Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Siti Conieta Farren Universitas Airlangga Bah

Penasaran Gimana Cara Orang Jepang Menyambut Tahun Baru? Kepoin Yuk Persiapannya

Gaya Hidup | 2023-11-07 13:10:20

Tepat pada tanggal 31 Desember, terdapat budaya Jepang yang dilakukan setiap tahunnya oleh masyarakat Jepang yang disebut oomisoka (大晦日). Sebelum malam tahun baru datang, masyarakat Jepang melakukan persiapan untuk menyambut malam tahun baru. Persiapan itu biasanya dimulai pada minggu pertama atau minggu kedua di bulan Desember. Hal yang pertama kali dilakukan adalah membersihkan rumah yang disebut osouji (お掃除). Pembersihan ini dilakukan secara besar-besaran. Hal ini dipercaya oleh masyarakat Jepang dapat menghapus kesialan tahun lalu dan tahun yang akan datang.

Tak hanya membersihkan rumah, mereka juga diwajibkan untuk mendekorasi rumah mereka dengan menggunakan pohon pinus atau kadomatsu (門松). Hal ini dilakukan karena masyarakat Jepang menganggap bahwa dewa atau Toshigami-sama akan turun dari surga dan akan menjaga rumah di kedua sisi pintu rumah. Kodamatsu ini merupakan lambang bagi para dewa untuk datang ke rumah dan agar para dewa nantinya tidak tersesat. Tali yang digunakan pada saat ritual Shinto, yaitu tali Shimenawa, dipasang di atas pintu untuk menyambut para dewa. Sajian makanan seperti Kagamimochi (kue beras manis) turut dipersembahkan untuk para dewa yang diletakkan di altar rumah. Dekorasi ini setidaknya harus sudah selesai pada tanggal 28 Desember. Jika dekorasi ini baru mulai dipasang atau belum selesai sebelum tanggal 28 Desember, konon katanya tahun yang akan datang akan penuh dengan kesialan dan kedatangan para dewa tidak akan memberikan berkah yang tulus.

Pada jam 11 malam atau satu jam sebelum malam tahun baru, masyarakat Jepang berkumpul dengan teman atau keluarga untuk makan toshikoshi soba (mie terakhir). Tradisi ini dipercaya masyarakat Jepang karena melambangkan umur panjang dan akan mendatangkan kesehatan. Ada juga tradisi yang bernama Osechi-ryōri (御節料理). Tradisi ini melarang masyarakat Jepang untuk tidak memasak selama tahun baru. Hal ini dikarenakan dewa akan marah jika ada yang menyalakan api. Maka dari itu, di tiga hari pertama setelah tahun baru, masyarakat Jepang dilarang untuk memasak. Masyarakat Jepang biasanya membeli osechi di supermarket dan biasanya akan cepat terjual habis dan harganya pun sangat mahal. Osechi ini disusun atau disajikan di dalam kotak kayu bertingkat yang disebut jūbako (重箱). Terdapat alasan mengapa osechi disajikan di kotak kayu bertingkat. Itu karena osechi dipercaya masyarakat Jepang sebagai lambang keberuntungan yang berlipat-lipat.

Untuk menambah euforia dari oomisoka, Jepang menyiarkan kontes menyanyi merah versus putih yang biasa disebut kouhaku uta gassen (紅白歌合戦). Acara ini berlangsung selama empat setengah jam sampai malam tahun baru tersisa 30 menit lagi. Tim merah beranggotakan perempuan, sedangkan tim putih beranggotakan laki-laki. Kontes ini memperebutkan suara atau atensi publik dan juri tamu untuk mendapatkan kemenangan. Program ini dilaksanakan setiap tahunnya di Jepang. Selain itu, terdapat acara hitung mundur yang digemari oleh kalangan remaja. Lokasi yang biasanya digunakan untuk acara ini, seperti Tokyo Skytree, taman Universal Studio Jepang, dan bahkan ditempat pemandian air panas atau onsen.

Malam tahun baru bukan hanya sekedar tentang kemeriahan dan kesenangan semata, tetapi juga bersifat spiritual bagi masyarakat Jepang. Pada detik-detik terakhir sebelum tanggal 31 Desember berakhir, lonceng kuil dibunyikan secara serempak di wilayah Jepang sebagai tanda berakhirnya satu tahun dan berganti dengan tahun yang baru. Di setiap kuil, sebanyak 108 kali lonceng dibunyikan. Ini disebut joya no kane (除夜の鐘)dalam ritual Budha. Hal ini melambangkan pembersihan kebutuhan duniawi manusia yang menciptakan penderitaan atau keserakahan manusia. Di bunyi terakhir lonceng diiringi dengan harapan untuk semua orang yang mendengarkannya agar tidak terpengaruh oleh keserakahan yang berujung dengan penderitaan untuk di tahun berikutnya.

Di pagi hari awal tahun baru, masyarakat Jepang biasanya mengunjungi tempat ibadah, seperti kuil Shinto atau Budha seiring dengan tradisi hatsumode. Tata cara untuk berdoa adalah dengan cara memasukkan koin ke dalam kotak persembahan terlebih dahulu dan kemudian berdoa. Selain berdoa, mereka akan membakar jimat dan omikuji (kertas ramalan) yang telah mereka dapatkan tahun lalu untuk menghentikan kesialan agak tidak terulang kembali dan membeli jimat yang baru untuk mengusir kesialan. Dan yang terakhir adalah menulis doa di ema (papan kayu yang bisa ditulis doa). Masyarakat Jepang percaya bahwa jika menulis doa dan mengantungkannya di kuil, maka doa mereka akan terwujud.

Tak kalah penting dari tradisi - tradisi sebelumnya, masyarakat Jepang juga mempersiapkan nengajo (年賀状). Nengajo adalah kartu ucapan tahun baru. Nengajo bisa dibuat sendiri atau beli di supermarket terdekat. Nengajo dikirim atau diberikan untuk teman dan keluarga. Pengiriman nengajo dilakukan melalui kantor pos. Kantor pos mulai membuka untuk pengiriman kartu ucapan tahun baru atau nengajo pada tanggal 15 Januari. Kantor pos di jepang memberikan fasilitas khusus dengan menyediakan kotak khusus untuk kartu ucapan tahun baru yang terpisah dengan surat yang lain untuk memudahkan pengiriman.

Dari semua tradisi yang sudah dijelaskan di atas, dipahami bahwa tradisi perayaan tahun baru Jepang ini merupakan tradisi yang kaya akan makna dan tradisi yang mengakar kuat di masyarakat Jepang dari generasi ke generasi. Berkumpulnya keluarga, makan bersama, dan menikmati setiap rangkaian tradisi tahun baru menjadi momen yang hangat untuk mengakhiri tahun. Perayaan ini bukan hanya sekedar untuk kemewahan dan kesenangan semata, tetapi juga sebagai cara masyarakat Jepang untuk menyambut dan menghormati dewa yang akan datang.

Referensi

Hamada, R. (2014). Japanese New Year's eve. Manuscripts and Folklife Archives, 3.

Nuswantoro, D. (2023). The Analysis of Nengajō (Japanese New Year’s Greeting Card) . Undergraduate Conference on Language, Literature, and Culture, 1-7.

Sadiku O, N. M., Chukwu, U. C., & Sadiku, J. O. (2023). Traditional Japanese Food . Central Asian Journal Of Literature Philosophy And Culture, 4-7.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image