Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Firdilla Kurnia

Prostitusi Adalah Kupu-kupu Beracun dari Sistem Sekuler Kapitalis

Edukasi | Monday, 24 Oct 2022, 13:40 WIB
Photo by Pixabay

Kasus prostitusi hingga hari ini masih menjadi buah bibir di tengah-tengah masyarakat. Bukan hanya menyerang pada pelanggaran asusila tapi nyatanya hal ini sudah menjadi problematika yang merambah kepada sektor-sektor publik yang saling bertautan. Begitu kompleks hingga dapat menyentuh institusi sampai sistem yang diterapkan.

Sampai hari ini kasus prostitusi tiada habisnya. Seperti dari kasus yang sempat viral beberapa waktu silam, ditangkapnya mucikari Erika karena kepergok telah ‘beraktivitas’ prostitusi yang memperdagangkan anak di bawah umur, sebelumnya sengaja diculik, untuk dijadikan pemuas nafsu para pelanggannya.

Kejadian yang sama juga dialami oleh seorang anak yang masuk ke lingkaran prostitusi online hingga menjadi mucikari dengan alasan putus sekolah.

Kasus-kasus yang serupa jika dikumpulkan mungkin akan mampu dijadikan buku karena saking banyaknya. Tidak bisa dipungkiri dalih mereka menggerakan aktivitas yang demikian yang paling umum adalah faktor ekonomi. Diantaranya mereka yang terjerat berasal dari perekonomian menengah ke bawah.

Tak ayal dengan keadaan Indonesia yang masih di tahap negara yang berkembang dengan ketimpangan si kaya dan miskin yang begitu berjarak. Maka, prostitusi akan diambil sebagai solusi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bukankah benar? Tidak setiap anak bisa mengecap bangku sekolah dengan gratis, atau tidak setiap orang bisa membeli makanan yang mencukupi kala kebutuhan pokok terus meningkat.

Lalu kenapa prostitusi? Jadi dari definisinya bahwa prostitusi artinya seseorang yang menjual jasa seksual yang sering disebut dengan para Pekerja Seks Komersial (PSK). Prakteknya hanya dilakukan sesaat dengan siapa saja untuk imbalan berupa uang.

Beberapa ahli mendefinisikan prostitusi dengan definisi yang berbeda-beda namun pada intinya sama yakni menyangkut problematika pelanggaran norma-norma sosial di tengah masyarakat. Kegiatannya berwujud penjualan diri yang dilakukan oleh wanita dengan tindakan cabul secara seksual dengan pembayaran upah. Ditenggarai empat elemen yang menggambarkan tegaknya pelacuran yaitu: bayaran, perselingkuhan, ketidakacuhan emosional, dan mata pencaharian.

Meskipun PSK seringnya diidentikan oleh wanita namun sebetulnya PSK juga terdapat dari golongan pria. Seorang pria di Inggris mengaku menjajakan badannya ke wanita-wanita lewat aplikasi online. Tujuannya hanya untuk kesenangan.

Siapa bilang kalau pria juga tidak berperan di prostitusi seperti ini. Bedanya pria-pria ‘ini’ hanya ingin bermain-main saja atau mendapatkan kesenangan semata. Dan barangkali yang kita sering dengar dan lihat adalah wanita dan anak-anak di bawah umur. Jadi, agak masih terasa asing. Tapi percayalah di luar sana banyak kaum pria panggilan untuk ‘tante-tante girang’. Sayangnya saja tidak terekspos ke publik. Walaupun Indonesia masih menganggap tabu lain halnya di luar negeri yang sarat dengan nilai kebebasan.

Kita ketahui selama ini bahwasanya prostitusi menjaring para client melalui seseorang yang bertanggung jawab menyediakan pelacur dan rumah bordil melalui media sosial atau relasi secara langsung. Sejatinya cuman itu yang kita lihat. Padahal sebaliknya prostitusi ini baru ter show up hanya bagian kulitnya saja.

Benarkah? Iya. Apa yang saya mention di awal kalau prostitusi ini merupakan hubungan kausalitas dari berbagai elemen. Serta aktivitas prostitusi memiliki jenisnya yang dibagi menurut Kartini Kartono yaitu terdaftar dan terorganisasi, dan yang tidak terdaftar.

Prostitusi yang terdaftar, pelakunya diawasi oleh bagian Vice Control dari Kepolisian dan bekerja sama dengan Jawatan Sosial dan Jawatan Kesehatan. Mereka dialokasikan di daerah tertentu. Di pinggiran kota Solo sebelah Timur yakni Silir, di sana ada komplek pelacuran yang terdaftar dan juga ada di Yogyakarta sendiri yaitu Sarkem.

Tujuannya agar para PSK ini dapat diawasi oleh pihak berwajib tatkala semakin besar kebutuhan kaum pria akan pemuasan seksual. Supaya para pria hidung belang itu tidak memilih prostitusi yang liar maka disediakan pusat-pusat pelacuran di beberapa tempat oleh instansi yang berwenang. Entah di kota-kota besar, pusat kota, mau pun di desa-desa. Seolah-olah pelanggaran asusila hanya berdasarkan terdaftar atau tidaknya ke pihak yang berwajib. Miris sekali.

Jika ditarik pada asal usul eksistensi awal dari prostitusi itu sendiri. Bahwasannya sejarah prostitusi dimulai dari awal peradaban kuno sekitar 4000 tahun silam di Mesir. Cuman bedanya dengan prostitusi kontemporer kalau dulu prostitusi bertujuan untuk mengabdi pada dewa-dewi, kepentingan agama. Buktinya bisa ditemukan dari peninggalan sejarah berupa artefak di dinding-dinding bangunan peradaban kuno.

Bagaimana pun tindakan yang demikian begitu senonoh. Justru semakin parah di kondisi hari ini. Dimana haluannya melenceng sampai dianggap buruk di mata masyarakat. Dari objek dan pelakunya pun bisa dari kalangan mana saja. Ditambah faktor-faktor kelam yang melingkupinya. Seperti apa, sih?

Sempat di awal saya selalu menyinggung kalau para PSK ini layaknya para pekerja yang dipaksa oleh keadaan. Itu benar karena setelah mendengar kisah seorang PSK di Inggris kalau wanita itu terpaksa mengambil kerja sampingan ‘ini’ karena biaya hidup yang tidak mencukupi. Meskipun demikian wanita itu tidak punya pilihan lain. Jujur dia ingin menjadi wanita normal.

PSK juga memiliki kelasnya tersendiri. Barangkali PSK yang sering dijumpai adalah orang-orang yang memang mencari uang. Ketahuilah di Indonesia ada 3 kita kategori PSK menurut Louise Brown, dosen studi Asiadi University of Birmingham, Inggris, di dalam bukunya berjudul perbudakan Seks di Asia.

Pertama, mereka yang bayarannya tinggi. Biasanya mereka memiliki wajah cantik, berpendidikan, dan fasih berbahasa Inggris. Berasal dari keluarga menengah dan jumlahnya juga tidak terlalu banyak. Kelompok ini melakukan prostitusi untuk faktor kenikmatan saja.

Kedua, kategori yang memiliki struktur, jaringan, serta mucikari yang menjaga dan memasarkan pelacur bersangkutan. Jumlahnya jauh lebih banyak dan mereka bersungguh-sungguh menjajakan diri karena terdesak kebutuhan ekonomi.

Lalu ketiga, mereka yang berada di tempat-tempat kecil seperti warung kaki lima. Jumlahnya paling banyak dan bayaran didapatkan hanya puluhan ribu rupiah.

Biarpun Indonesia sudah melarang prostitusi yang tercantum dalam pasal 296 KUHP. Namun, ganjarannya tidak menyentuh dasar permasalahan ini. Bahwasannya sanksi ini mencekal aktivitas mucikari dan penyedia tempat prostitusi. Penjaja seks dan pelanggan dibebaskan dari hukuman pidana. Akibatnya, prostitusi tetap langgeng. Tentu saja. Malahan difasilitasi oleh negara.

Dengan hadirnya RUU PKS semakin mengokohkan prostitusi itu sendiri. Kok bisa? Dikarenakan di dalam rancangan tersebut tidak memasukkan tindak pidana kesusilaan secara komprehensif seperti perzinahan atau penyimpangan dalam seksual. Terdapat juga cacat konsep dari tindakan consent yang sebelumnya penuh kontroversi. Kenapa? PSK dan pelanggannya bisa menyebut kegiatan prostitusi tersebut consent, atas dasar persetujuan kedua belah pihak. Bukankah pasal ini terdengar bias dan ‘karet’?

Kemudian sistem hari ini yang begitu sekuler-kapitalis. Peraturan di ranah publik yang tidak berdasarkan pada aturan baku. Konsepsi kebenaran hanya berdasarkan subjektivitas belaka yang relatif. Segala hal berorientasi pada materi. Agama seakan dianggap asing bahkan untuk diterapkan di ruang publik. Bukankah itu wujud dari sistem tersebut?

Contohnya saja sistem pendidikan Indonesia. Perubahan kurikulum di setiap pergantian menteri dengan program-programnya. Hanya menekankan pada nilai dan kebermanfaatan tanpa diarahkan pada pemahaman nilai-nilai moral dan spiritual yang benar. Maka yang demikian pendidikan sekarang menghasilkan intelektual yang tidak takut berbuat kotor seperti korupsi. Malahan mencontek dan perihal semacamnya sudah dimulai sedari dini sejak di sekolah.

Namun juga tidak ada jaminan bagaimana caranya semua rakyat dari kalangan menengah ke bawah terutama bisa mengecap pendidikan yang baik. Meskipun adanya beasiswa tapi kebanyakan salah sasaran. Dari tenaga pendidiknya pun tidak terperhatikan. Akibatnya banyak guru honorer yang belum dibayar berbulan-bulan atau harus menunggu disegerakan menjadi PNS.

Inilah yang terjadi di lapangan. Apa yang tampak di media mungkin hanyalah sebagian kecil dibandingkan kejadian yang mungkin tepat di yang ada di sekitar. Barangkali ini adalah wujud sejati negara kita. Bagaimanapun negara pasti disetir oleh sistem yang menaungi.

Ketika dari sistem yang dipakai negara ini masih bobrok lalu apa yang mesti kita harapkan lagi? Jika kemiskinan adalah dasar kenapa prostitusi masih ada kayaknya terlalu dini menyimpulkan. Kita harus mempertanyakan lagi kenapa harus uang? Karena tidak dapat dipungkiri kita harus memenuhi kebutuhan hidup. Namun, sistem yang menyebabkan ketimpangan. Si kaya dan si miskin begitu berjarak.

Permasalahan? Tentu. Si kaya akan mudah memenuhi segala hal dari kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dan keinginan lainnya. Akan mudah di masa depan si kaya menguasai lagi roda di atas. Lalu si miskin? Nah, sedikit sekali mereka yang bangkit dari kemalangan. Itu pun mereka harus bersusah payah dan tak jarang mudah tersisihkan oleh mereka yang punya privilege. Lalu sisanya? Tersingkirkan kemudian mencoba bertahan hidup dengan berbagai cara. Sekali pun caranya harus menjadi PSK.

Sumber:

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image