Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image vivi nurwida

Ancaman Nyata Liberalisme di Balik Perayaan Halooween

Agama | Wednesday, 02 Nov 2022, 12:44 WIB

Baru-baru ini dunia dikejutkan dengan berita tewasnya ratusan orang yang menghadiri perayaan Halloween di Itaewon, Korea Selatan. Dikutip dari detik.com, 30/10/2022, tragedi ini bermula saat pengunjung membludak di distrik klub malam Itaewon pada Sabtu (29/10) malam waktu setempat. Mereka datang untuk menikmati perayaan Halloween pertama di Korea Selatan sejak batasan kerumunan dan aturan masker wajah yang diberlakukan akibat pandemi COVID-19 dicabut.

Berdasarkan berita terbaru dari detik.com 1/11/2022, sebanyak 155 orang tewas akibat peristiwa ini. Belum lagi korban hilang dan luka-luka. Tentu, ini adalah peristiwa yang sangat disayangkan karena menyebabkan hilangnya ratusan nyawa pada tempat dan peristiwa yang sama. Terlepas dari bagaimana tanggung jawab pihak-pihak terkait atas peristiwa ini, sudah seharusnya umat Islam mengambil pelajaran berharga.

Apa Itu Halloween?

Menurut Wikepedia, Halloween atau Hallowe'en (kependekan dari All Hallows’ Evening, yang berarti Malam Hari Semua Orang Kudus), yang juga disebut sebagai Allhalloween,All Hallows' Eve, atau All Saints' Eve.Halloween adalah suatu perayaan yang dapat dijumpai di sejumlah negara pada tanggal 31 Oktober, yaitu malam Hari Raya Semua Orang Kudus (All Hallows' Day) di Kekristenan Barat. Perayaan tersebut mengawali peringatan trihari Masa Para Kudus (Allhallowtide), suatu periode dalam tahun liturgi yang didedikasikan untuk mengenang orang yang telah meninggal dunia, termasuk para kudus atau santo/santa (saints, hallows), martir, dan semua arwah umat beriman.

Kegiatan saat Halloween meliputi Trick or treat (atau hal terkait penyamaran dengan kostum seram), menghadiri pesta kostum Halloween, mendekorasi, mengukir waluh menjadi Jack-o'-lantern, menyalakan api unggun besar, permainan ramalan atau penenungan, apple bobbing, bermain lelucon praktis, mengunjungi atraksi berhantu, menceritakan dongeng menakutkan, dan menonton film horor.

Budaya Latah

Berdasarkan pengertian di atas, sudah jelas bahwa perayaan tersebut bukan perayaan umat Islam. Sudah sepatutnya kita memahami secara gamblang maksud dari setiap perbuatan yang hendak kita lakukan. Lantas, layakkah kaum Muslim hari ini justru ikut merayakannya?

Ironinya Arab Saudi sebagai negeri yang terdapat kiblat kaum muslimpun latah mengikuti perayaan ini, di sisi lain momentum maulid nabi justru dilarang. Halloween di Arab Saudi bertajuk ' Scary Weekend' itu digelar di Boulevard Riyadh, pada Kamis hingga Jumat, 27-28 Oktober 2022. ( diberitakan tempo.co, 31/10/2022)

Kejadian memilukan di Korea Selatan rupa-rupanya juga tidak menjadikan pemerintah Indonesia belajar dan melarang perayaan Halloween ini di Indonesia. Beberapa selebritas Indonesia nampak turut serta merayakan momen ini. Bahkan, alih-alih melarang perayaan serupa, justru acara semacam ini dikapitalisasi. Dalam rangka menyambut Halloween, ada berbagai destinasi wisata seram dan membuat merinding yang direkomendasikan (wisata.hits.blog, 26/10/2022).

Ancaman Nyata Liberalisme

Masifnya perayaan halloween berbagai negara, tak terkecuali di negeri-negeri kaum muslim merupakan bentuk keberhasilan penjajahan budaya. Padahal sejatinya, perayaan Halloween tidak ada hubungnnya sama sekali dengan Islam, bahkan berentangan dengan aqidah Islam. Maka, tidak layak bagi seorang muslim masuk dalam perayaan ini dan semisalnya.

Rasulullah Saw bersabda:

Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR Abu Daud dan Ahmad).

Terlebih perayaan ini diindahkan oleh negeri-negeri yang identik dengan Islam. Halal, haram sudah tidak lagi dijadikan standar perbuatan. Inilah taktik yang digunakan barat untuk menjauhkan kaum Muslim dari jati dirinya yang sebenarnya. Mereka dengan masif mengaruskan paham liberalisme ke dalam diri umat, khususnya para pemuda.

Paham kebebasan ini dikemas sedemikian rupa hingga mempesona dan menghipnotis umat dan para pemuda khususnya dengan menjadikannya tren yang layak diikuti. Mulai dari challenge di media sosial, pemutaran film horor, dekorasi, hingga lomba kostum yang bertentangan dengan jati dirinya. Jika mereka tidak mengikuti arus yang ada maka akan dianggap ketinggalan zaman.

Atas nama kebebasan, dan dianggap hanya untuk seru-seruan mereka tanpa beban mengikutinya. Mereka tidak memahami bahwa yang dilakukan adalah terkait dengan keyakinan tertentu. Padahal, sudah seharusnya seorang muslim senantiasa terikat dengan hukum syara’ dan mengetahui apa hukum terkait perbuatan yang hendak ia lakukan.

Saatnya Terapkan Islam

Budaya liberal ala barat yang memberikan racun bernama liberalisme ini adalah karena negara hari ini menerapkan sistem sekularisme. Yang mana, sistem ini telah memisahkan peran agama dari kehidupan. Agama hanya dipakai untuk mengatur aturan ibadah ritual belaka, sedangkan sisi kehidupan yang lain menggunakan aturan buatan manusia.

Hari ini, dengan paham liberalisme sekularisme, negara abai dengan apa-apa yang mengancam aqidah umat. Umat terbiasa hidup atas asas manfaat, asal mereka bahagia dengan standar masing-masing tanpa peduli lagi halal dan haram, tanpa ridho Allah dijadikan tujuan. Padahal sudah seharusnya negara memainkan perannya agar aqidah umat menjadi aqidah yang kuat dan siap mengemban Islam.

Peradaban Islam akan mencapai kegemilangannya manakala syariat Islam diterpakan secara kaffah. Sudah saatnya kita sebagai umat Islam sadar akan penjajahan budaya yang digencarkan oleh barat dan berjuang bersama untuk mengembalikan lagi kehidupan Islam. Sudah seharusnya kitab bisa memetik pelajaran dari peristiwa yang terjadi, menyibukkan diri untuk menyongsong kemenangan Islam, dan mencampakkan paham liberalisme sekularisme.

Wallahu a’lam bisshowab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image