3 Hal yang Lebih Baik dari Hari Jumat, Bulan Ramadhan, dan Sholat Tepat Waktu
Khazanah | 2022-10-21 06:05:39“Hari yang paling baik adalah hari Jumat, bulan yang paling baik adalah bulan Ramadhan, dan amal yang paling baik adalah salat lima waktu tepat pada waktunya.”
Salah seorang sahabat Rasullullah SAW bernama Ibnu Abbas pernah ditanya perihal hari, bulan, dan amalan apa yang paling baik? Maka beliau menjawab bahwa hari yang paling baik adalah hari Jumat, bulan yang paling baik adalah bulan Ramadhan, dan amalan paling baik adalah sholat lima waktu tepat pada waktunya.
Namun, bagaimana jika pada hari Jumat nan mulia kita justru berbuat dosa dan maksiat? Bagaimana pula saat bulan suci Ramadhan datang kita justru berfoya-foya dan melalaikan ibadah? Dan bagaimana jika kebiasaan kita menunaikan sholat tepat waktu justru hanya dimaksudkan untuk menyombongkan diri di hadapan orang lain?
Maka apa yang kita lakukan menjadi sia-sia belaka. Kemuliaan hari Jumat dan keagungan bulan suci Ramadhan tidak akan memberikan arti apapun jikalau itu semua tidak meningkatkan kualitas keimanan kita sama sekali.
Sehingga tidak salah kiranya ketika pertanyaan serupa diajukan kepada sahabat Sayyidina Ali RA dan beliaupun memberikan jawaban yang berbeda dari sahabat Ibnu Abbas.
Tanpa menyalahkan yang disampaikan oleh Ibnu Abbas, Sayyidina Ali RA mengatakan bahwa amalan yang terbaik adalah amalan yang diterima Allah SWT. Bulan yang paling baik adalah bulan dimana kamu bertaubat kepada Allah SWT dengan taubat yang sempurna. Sedangkan hari yang terbaik adalah hari dimana kita kembali kepada Allah SWT dalam keadaan beriman.
Ibadah sholat lima waktu tentu memiliki posisi yang istimewa sebagai salah satu rukun Islam. Ia pun merupakan amalan yang pertama kali dihisab ketika di akhirat kelak. Jikalau baik sholatnya maka baik semuanya. Namun jika buruk sholatnya maka buruk juga semuanya.
Sholat yang dikerjakan semaunya, sekadar untuk menggugurkan kewajiban masih belum bisa disebut sebagai amalan yang istimewa. Namun ketika sholat itu dilaksanakan dengan ketentuan yang digariskan oleh Allah SWT niscaya hal itu akan menjadikannya lebih bernilai seiring dijadikannya sebagai amalan yang diterima Allah SWT.
Dalam hal ini, perihal diterima tidaknya amal ibadah kita merupakan domain dari Sang Maha Kuasa. Yang terpenting bagi kita adalah meluruskan niat dan mengikuti tatanan syariat dengan melakukan setiap amal ibadah sebagaimana ajaran yang diajarkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW.
Bulan dan Hari yang Mulia
Setiap muslim di segenap penjuru bumi tentu menanti-nantikan kehadiran bulan suci Ramadhan. Sebuah bulan yang diagungkan dan dimulyakan seiring keberlimpahan rahmat Allah SWT yang menyertainya.
Dimasa itu dosa-dosa diampuni, doa-doa diijabah, dan Allah SWT menjauhkan kita dari siksa api neraka. Tapi apakah kita hanya bisa menunggu satu tahun sekali untuk meraih kemuliaan bulan suci itu?
Ramadhan memang mulia. Juga merupakan bulan yang terbaik. Akan tetapi, langkah taubat kitalah yang meninggikan kemuliaan itu. Bulan-bulan yang kita lalui dengan bertaubat kepada Allah SWT atas segala dosa dan salah kita selama hidup merupakan keutamaan tersendiri.
Begitupun dengan hari yang paling baik. Hari Jumat tidak bisa dipungkiri adalah hari raya “kecil” yang menjadi simbol kemenangan kita dalam mengarungi waktu seminggu yang lalu. Ia dinilai sebagai hari yang terbaik seiring default-nya memang seperti itu. Para ulama dan sebagian besar kaum muslimin mendambakan mati khusnul khotimah di hari tersebut.
Yang jauh lebih penting sebenarnya adalah apa yang kita dapatkan dari momen hari mulai ini. Harinya sendiri tidak akan berarti apa-apa bagi diri kita jikalau kita tidak berupaya untuk menjadikannya mulia.
Kita akan meraih apa yang kita usahakan. Dan ketika seorang muslim memimpikan khusnul khotimah di akhir hayatnya maka itulah yang kelak akan diterimanya. Terlepas hal itu akan jatuh pada hari jumat ataupun hari yang lainnya kita hanya bisa berserah kepada-Nya.
Salam hangat,
Agil S Habib
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.