Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Agil Septiyan Habib

Sisi Lain Santri dan Pesantren Diantara Fenomena Berkeyakinan Publik

Khazanah | Saturday, 22 Oct 2022, 12:30 WIB

Seorang yang terbuang, itulah kesan pertama yang tersimpulkan di benak istri saya tatkala atasan barunya di sebuah perusahaan “melemparnya” ke divisi lain setelah sepuluh tahun lamanya menjalani masa jatuh bangun dan pasang surut sebagai orang lama yang turut membangun perusahaan tersebut dari hanya memiliki beberapa puluh karyawan saja hingga mencapai beratus-ratus jumlahnya.

darwisalwan" />
Santri dan pesantren memiliki peran yang luas didalam masyarakat | Ilustrasi gambar : pixabay.com / darwisalwan

Ada rasa sakit hati yang teramat sangat saat diperlakukan demikian. Menjalankan pekerjaan di posisi baru terasa berat untuk dilalui karena pola kerjanya sangat jauh berbeda dengan apa yang selama ini ia jalani. Lingkungan kerjanya menjadi tidak nyaman. Ketimbang harus terus makan hati dan mengalami tekanan batin, pada akhirnya istri saya pun memutuskan untuk pergi. Ia mengundurkan diri.

***

Ditengah situasi penuh ketidaknyamanan itulah ibu mertua saya menawarkan bantuan. “Biar nanti emak minta syarat ke Pak Haji dulu ya, Neng. Minta dibantu agar dapat jalan keluarnya.”. Di kampungnya, Pak Haji ini memang terkenal sebagai seorang ustadz yang menguasai ilmu kebatinan. Memberikan bantuan melalui perantara doa dan amalan.

Orang-orang yang memiliki hajat dan keinginan tertentu biasanya mendatangi beliau untuk minta didoakan, diberi wasilah, atau mendapatkan amalan yang diharapkan bisa memudahkan tercapainya keinginan si empunya hajat. Bukan hanya warga biasa yang datang kepadanya, beberapa pajabat ternama pun pernah meminta bantuannya.

Memberikan mahar dalam jumlah tertentu terbilang wajar mengingat jerih payah dari yang bersangkutan untuk melakukan beberapa ritual amalan. Bayangkan pengorbanan yang harus dilakukan oleh Pak Haji, begadang semalaman disaat orang lain tidur nyenyak. Dan itupun masih harus disertai rapalan kalimat dzikir yang dibaca berulang-ulang hingga ribuan kali. Apa enggak meniren itu mulut? Belum lagi kalau harus menjalankan ritual puasa khusus.

Semasa baru lulus kuliah dulu dan masih dalam masa pencarian kerja, almarhum abah saya pernah memberikan saya sebuah amalan untuk membaca Al-Fatihah sebanyak 315 kali ba’da sholat fardhu. Dan ketika baru membaca beberapa puluh kali saja kok rasanya sudah ingin menyerah. Bibir saya sudah kering rasanya.

Tidak kebayang kalau cara serupa mesti dilakukan untuk melafalkan berjibun kalimat wiridan yang begitu banyak ragam wujudnya. Tinggal dipilih mau menggunakan versi kitab yang mana. Memang harus diakui kalau orang-orang yang kuat duduk berjam-jam lamanya sambil berucap doa “ini itu” adalah orang yang luar biasa.

Kemampuan semacam inilah yang dimiliki oleh Pak Haji dan kolega selain mungkin kedekatan hatinya dengan Sang Pencipta. (Kalau untuk hal yang satu ini biar menjadi urusan Pak Haji sajalah).

Warga kampung yang ingin anak-anaknya cepat dapat pekerjaan, atau yang ingin segera ketemu jodoh, atau yang ingin segera dianugerahi momongan umumnya mendatangi Pak Haji untuk minta didoakan. Dan dalam beberapa kasus yang pernah saya dengar dari ibu mertua saya si Pak Haji ini termasuk sosok yang “kompeten” untuk disebut sebagai “Ahli Kebatinan”.

Maka tidak mengherankan apabila ibu mertua saya juga ngebet merekomendasikan “jasa” Pak Haji kepada istri saya. Tujuannya tentu agar dibantu wasilah doa dan sejenisnya supaya bisa segera memperoleh pekerjaan pengganti yang lebih baik. Atau syukur-syukur bisa ngasih pelajaran ke si mantan atasan yang semena-mena itu. Hehehe..

***

Saya pernah bertanya sekilas kepada ibu mertua perihal siapa sosok Pak Haji. “Pak Haji ini sudah nyantri keliling Jawa.”. Beberapa pesantren besar sudah pernah beliau singgahi untuk menuntut ilmu agama. Salah satunya tentu perihal amalan-amalan untuk melempengkan urusan-urusan orang.

Pondok pesantren, disamping menjadi tempat pendidikan ilmu-ilmu syariat Islam ternyata juga memiliki “cabang” kajian lain berupa ilmu perdukunan atau lebih tepatnya ilmu kebatinan. Disiplin kajian ilmu ini mungkin jarang terekspose ke permukaan kecuali sebagian kecilnya saja.

Khalayak luas biasanya hanya pernah mendengar sedikit selentingan. Atau mendengar beberapa nama tokoh spiritual yang memiliki kemampuan istimewa dalam ranah kebatinan (Gus Syamsudin masuk hitungan gak ya?). Pondok pesantren lebih banyak dikenal layaknya sekolah asrama biasa, hanya saja lebih mengedepankan ilmu-ilmu agama Islam dalam kurikulumnya.

Disamping pamor minor yang melekat bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan “alternatif” bagi anak-anak nakal yang sulit diatur oleh orang tuanya (Meskipun anggapan ini tidak bisa dibenarkan), keberadaan pesantren sebagai tempat berguru ilmu kebatinan memang telah diakui oleh banyak orang. Bahkan tidak sedikit kitab-kitab yang dikaji di lingkungan pesantren yang membahas topik mengenai ilmu ini.

Beberapa amalan tertentu seperti puasa mutih, ritual pati geni, poso ngrowot, poso ngebleng dan lain-lain adalah beberapa jenis amalan yang menjadi wasilah untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Terlepas beberapa hal tadi sesuai dengan ajaran syariat atau tidak, realitanya lingkungan pesantren memang menyimpan sisi lain yang barangkali tidak disangka-sangka oleh orang yang berada di luar lingkungan itu. Santri jebolan pesantren juga bisa memiliki keterampilan lainnya, bukan sekadar menjadi guru agama saja.

***

Ilmu kebatinan hanyalah satu dari sekian banyak ilmu yang bisa dipelajari di lingkungan pesantren. Menjadi objek kajian lain yang mungkin menarik untuk didalami oleh sebagian santri di pesantren. Bukan suatu hal yang terlarang tentunya, karena bagaimanapun juga ilmu kebatinan tetaplah ilmu yang bisa memberikan manfaat bagi orang banyak.

Masih banyaknya anggota masyarakat kita yang percaya terhadap keampuhan para ahli spiritual seperti Pak Haji ini sebenarnya adalah fenomena yang wajar terjadi. Mungkin kita biasa menyebutnya sebagai “alternatif”. Sebenarnya saya ingin menyebutnya “Pengobatan Alternatif”, tapi kok pelayanan yang diberikan seringkali bukan sebatas pengobatan.

Sebutan sebagai konsultan spiritual sepertinya lebih cocok disematkan. Terutama karena apa yang dilakukan oleh Pak Haji dan kolega adalah bagian dari wujud keyakinan hati. Bukankah Tuhan itu akan bertindak sebagaimana prasangka hamba-Nya? Maka apa yang dilakukan oleh para ahli spiritual tersebut merupakan bagian dari penguatan keyakinan ini.

Tatkala seseorang datang ke seorang ahli spiritual itu bisa diibaratkan seperti pasien yang mendatangi dokter. Dokter hanya menjadi perantara terhadap kesembuhan yang diharapkan. Juga layaknya seorang klien yang mendatangi firma hukum untuk bersua advokat dan mengatasi masalah hukum yang dihadapi.

Konsultan spiritual seperti halnya Pak Haji cs mungkin menjadi khazanah lain yang perlu kita tahu sebagai bagian dari “produk” santri. Sehingga ketika berbicara tentang santri maka kita akan melihatnya lebih luas dari sekadar membicarakan sosok Gus Baha, Gus Dur, Gus Mus, atau mungkin Gus Syamsudin!?

Pada momen peringatan Hari Santri kali ini mungkin ada diantara Anda yang berniat untuk konsultasi dengan Pak Haji?

Selamat Hari Santri!

Salam hangat,

Agil S Habib

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image