mesir. Setelah beratus-ratus tahun dikuasai oleh bangsa Hykos, barulah pada 1500 SM Raja Akmosis berhasil mengalahkan dominasi bangsa Hykos di kawasan Mesir. Tak hanya itu, Raja Akmosis dan raja-raja setelahnya dapat memperluas wilayah kekuasaan Mesir hingga wilayah Syria dan Mesopotamia.

C. GERAKAN SOSIAL

Gerakan Wakaf di Mesir

Di Mesir, wakaf telah berkembang dengan menakjubkan karena memang dikelola secara profesional. Pada awalnya, Hakim Mesir di zaman Hisyam bin Abdul Malik yang bernama Taubah bin Namirlah yang pertama kali melakukan wakaf, yang pada waktu itu berupa tanah untuk bendungan. Lalu, beberapa puluh tahun kemudian, wakaf ditangani oleh salah satu departemen dalam pemerintahan. Meski begitu masih banyak juga masalah yang muncul dalam pengelolaannya, sehingga pemerintah Mesir terus melakukan pengkajian untuk mengembangkan pengelolaan wakaf dengan tetap berlandaskan pada syariat Islam.

Pada masa kekuasaan Muhammad Ali Pasha tahun 1891 M, aset-aset wakaf tidak teratur dan kurang dapat dimanfaatkan secara optimal. Melihat kondisi wakaf yang demikian di Mesir, lalu pemerintah berinisiatif mengatur perwakafan dengan cara membentuk Diwān al Waqf . Badan ini berwenang untuk mengatur dan mengurus harta wakaf serta membuat perencanaan untuk mengelola wakaf secara produktif. Perkembangan berikutnya pada tanggal 20 November 1913 Diwān al Waqf menjadi departemen, sehingga masalah wakaf di Mesir diurus langsung oleh kementerian (wazārat al waqf).

Sampai akhirnya pada tahun 1971, pemerintah Mesir membentuk badan wakaf yang bertugas melakukan kerja sama dalam memeriksa tujuan peraturan-peraturan dan program-program pengembangan wakaf. Badan ini juga bertugas mengusut dan melaksanakan semua pendistribusian wakaf serta semua kegiatan perwakafan agar sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.

Badan ini juga menguasai pengelolaan wakaf dan memiliki wewenang untuk membelanjakan dengan sebaik-baiknya, yang mana pengembangannya sesuai dengan perundang-undangan Mesir. Lebih jauh lagi, badan wakaf tersebut berwenang untuk membuat perencanaan, mendistribusikan hasil wakaf setiap bulan, membangun dan mengembangkan lembaga wakaf, dan membuat laporan serta menginformasikan hasil kerjanya kepada masyarakat.

Gerakan Wakaf di Turki

Sejak abad ke-15, Kesultanan Turki Utsmani (Ottoman) dapat memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah Arab. Kekuasaan politik yang diraih oleh Dinasti Utsmani secara otomatis mempermudah penerapan syariat Islam, di antaranya adalah peraturan tentang wakaf.

Salah satu undang-undang yang dikeluarkan pada masa dinasti Utsmani ialah peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 H. Seperti yang dibahas oleh Solikhul Hadi pada Perkembangan Wakaf dari Tradisi Menuju Regulasi, undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf, dan melembagakan wakaf dalam upaya penertiban administrasi dan perundang-undangan.

Periode Ottoman menunjukkan kecenderungan ke arah kontrol negara terhadap wakaf yang lebih besar, dengan sistem anggaran dan akuntabilitas yang terpusat. Perubahan ini mengalihkan sistem wakaf dari sebuah kumpulan institusi amal yang independen dan saling melengkapi, menjadi sebuah alat kesejahteraan sosial embrional dari sebuah birokrasi pemerintahan. Di tengah-tengah perubahan ini, ada satu ciri yang masih bertahan yaitu wakaf dipandang sebagai sebuah institusi suci yang melayani kebutuhan komunitas muslim dan mendatangkan berkah bagi pemberi, pengelola, dan juga para ahli warisnya.

Ciri religius dari wakaf, terlepas dari apakah tujuannya keagamaan atau duniawi, ditekankan melalui peran yang diberikan kepada qādlī (hakim) agama. Wakaf biasanya dibuat dalam sebuah pernyataan tertulis (waqfiyyah) yang ditandatangani oleh seorang hakim dan terdaftar di pengadilan Islam. Wakif biasanya menunjuk seorang pengelola (mutawalli), untuk mengurus pemeliharaan harta wakaf, pengumpulan uang sewa atau zakat, dan pengalokasian pendapatan.

Khusus untuk wakaf yang besar maka dipekerjakan suatu tim yang terdiri dari sekretaris, penagih uang, dan tukang perbaikan. Mutawalli memegang peranan kunci dalam manajemen wakaf yang baik, dan posisi serta aktivitasnya harus diperkuat atau dimonitor qādlī.

Pada tahun 1287 H dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Warisan undang-undang tersebut masih banyak dipraktikkan oleh negara-negara Arab sampai sekarang.

Gerakan Sedekah di Turki

Di dalam sejarahnya ternyata orang-orang Turki itu sudah dari dulu dermawan. Pada masa Turki Usmani dulu ada sebuah media sadakah yang dikenal dengan nama "Sadaka Taşı" (baca : Sadaka Tasye) artinya "Batu Sedekah".

Kegunaan dari batu tersebut adalah untuk menaruh uang yang ingin kita sedekahkah. Adapun Sadaka taşı ini biasanya terdapat di pojok tempat-tempat ramai seperti masjid dan pasar. Orang Turki biasanya meletakkan uang yang ingin mereka sedekahkan di atas batu ini ketika petang dan orang yang membutuhkan uang pun akan mengambil uang dari Sadaka Taşı ini SECUKUPNYA SAJA sesuai kebutuhannya, dengan begitu orang yang bersedekah pun terhindar dari riya, dan orang yang membutuhkan pun tetap terjaga kehormatannya.

Kata pepatah Turki, "İyilik yap denize at, balık bilmezse Halik (Allah) bilir.” Artinya “Lakukanlah kebaikan, kemudian lemparlah ke laut, mungkin ikan tak akan tahu, tapi Allah pasti tahu”. Jadi, di dalam beramal baik itu kita hendaknya menjauhi riya, dan hanya mengharap pahala dari Allah. Sayangnya, saat ini hanya sedikit sekali Sadaka taşı yang dapat ditemukan, photo di atas hanyalah salah satu dari peninggalan yang masih tersisa, lokasinya di Doğancılar, Üsküdar, İstanbul.

Padahal menurut beberapa pakar sejarah Turki Usmani seperti Prof. Dr. Ziya Kazıcı, di Istanbul saja setidaknya pada masa Turki Usmani dulu pernah ada 173 Sadaka taşı. Belum lagi di kota-kota lainnya seperti Bursa dan Konya yang notabenenya adalah kota besar dan pusat kebudayaan pada masa Turki Usmani. Sungguh ini adalah sebuah bukti keluhuran budi, kejujuran, dan kedermawanan umat Islam, khususnya nenek moyang orang Turki pada waktu itu (masa khilafah Usmaniyah).

D. PANTI SOSIAL

Pemerintah Turki membangun komplek panti asuhan untuk anak-anak pengungsi Suriah. Sebanyak 1.000 anak-anak Suriah mendapat pendidikan dan mendapatkan tempat tinggal yang aman di komplek ini. Terletak di kota Reylili, Turki selatan, dekat perbatasan Suriah, panti asuhan yang didirikan oleh Yayasan Bantuan Kemanusiaan (IHH) dan Yayasan Qatar Sheikh Thani Ibn Abdullah ini akan menampung 990 anak dari 55 rumah yang dibangun.

Proyek yang dimulai pada Juli 2015 dengan bantuan pemerintah Turki itu memiliki tiga sekolah, sebuah masjid, klinik kesehatan, taman bermain dan pusat kebudayaan, kata IHH dalam sebuah pernyataan. Komplek ini dibangun menyerupai sebuah lingkungan kecil, dikelola oleh 400 orang, termasuk perawat, guru, dokter, psikolog dan tukang kebun.

Panti Asuhan Prinkipo

Sebuah panti asuhan yang berdiri pada tahun 1899 di sebuah pulau di luar Istanbul masih tegak berdiri. Bangunan bersejarah yang diketahui bernama Prinkipo itu tidak pernah diizinkan menjadi hotel. Tapi Prinkipo kini terbengkalai dan hampir jadi reruntuhan. Sejumlah pihak pun mendorong Pemerintah Turki untuk mempertahankan dan memelihara Prinkipo.

Arsitek dan dosen Tata Kota Universitas Mimar Sinan Korhan Gomus mengatakan, Prinkipo bangunan berkualitas tinggi. Prinkipo dibangun oleh seorang arsitek ternama pada zaman itu, Alexandre Vallury untuk perusahaan yang terkenal Orient Express. Selama bertahun-tahun Prinkipo digunakan sebagai panti asuhan untuk anak-anak minoritas Yunani.

Panti asuhan tersebut menjadi rumah bagi hampir 6.000 anak Yunani pada 1903 sampai 1964. Panti asuhan ini sempat dipaksa ditutup ketika hubungan antara Turki dengan Yunani memanas kala kedua negara tersebut memperebutkan Pulau Cyprus. Vitleen Magulas yang kini berusia 80 tahun mengenang masa-masa ia tinggal di Prinkipo bersama saudara perempuannya dari tahun 1945 sampai 1951.

Yayasan Qatar “Sheikh Thani bin Abdullah”

Badan Amal Qatar, disebutnya sebagai organisasi sukarela terbesar di negara itu, yang telah bekerja secara luas dengan pihak UNHCR, UNICEF dan Program Pangan Dunia, Oxfam, CARE dan USAID. Sejak didirikan tahun 1984, Badan Amal Qatar dikabarkan telah memberi bantuan 213.750 anak yatim sampai mereka dewasa dan juga telah membangun lebih 621 sekolah di seluruh dunia.

Pada 2014, PBB mencantumkan badan amal itu di tempat pertama karena bantuan yang diberikan pada korban perang di Suriah, Palestina dan Somalia. Sejak dimulainya krisis Suriah lebih enam tahun lalu, Badan Amal Qatar membantu lebih delapan juta warga negara itu.

Yayasan Qatar “Sheikh Thani Bin Abdullah” untuk Layanan Kemanusiaan, telah membangun 14 Masjid baru di seluruh Kenya, sehingga lebih dari 100.000 Muslim Kenya kini dapat memakmurkan Masjid-Masjid tersebut untuk shalat berjamaah dan kegiatan keislaman lainnya.

Proyek pembangunan belasan Masjid ini, menelan biaya sekitar QR 1 juta riyal Qatar . Seluruh biaya pembangunan Masjid-Masjid ini didanai oleh para dermawan dari Qatar melalui sumbangan amal, demikian menurut laporan The Peninsula. Masjid-masjid baru ini tidak hanya akan digunakan untuk sholat tetapi juga untuk perayaan hari besar Islam bagi ribuan umat Islam di negeri ini. Masjid-Masjid baru ini memiliki ukuran yang berbeda, berkisar antara 80 m2 hingga 130 m2. Beberapa Masjid juga memiliki tempat khusus untuk para jamaah perempuan.

Masjid-Masjid baru ini juga dapat digunakan untuk pembelajaran Al-Quran bagi anak-anak Muslim Kenya, baik itu membaca dan menghafal Al-Qur’an, serta ajaran-ajaran dasar tentang Islam. Kegiatan Ceramah rutin dan kegiatan sosial lainnya juga dapat diselenggarakan di fasilitas Masjid-Masjid ini. Untuk diketahui, terdapat sekitar 30 juta Muslim di Kenya, dan mereka mencakup sekitar 30 persen dari total populasi penduduk Kenya.

Sementara itu tidak ada cukup bangunan Masjid untuk mengakomodasi meningkatnya jumlah jamaah Muslim di desa-desa dan kota-kota yang mayoritasnya berpenduduk Muslim. Masjid-masjid yang ada saat ini bangunannya sudah tua dan kurang layak, dan Masjid-Masjid itu dibangun sesuai dengan sumber daya terbatas yang berasal dari warga Muslim. Masjid berukuran besar seperti Masjid Jami ataupun Masjid Agung sangatlah dibutuhkan di kota-kota besar di Kenya dalam rangka penyelenggaraan Khotbah Jumat.

IHH

IHH didirikan pada tahun 1995, sebagian sebagai tanggapan terhadap konflik Bosnia. Menurut Wall Street Journal, laporan intelijen Bosnia 1995 mengungkap bahwa dua orang yang memimpin kantor IHH Sarajevo ini adalah lulusan dari Angkatan Darat Brigade Muslim ke-7 Bosnia, yang juga “merangkap sebagai payung untuk beberapa ratus Mujahiddin asing yang dikenal pada waktu itu karena semangat “jihad” mereka”

Banyak yang menganggap IHH sebagai perpanjangan tangan rezim Erdogan. perwakilan IHH menyebut pekerjaan amal itu sebagai perpanjangan dari kebijakan luar negeri dan pejabat pemerintah senior Turki yang memuji-muji pejabat IHH. IHH begitu dekat dengan pejabat pemerintah senior, hingga pada kenyataannya, media Turki bahkan terbiasa menyebut badan amal itu sebagai “GNCO” (governmental-non-governmental-organization/organisasi pemerintah non pemerintah)

Penulis dan akademisi Andrew McCarthy telah menulis bahwa daftar keanggotaan IHH terdiri dari orang orang partai AKP. (AKP adalah partainya Erdogan yang berkuasa “Partai Keadilan dan Pembangunan). Mantan ketua IHH, Eyup Fatsa, adalah anggota Parlemen AKP. Anak Erdogan sendiri, pada kenyataannya, terlibat dengan IHH. Hal ini disebut-sebut juga menjadi alasan mengapa kemudianterjalin hubungan dekat antara IHH dan AKP.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image